Selasa, 05 Agustus 2014

Kasus Transformasi; Dari “BLOKENG” ke “KOTA TELANJANG”



Dari “BLOKENG” ke “KOTA TELANJANG”
Kajian Intertekstualitas: Sebuah Kasus Transformasi
oleh: Indri Zikria Oktaviani (1112013000060)


Abstrak
Dua tahun yang lalu, tepatnya pada pertengahan Oktober surat kabar harian Solopos mengumumkan pemenang lomba menulis cerpen yang diadakan satu kali setiap tahunnya. Kota Telanjang karya Joko Utomo resmi menjadi pemenang juara pertama Lomba Menulis Cerpen Solopos 2011. Akan tetapi, kemenangan cerpen tersebut justru menimbulkan petaka bagi Joko Utomo. Pasalnya, cerpen tersebut sangat mirip dengan cerpen Blokeng karya Ahmad Tohari sehingga Joko Utomo dituduh melakukan tindak plagiat terhadap Blokeng-nya Ahmad Tohari. Berdasarkan kecurigaan tersebut, saya bukan bermaksud menentukan apakah Joko Utomo benar-benar melakukan plagiat, karena untuk menentukan plagiat atau tidaknya sebuah karya satra butuh proses yang panjang. Terlebih lagi, kita tidak pernah tahu apakah pengarang tersebut benar-benar melakukan plagiat.
Dalam menciptakan karya sastra, pengarang tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks sastra yang lain. Hasil dari membaca karya sastra sebelumnya dapat dijadikan acuan dan pedoman untuk menciptakan suatu karya sastra yang lain. Menurut Sitanggang, kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan. Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvensi sastranya, konvensi estetikanya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri.[1]
Untuk dapat memahami perbedaan dan persamaan karya sastra dengan karya sastra yang lain, dilakukan kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga memiliki hubungan tertentu, misalnya menemukan hubungan unsur-unsur intrinsiknya. Pengkajian sastra yang bermaksud menemukan hubungan persamaan dan perbedaan antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain disebut kajian intertekstual.[2] Untuk melihat kemiripan gagasan yang ditawarkan dalam kedua cerpen karya Joko Utomo dan Ahmad Tohari, saya akan menggunakan kajian intertekstual dalam analisis saya. Tujuan kajian instertekstual kedua cerpen tersebut adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Metode intertekstual dalam analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan, menjajarkan dan mengontraskan teks-teks sastra yang mentransformasi dari teks lain yang merupakan teks hipogramnya.
Landasan Teori
        Prinsip intertekstualitas berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, Jaques Derrida dan dikembangkan oleh Julia Kristeva. Prinsip ini bermakna bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang teks-teks lain.[3] Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu.[4] Orang yang pertama kali mengemukakan konsep intertekstualitas adalah Mikhail Bakhtin dalam bukunya The Dialogic Imagination (1981). Bakhtin mengatakan bahwa karya sastra dilahirkan di antara teks yang satu dengan teks yang lain. Dalam bukunya yang lain Speech Genre and Other Late Essays (1986) Bakhtin mengatakan bahwa dalam setiap karya sastra selalu terjadi dialog antar teks dalaman, yakni unsur-unsur yang membangun karya-sastra (intrinsik), dan teks luaran, yakni teks kemasyarakatan (sosial), atau unsur-unsur yang ada kaitannya dengan kehidupan pengarang.[5]
  Ratna dalam Suwardi Endraswara menyatakan penelitian intertekstual termasuk wilayah postrukturalisme.[6] Dalam pengertian yang penting, postrukturalisme adalah sebuah pemberontakan, sebab cara yang sangat efektif untuk memberontak adalah dengan menuduh pendahulu kita tidak berani menyokong keyakinan mereka sendiri. Karenanya, kaum postrukturalis menuduh kaum strukturalis tidak menindaklanjuti dari pandangan terhadap bahasa yang mendasari sistem intelektual mereka. Kritikus sastra postrukturalis sibuk dengan tugas mendekonstruksi teks. Proses ini diberi nama dekonstruksi, yang secara kasar dapat didefinisikan sebagai postrukturalisme terapan. Ia sering disebut sebagai ‘membaca di luar kebiasaan’ atau ‘membaca teks melawan teks itu sendiri’, dengan tujuan ‘memahami teks sebab ia tak bisa memahami dirinya sendiri’.[7]
       Hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya sastra berikutnya. Hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra yang dipengaruhinya. Karya berikutnya yang muncul setelah hipogram dinamakan karya transformasi. Sajak yang menjadi latar penciptaan sajak baru oleh Julia Kristeva mengemukakan bahwa tiap teks itu merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan (transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal yang bagus diolah kembali dalam karyanya atau ditulis setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik baik secara sadar maupun tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain dan menyerap konvensi sastra, konsep estetik, atau pikiran-pikirannya kemudian mentransformasikannya ke dalam karya sendiri dengan gagasan dan konsep estetik sendiri sehingga terjadi perpaduan baru. Konvensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali apabila kita membadingkan teks yang menjadi hipogram-nya dengan teks baru itu. Teks baru atau teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram itu disebut teks transformasi.[8]
Ulasan Singkat Blokeng dan Kota Telanjang
       Tentu saja, tokoh utama yang mengikat keseluruhan cerita dalam Blokeng adalah Blokeng, seorang perempuan gembel dan idiot yang tinggal di antara sampah pasar.  Hampir di setiap sudut kampung tersebut, warga terus membicarakan seputar kehamilan Blokeng yang entah dihamili oleh siapa. Seluruh warga, baik perempuan maupun laki-laki terlibat dalam pembicaraan tersebut. Tanpa seorang pun terkecuali, sebab mengasingkan diri dari pembicaraan tersebut akan mengundang perhatian seisi kampung. Kampung tersebut menjadi blingsatan. Hingga pada suatu hari seorang hansip bertanya pada Blokeng siapa yang menghamilinya. Blokeng menjawab bahwa orang yang menghamilinya membawa lampu senter dan memakai sandal jepit. Lantas saja orang-orang kampung melenyapkan lampu senter dan sandal jepit dari kampung tersebut. Lurah kampung tersebut mendengar kabar akan kampungnya yang keblingsatan karena ulah Blokeng. Dia mencoba menyelesaikan masalah tersebut dengan cara mengangkat Cowet, anak dari Blokeng sebagai anaknya. Namun Blokeng mengatakan bahwa yang menghamilinya berkepala botak. Lantas seluruh laki-laki di kampung itu berkepala botak untuk menghindari tuduhan membuntingi Blokeng.
       Hampir mirip dengan Blokeng yang menceritakan tetang kehamilan misterius perempuan kampung. Kota Telanjang menceritakan asal-usul bagaimana kota tersebut dapat dijuluki “kota telanjang”. Berawal dari kehamilan Miring, yang mengalami gangguan mental sejak sepuluh tahun setelah ditinggal mati kedua orangtuanya. Kehamilan Miring jelas mengundang desas-desus di setiap kediaman warga dan menimbulkan kecurigaan terhadap seluruh laki-laki yang mendiami kampung tersebut. Semua warga saling mencurigai satu sama lain, saling bergosip, saling bertanya-tanya laki-laki mana yang sudi menghamili perempuan gila itu. Hingga pada suatu hari Pak Lurah menanyakan kepada Miring siapa sebenarnya ayah dari bayi yang dikandungnya. Miring tertawa lalu memberikan semacam petunjuk atau ciri-ciri orang yang menghamilinya. Setiap hari Pak Lurah menanyakan hal yang sama, namun setiap pertanyaan yang diajukan, Miring menjawab dengan tertawa terlebih dahulu baru kemudian menjawab dengan jawaban yang berbeda setiap harinya. Orang yang menghamilinya yaitu orang yang berpeci, berjaket, dan memakai baju serta celana. Lantas seluruh warga di kampung tersebut melepas peci, melepas jaket, melepas baju serta celana mereka untuk menghindari tuduhan menghamili si Miring. Setiap harinya dan seterusnya seluruh warga melepaskan peci, jaket, kaos serta celananya. Bapak Bupati yang mendengar kabar tersebut langsung turun tangan mengunjungi kampung itu. Ia bingung karena semua warga telanjang bulat. Miring yang melihat kedatangan Bapak Bupati tersebut turut memberitahu Bapak Bupati bahwa orang yang menghamilinya yakni orang yang berpeci, berjaket, dan memakai baju serta celana. Demi menutup rasa malu dan takutnya segera dilepas semua benda yang melekat di badannya. Ibu Bupati yang melihat suaminya melakukan hal seperti itu, turut melakukan hal yang sama demi kesetiaannya. Dan akhirnya, semua warga di kecamatan tersebut baik laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak terbiasa menjalani hari-hari mereka dengan bertelanjang bulat. Begitulah alasan mengapa kota tersebut dijuluki “kota telanjang”.
        Blokeng merupakan salah satu cerpen karya Ahmad Tohari yang dibukukan dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin yang terbit pada tahun 1989 dan memiliki 71 halaman. Pengarang yang menetap di desa Tinggarjaya, kecamatan Jatilawang, kabupaten Banyumas ini terkenal akrab dengan rakyat lapisan bawah. Tidak heran jika karya-karyanya selalu berpihak pada orang-orang desa yang lugu, bodoh, sengsara, menderita, dan kerap kali tabah dalam menghadapi kesenjangan hidupnya. Tohari selalu mempersoalkan betapa semerawutnya kehidupan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Hal ini terbukti dalam Senyum Karyamin yang jelas-jelas mengangkat ketimpangan sosial yang disampaikan dengan nada mengkriktik. Kritik masyarakat bawah terhadap atasannya, kritik rakyat terhadap pemerintah, bahkan berbagai kritik sosial dilontarkan dalam kumpulan cerpen tersebut.
      Penyajian Kota Telanjang memang berbeda dengan Blokeng, namun perihal apa yang ingin disampaikan Joko Utomo sepertinya sama dengan yang ingin disampaikan Ahmad Tohari. Joko Utomo bukanlah sastrawan terkenal seperti Ahmad Tohari. Beliau beserta Kota Telanjang-nya menjadi pemenang juara pertama Lomba Menulis Cerpen Solopos pada tahun 2011 silam. Kemenangannya ternyata mendapat tuduhan bahwa Kota Telanjang memplagiat Blokeng. Tuduhan tersebut memang cukup beralasan karena dapat kita lihat bahwa Joko adalah pengarang pemula. Jalan cerita Kota Telanjang pun mirip dengan jalan cerita Blokeng sehingga pembaca yang lain pun akan beranggapan demikian setelah membaca kedua karya tersebut. Akan tetapi seperti yang saya katakan di awal, saya tidak membahas kasus tersebut. Setelah membaca Kota Telanjang, dapat diambil kesimpulan bahwa ide dan gagasannya memang mirip, tetapi Joko Utomo menyajikan dengan konsep awal yang berbeda. Sangat jelas terlihat bahwa Ahmad Tohari menciptakan Blokeng dengan maksud mengkritik pemerintah yang tidak peduli dengan rakyat bawah. Namun apa yang ingin disampaikan Joko jika melihat cerpennya, sebenarnya hanyalah cerpen biasa, yang ingin menjelaskan mengapa kota tersebut dijuluki sebagai “kota telanjang”. Tidak ada maksud kritikan, sindiran, atau ironi dan semacamnya seperti yang dilakukan Ahmad Tohari dengan Blokeng-nya. Hanya saja peristiwa-peristiwa yang terjadi dan karakter para tokoh di dalam Kota Telanjang sama persis dengan apa yang ada di dalam Blokeng.
Sebuah Transformasi
          Blokeng dan Kota Telanjang, kedua cerpen ini sama-sama mengisahkan sosok perempuan desa yang memiliki gangguan mental dan dihamili tanpa kejelasan. Setelah membaca secara keseluruhan, kedua cerpen ini memiliki kesamaan ide dan gagasan. Bukan hanya itu, setting dan karakteristik tokoh yang disajikan kedua cerpen ini pun sama. Lantas, dapatkah kita mengatakan bahwa salah satu di antara keduanya merupakan hasil plagiat atau jiplakan? Ditinjau dari segi filologis, hubungan yang ditunjukkan persamaan-persamaan tersebut memang disebut tiruan atau jiplakan bahkan plagiat, tetapi dari segi intertekstual, selama batas-batas orisinalitas, peniruan tersebut disebut kreatifitas. Menurut Ratna, kemampuan mengadakan intertekstualitas termasuk salah satu bentuk orisinalitas karena tidak dimiliki setiap orang. Dengan demikian, dalam kajian intertekstual, tidak ditemukan peniruan atau jiplakan, melainkan bentuk transformasi dari teks-teks terdahulu.[9] Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu dari kedua cerpen tersebut bertransformasi dari cerpen sebelumnya.      
        Kehadiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra sebelumnya, yang pernah direspon oleh sastrawan. Pengarang tidak semata-mata memproduksi karya, tetapi terlebih dahulu juga merespon sebuah karya. Dari proses resepsi pengarang memiliki langkah pijak untuk mereproduksi karya yang baru. Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, pengarang mampelajari gagasan yang tertuang dalam karya itu, memahami konvensi sastranya, konvensi estetiknya, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karya sastra. Sekiranya inilah yang dilakukan Joko Utomo terhadap karya Ahmad Tohari. Dalam Kota Telanjang-nya, Joko terlihat cukup piawai mengembangkan gagasan-gagasan yang dilontarkan Ahmad Tohari. Ia memodifikasi Blokeng sebaik mungkin sehingga dalam Kota Telanjang terjadi pergeseran tema.
     Berkaitan dengan apa yang terkandung di dalam kedua cerpen ini, Blokeng dan Kota Telanjang memang mengandung pesan moral yang cukup menggugah para pembacanya. Sikap kita sebagai yang “normal” hendaknya mampu memberikan rasa aman kepada mereka yang “abnormal”, seperti Blokeng ataupun Miring. Jika ditelusuri secara tekstual, pesan moral tersebut memang ada dalam Kota Telanjang, namun tidak sesempurna pesan yang ada di Blokeng. Sesuai dengan dugaan saya mengenai tujuan Kota Telanjang diciptakan, Joko Utomo menghadirkan pesan moral yang sengaja disamakan dengan Blokeng. Hanya saja, ia mengubah hal-hal tertentu yang ada di Blokeng agar kedua cerpen ini tidak sama persis.
Blokeng dituturkan menggunakan sudut pandang orang pertama. Kisah disampaikan secara runtut dari awal hingga akhir lewat sudut pandang narator “aku” dalam cerita tapi bukan tokoh utama. Keberadaan “aku” hanya sebagai saksi dari tokoh utama. “Aku” adalah narator yang menceritakan kisah yang dialami tokoh Blokeng yang menjadi tokoh utama. Dalam beberapa bagian juga terlihat adanya dialog para tokoh yang turut menjelaskan peristiwa-peristiwa dalam cerpen tersebut. Cerita dibuka dengan penggambaran keadaan sebuah kampung yang penuh misterius saat Blokeng diketahui hamil dan melahirkan seorang anak. Adapun setting suasana yang terdapat dalam Blokeng adalah menggambarkan suasana yang penuh kecurigaan di kampung tersebut karena kehamilan Blokeng yang misterius. Tidak jelas siapa bapak dari bayi di rahimnya.
       Blokeng digambarkan sebagai perempuan yang mempunyai gangguan secara mental namun normal secara biologis dan perwatakannya sedikit misterius. Hal ini ditunjukkan dalam cerita bahwa ia tidak paham apa itu polisi tetapi ia bisa hamil layaknya perempuan pada umumnya, ia juga tidak mau menjawab pertanyaan Hansip, siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Hansip tersebut gemar menggosip sambil ronda. Hingga pada akhirnya kejadian tersebut sampai ke telinga Lurah Hadining beserta istrinya dan beliau berniat menyelesaikan masalah di kampungnya itu. Lurah Hadining cukup bijaksana karena ia bisa menyelesaikan masalah Blokeng, bisa menghapus bisik-bisik yang ada di kampungnya dengan mengangkat Blokeng beserta anaknya. Adapun Bu Lurah yang turut serta membantu proses penyelesaian masalah tersebut dengan sangat bijaksana, karena ia dengan ikhlas berusaha mengangkat Blokeng dan anaknya.
Kota Telanjang disajikan berbeda dengan Blokeng. Joko menggunakan sudut pandang orang ketiga dalam menampilkan cerpen ini. Kisah disampaikan berurutan lewat sudut pandang narator yang dalam karyanya seperti Tuhan, yang mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motif. Dengan menggunakan “dia-an”, narator bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lain. Bahkan, narator bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan para tokohnya. Selain orang ketiga, cerita juga disampaikan lewat dialog antar tokoh. Cerita dibuka dengan penjelasan siapa sebenarnya Miring dan bagaimana perjalanan hidupnya yang membuat kota tersebut dijuluki sebagai “kota telanjang”. Adapun setting suasana yang terdapat dalam Kota Telanjang sama seperti Blokeng, penuh kecurigaan di mana-mana karena kehamilan Miring si perempuan gila itu.
Sama halnya seperti Blokeng, Miring pun digambarkan dalam cerpen ini sebagai perempuan yang gila sejak kecil karena ditinggal mati kedua orang tuanya. Saat ditanya oleh Pak Lurah perihal siapa yang menghamilinya, Miring hanya tertawa cekikikan. Pak Lurah di dalam Kota Telanjang memiliki peran yang sama seperti Hansip di dalam Blokeng. Hingga suatu hari kejadian tersebut sampai ke telinga Bapak Bupati. Mendengar kabar bahwa ada kampung yang penduduknya telanjang bulat semua, Bapak Bupati langsung mendatangi lokasi kejadian. Dalam cerpen ini, Bapak Bupati tidak memiliki kepribadian yang bijaksana karena ia tidak dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi. Justru Bapak Bupati tersebut ikut serta bertelanjang bulat demi menahan rasa gengsi dan takut dituduh menghamili Miring. Istri dari Bapak Bupati pun turut melepas seluruh pakaiannya demi kesetiaannya pada Bapak Bupati.
Ada kaitan langsung antara fungsi moralis dan teknik naratif. Kota Telanjang diceritakan dengan teknik auctorial, yaitu pencerita berlaku selaku tokoh serbatahu yang bebas mutlak menyajikan apa saja, baik kejadian luar maupun dari perasaan dan pikiran tokoh-tokohnya. Namun, pencerita Kota Telanjang relatif obyektif dan tidak melibatkan diri dalam cerita. Beberapa contoh tentang teknik naratif akan diberikan untuk memperlihatkan bagaimana cerita ini disajikan. Tentang nasib Miring dan sikap warga kampung terhadapnya: “Beberapa penduduk yang menyertai Pak Lurah menjadi hilang kesabarannya. Mereka menjambak rambut Miring yang sebelumnya sudah awut-awutan”. Tentang tingkah laku Miring: “Esok paginya ketika warga mau mengawali kehidupannya, Miring datang lagi. Kembali dia mengeluarkan pernyataan yang selalui didahului dengan tawa yang sangat khas”.
Dari segi teknik naratif, Blokeng hampir sama dengan Kota Telanjang. Sering kali pembaca dihadapkan langsung pada keadaan kampung yang pongah, penuh blingsatan. Tiap-tiap peristiwa yang diuraikan si pencerita menunjukkan kesamaan, khususnya tingkah laku warga yang mendadak berubah atau menghilangkan sesuatu dalam kampung tersebut, guna menghindari tuduhan. Pencerita pun seakan-akan tahu segala hal yang terjadi di dalam cerita ini dan ikut terlibat dalam kepongahan kampung tersebut, karena memang sudut pandang yang digunakan menggunakan “aku-an”. Hal ini memungkinkan bahwa pencerita benar-benar mengalami tiap peristiwa yang terjadi di dalam sebuah cerita.
Dalam Blokeng sangat minim dialog, hanya terjadi di beberapa kesempatan, selebihnya pencerita menuturkan segala sesuatunya. Berbeda dengan Kota Telanjang yang lebih banyak dialog daripada penuturan si pencerita. Tidak heran jika naskah Blokeng lebih panjang bila di bandingkan dengan naskah Kota Telanjang. Di akhir cerita, Joko Utomo tidak menuntaskan ceritanya; tidak ada peristiwa yang menceritakan kelahiran anak Miring. Ini berarti terjadi upaya pemotongan di bagian akhir. Berbeda dengan Blokeng yang sedari awal telah menceritakan tentang kelahiran anak dari Blokeng, Ahmad Tohari menuntaskan cerita meskipun terkesan menggantung karena tidak diketahui siapa pelaku perbuatan bejat tersebut.
Setelah ditelusuri, Joko Utomo melakukan pengubahan-pengubahan terhadap Blokeng. Pengubahan yang pertama yaitu perihal nama dari tokoh utama; perempuan penderita gangguan mental yang dihamili entah oleh siapa. Dalam Blokeng tokoh utamanya yakni Blokeng, sedangkan dalam Kota Telanjang yang menjadi tokoh utama yakni Miring. Pengubahan yang kedua yaitu perihal peran tokoh dalam cerita. Dalam Blokeng, tokoh Hansip yang berperan untuk menginvestigasi perihal siapa yang menghamili Blokeng, sedangkan dalam Kota Telanjang, tokoh Hansip digantikan sebagai Pak Lurah yang perannya sama dengan tokoh Hansip, menginvestigasi si Miring. Pengubahan yang ketiga yakni mengenai karakteristik tokoh utama. Blokeng adalah perempuan yang memang mengalami gangguan jiwa (gila), sedangkan Miring merupakan perempuan yang mengalami keterbelakangan mental (idiot).
Tampak sekali bahwa dalam kedua cerpen ini mengangkat suatu realita sosial dimana rasa saling menghormati, saling melindungi dan saling menyayangi sesama manusia tidak lagi menjadi perhatian khusus. Masyarakat yang kuat harusnya melindungi yang lemah, namun kali ini mereka secara terang-terangan mengintimidasi seseorang tanpa memperhatikan martabat kemanusiaan. Dalam Blokeng dikatakan Tuduhan membuntingi Blokeng, di luar segala urusan hukum atau norma lainnya, dianggap sebagai perilaku primitif yang paling tidak bermartabat”. Terlihat dalam kutipan Blokeng tersebut, Blokeng dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki martabat karena dia tinggal bersama onggokan sampah pasar. Sedangkan dalam Kota Telanjang dikatakan “Pak Lurah menjadi hilang kesabarannya. Mereka menjambak rambut Miring yang sebelumnya sudah awut-awutan”. Sungguh betapa mengerikannya moral bangsa kita ini yang semena-mena terhadap individu seperti Blokeng dan Miring.
       Kedua cerpen tersebut menggambarkan bagaimana rasa saling percaya terhadap sesama musnah dengan perlahan. Ketika manusia dihadapkan pada persoalan hidup harusnya mereka berdiskusi guna menemukan jalan keluar dari masalah tersebut. Berseberangan dengan apa yang dilakukan warga terkait masalah yang timbul di lingkungan mereka, timbul rasa curiga yang berlebihan dan saling tuduh antar sesama warga. Seperti tampak pada kutipan berikut:
“...Aku tak boleh berkata apa-apa. Kalau mulutku bocor dia akan memukulku dangan ini,” kata Blokeng sambil menggamit lampu senter pak hansip.
“Jadi ayah bayimu datang ke sarang ini membawa senter? Dia lelaki yang mempunyai senter?”
“Mbuh.”
Maka keesokan hari tersiar berita: ayah bayi Blokeng adalah seorang lelaki yang memiliki lampu senter. Kampungku yang pongah kemudian memperlihatkan gejala aneh. Lampu-lampu senter lenyap. Yang berjalan malam hari lebih suka memilih suluh untuk penerangan. Ronda malam dan hansip kena marah karena mereka menjaga kampung hanya menggunakan korek api, bukan lampu baterai. Tetapi lampu senter terus menghilang dari kampungku yang pongah.[10]

“...Aku sering ditemui orang yang selalu mengenakan peci dan mengajak aku guling-gulingan di pinggir kali.”
Sontak semua jadi terkejut mendengar perkataan lugas dari Miring. Pak Lurah yang saat itu sedang mengenakan peci langsung melepas benda legam yang terbuat dari kain beludru di kepalanya. Mukanya merah padam. Namun dia tetap mampu memamerkan kewibawaannya sebagai kepala desa. Warga lain yang mendengar cerita itu dari mulut ke mulut juga tidak ada yang mau mengenakan pecinya lagi.”[11]

          Kutipan tersebut menggambarkan tidak adanya lagi rasa percaya terhadap diri sendiri dan terhadap sesama manusia. Dengan bersikap seolah-olah tidak tahu apa-apa atau menyembunyikan sesuatu yang ada kaitannya dengan masalah yang dihadapi, dianggap sebagai suatu penyelesaian masalah.
Keadaan sosial masyarakat yang pongah dan sombong sekaligus memandang martabat manusia secara semena-mena menjadi karakter demikian dalam Blokeng dan Kota Telanjang. Setiap tokoh memiliki karakter yang mencerminkan keadaan dimana tidak ada lagi rasa saling memiliki antar sesama. Blokeng dan Miring meskipun dengan keadaannya yang memprihatinkan pada dasarnya mereka juga memiliki hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, mereka juga mampunyai hak untuk dihormati sebagai anggota masyarakat.
Saya masih meragukan apakah cerita dalam Blokeng adalah cerita nyata atau hanya sekeedar fiksi. Namun jika kita lihat siapa Ahmad Tohari, rasa-rasanya Blokeng memang pernah ada di suatu tempat yang mungkin karakteristik penduduknya sama seperti yang digambarkan Ahmad Tohari dalam cerpennya. Bagi orang yang tertarik oleh masalah kaitan antara kenyataan dan rekaan, antara fakta dan fiksi, Kota Telanjang dan Blokeng cukup menarik. Penggambaran suasana sebuah kampung yang berusaha menghindari tuduhan telah menghamili perempuan yang akalnya kurang sempurna, amat menggelikan dan cukup menghibur. Warga yang rela menggunakan bakiak, membiarkan diri dalam kegelapan tanpa senter, menggunduli kepala mereka, melepas seluruh pakaian yang menempel ditubuh mereka. Hal yang patut diperbincangkan, segitu parahnya moral warga-warga yang tidak bisa menemukan jalan keluar, justru mereka hanya berusaha masing-masing menghindari tuduhan demi tuduhan.
Kepengarangan
Tidak hanya dalam Blokeng, ciri khas karya-karya besar Ahmad Tohari selalu mengangkat budaya lokal dalam masyarakatnya. Hal ini menunjukkan bahwa Ahmad Tohari memanglah seorang sastrawan yang cukup piawai dalam merangkai kata menjadi suatu rangkaian cerita yang menarik untuk dibaca. Melalui karya-karyanya, Ahmad Tohari bermaksud untuk mengajak pembaca untuk melihat dan merenungi suatu peristiwa dalam cerita yang diambil dan suatu peristiwa yang nyata. Dalam Senyum Karyamin Tohari menyodorkan kenyataan sosial yang terjadi di lingkungan kita. Hal ini terjadi karena Tohari termasuk golongan yang peka terhadap permasalahan sosial yang berkembang di lingkungannya. Kenyataan tersebut dibeberkan agar para golongan atas mengadakan perubahan. Pergeseran nilai sosial yang berubah menjadi kebobrokan moral dipaparkan dalam cerpen Blokeng. Cerpen ini menggambarkan ketidakpedulian masyarakat terhadap penderitaan tokoh Blokeng (gadis tidak normal)  yang telah hamil tanpa diketahui siapa yang menghamili. Tentunya sekaligus menggambarkan pemimpin yang tidak peduli dengan rakyat bawah.
        Senyum Karyamin, begitulah judul yang menjadi bagian depan dari kumpulan cerpen Ahmad Tohari. Bagian penutup kumpulan cerpen tersebut diisi oleh Sapardi Djoko Damono. Menurut Damono, Tohari rupanya memiliki sesuatu yang penting yang harus disampaikan kepada kita. Beberapa contoh masalah dalam masyarakat, yang diangkat dalam cerpen-cerpennya, kadang berfungsi sebagai lambang masalah lain yang mengatasi kehidupan sehari-hari. Bila dilihat dari judulnya, Senyum Karyamin agaknya menyuratkan makna yang ingin diangkat dalam cerpen-cerpen di dalamnya, termasuk Blokeng. Senyum sebagai lambang dari usaha menerima nasib, bahkan menertawainya, karena apa boleh buat. Dan dalam hampir 13 cerpen, “senyum” itu ada.
Sama halnya dalam Blokeng. Ia seorang wanita muda yang melahirkan. Tak ada bapak yang sah dari bayinya. Andai Blokeng bukan wanita yang terkucilkan dari masyarakat, mungkin peristiwa itu biasa saja. Satu kampung gerah, jadinya. Tapi Blokeng tetap diam. Bahkan tertawa ketika masing-masing lelaki berulah agar tak disangka sebagai bapak si bayi. Dalam semua cerpennya itu ahmad tohari hampir selalu mengajukan ironi ke hadapan pembaca. Ada sesuatu yang tertinggal dan mengganjal kesadaran kita sebagai pembacanya. Pada cerpen Blokeng, akhir cerita terkesan dipaksa; Ahmad Tohari memaksa para pembaca untuk mengejek dunia rekaannya itu dengan tertawa keras. Akibatnya, Ahmad Tohari tampak sebagai pemberi nasihat secara berlebihan.
Mengenai Joko Utomo, saya tidak mempunyai informasi tentang seluk beluk riwayat hidup beliau. Saya juga tidak mendapatkan informasi karya-karya apa saja yang ia ciptakan selain Kota Telanjang ini. Dari informasi yang saya dapatkan, Joko Utomo telah di Blacklist dari kolom cerpen Solopos seumur hidup dikarenakan Kota Telanjang  telah memplagiat Blokeng-nya Ahmad Tohari. Itulah yang menyebabkan kepengarangan Joko Utomo sangat sulit untuk saya dapatkan. Namun, cara Joko mengembangkan ide cerita pada awalnya memang lumayan kreatif, ia telah berusaha memodifikasi Blokeng sehebat mungkin, hanya saja saat mengakhiri Kota Telanjang, Joko terlalu liar. Bupati dan Istrinya digambarkan telanjang bulat, sedangkan dalam Blokeng satu kampung gundul semua. Sebenarnya dengan kegundulan saja sudah absurd, hanya ditemukan dalam cerpen sebagai realita cerpen tersebut.
Bakat kepengarangan Joko Utomo sebenarnya hebat, harusnya ia diberi lahan yang subur dan bagus untuk mengembangkan kreatifitasnya. Ide yang dimiliki Ahmad Tohari dalam Blokeng memang sangat brilian. Namun harus sama-sama kita ketahui bahwa ide tersebut memiliki kemungkinan pengembangan ke segala arah. Nampaknya hukuman yang dijatuhkan Solopos terlampau berat. Andai saja Blokeng diberikan kepada para mahasiswa, hal serupa pasti akan terjadi; kemiripan ide.
Dalam menyajikan Blokeng, dapat ditafsirkan bahwa Ahmad Tohari menicptakan cerpen tersebut berdasarkan pengalaman atau pengamatanya terhadap lingkungan disekitarnya. Akan tetapi, sepertinya cerita tersebut memang sengaja tidak diselesaikan alias menggantung sehingga pembaca bebas mengakhirinya seperti yang mereka pikirkan. Pada suatu acara ngopi siang, disebuah  universitas negeri, ada seorang peserta yang bertanya bahwa siapa sebenarnya ayah dari bayi yang dikandung Blokeng. Akan tetapi, Ahmad Tohari tetap merahasiakannya dan berkata kita tidak perlu tahu siapa ayah dari bayi Blokeng. Dan pertanyaan itu pasti akan selalu melintasi benak pembaca ketika pembaca tersebut membaca blokeng. Itulah misteri dalam blokeng yang masih menjadi teka-teki dan tanda tanya dibenak pembaca.[12]

REFERENSI
Barry, Peter. 2010. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: bukupop.

Moehiddin, Ilham Q. 2013. Dugaan Plagiarisme: Transformasi Blokeng menjadi Kota Telanjang (online). Tersedia: http://www.facebook.com . Diunduh pada 16 November 2013 pukul 13.23 WIB.

Natamarga, Rimbun. 2013. Review of Senyum Karyamin (online). Tersedia: http://www.goodreads.com. Diunduh pada 21 November 2013 pukul 16:19 WIB.

Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia.

Ratih, Rina. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanidita Graha Widia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sitanggang, S. R. H. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Tohari, Ahmad. 1989. Senyum Karyamin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.





[1] S. R. H. Sitanggang, Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 81.
[2] Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), hlm. 50
[3] Rina Ratih, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: PT Hanidita Graha Widia, 2001), hlm. 136
[4] A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 62-65
[5] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: bukupop, 2011), hlm.200
[6] Ibid, hlm. 197
[7] Peter Barry, Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm. 82
[8] Rachmat Djoko Pradopo, dkk, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia, 2001), hlm. 126
[9] Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 175
[10] Ahmad Tohari, Senyum Karyamin (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm. 30
[11] Ilham Q Moehiddin, Dugaan Plagiarisme: Transformasi Blokeng menjadi Kota Telanjang (online), tersedia: http://www.facebook.com , diunduh pada 16 November 2013 pukul 13.23 WIB
[12] Rimbun Natamarga, Review of Senyum Karyamin (online), tersedia: http://www.goodreads.com, diunduh pada 21 november 2013 pukul 16:19 WIB

1 komentar:

  1. online casino | Agen Slot Pragmatic Play - Aztec dan Slot
    Online 더킹카지노 Casino, Play Online, 온카지노 Agen Slot 우리카지노 Pragmatic Play, Casino Games, No deposit, Bonus.

    BalasHapus