Menurut beberapa kritikus,
drama-drama yang lahir pada masa penjajahan Jepang merupakan drama untuk
kepentingan propaganda. Apalagi drama yang diterbitkan Djawa Hookookai Keimin
Bunka Shidosho (Rombongan Sandiwara Keliling, Poesat Keboedajaan) seperti
Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon. Drama-drama yang dimuat
dalam tiga jilid lakon sandiwara dan lelucon itu memang dimaksudkan sebagai
propaganda, sejalan dengan prioritas kebijaksanaan perintah militer Jepang di
Indonesia waktu itu. Namun, meskipun ditujukan untuk propaganda, di dalam
drama-drama tersebut terdapat juga pesan berupa penentangan terhadap apa yang
dipropagandakan. Pesan kontra-propaganda ini disampaikan secara tersirat
melalui pengaluran dan penokohan.
Jika dibandingkan antara
novel dengan drama yang lahir sepanjang masa penjajahan Jepang, tampaklah bahwa
jumlah karangan drama jauh lebih banyak dibanding novel. Dalam sebuah buku disebutkan
bahwa hanya ada dua buku novel yang terbit pada masa Jepang, yakni karya N. St.
Iskandar pada dan Palawidja karya Karim Halim. Sementara itu, drama yang terbit
selama tiga tahun penjajahan Jepang, dan drama-drama yang dimuat dalam
Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon, berjumlah lebih dari
tiga puluh drama. Dari sejumlah karangan drama itu, sebagian besar merupakan
drama propaganda. Kelahiran drama-drama propaganda ini terkait erat dengan
ketatnya sensor pemerintah militer Jepang terhadap setiap pementasan.
Pengertian Drama
Drama adalah bentuk karya
sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian
dan emosi melalui lakuan dari dialog. Drama merupakan potret kehidupan manusia
yang suka dan duka, konflik dan aneka kehidupan lainnya yang memang penuh warna.
Biografi Amal Hamzah
Lahir di Binjai, Langkat
pada tahun 1922. Amal adalah adik penyair Amir Hamzah. Awalnya terpengaruh oleh
gaya abangnya idealis. Perhatian Amal terhadap sastra Timur sangat besar,
seperti abangnya. Ia sangat mengagumi penulis India Rabindranath Tagore.
Beberapa karya penulis India ini telah dia terjemahkan, yakni Gitanyali
(sajak-sajak) dan Seroja Gangga (kumpulan tulisan). Amal juga menterjemahkan
Untaian Bunga serta Kuntum Melati Gangga (kumpulan tulisan) karangan
Notosuroto, seorang penyait Indonesia yang menulis dalam Bahasa Belanda.
Notosuroto sangat terpengaruh pula Rabindranath Tagore.
Amal mulai menulis pada
zaman Jepang. Ia seorang yang kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalistis.
Juga dalam sandiwara-sandiwara dan cerita sketsa yang ditulisnya, sensualisme
sangat kentara. Setelah itu ia lebih menaruh minatnya kepada menerjemahkan.
Pada dasarnya Amal Hamzah
adalah penyair berpembawaan romantis, namun kenyataan zaman Jepang yang serba
mengecewakan itu telah mengubah wataknya yang lembut dan idealis itu menjadi
seorang sastrawan yang sangat sinis, kasar dan materialistis. Dalam beberapa
cerita pendeknya, nampak sikapnya yang kasar terhadap kenyataan dan memberi
kenyataan kotor, busuk dan menjijikkan dalam masyarakat.
Amal Hamzah telah
menerbitkan buku-buku Pembebasan Pertama (sebuah kumpulan sajak, 1949) dan
kumpulan kritik berjudul Buku dan Penulis (1950). Sebenarnya ia masih mempunyai
4 kumpulan sajaknya yang lain, hanya belum diterbitkan, yakni Gita Cinta,
Kenangan Kasih, Topan dan Sine Nomine.
Dari namanya kita sudah
menduga kalau Amir Hamzah dan Amal Hamzah merupakan satu saudara. Memang,
terkadang nama keluarga yang sudah dikenal dulu bisa memudahkan orang lebih
mudah mengenal adik atau kakaknya yang muncul menyusul. Namun, selanjutnya
tetap saja ditentukan oleh kualitas diri seseorang juga. Dan masyarakat tak
bisa dipaksa untuk menerima seseorang tanpa disertai ada "sesuatu"
pada dirinya.
Sinopsis
Drama
Drama ini mengisahkan
tentang percakapan antara tokoh X dan tokoh Y yang sama-sama merupakan seniman
Indonesia. Namun mereka berada di dua kubu yang berbeda. Yang satu merupakan
Pro-Jepang dan yang satu lagi merupakan Kontra-Jepang.
Bermula dari X yang sedang
menunggu orang lain karena manuskrip sandiwara yang ia buat ada di orang
tersebut. Lalu Y menanyakan sandiwara macam apa dan mulai timbul konflik
diantara mereka. Konflik yang membicarakan tentang harga diri bangsa Indonesia
dan harga diri seniman.
Mula-mula Y merasa heran
mengapa X rela menjadi buruh, lonte, bayaran dan sebagainya bagi Jepang.
Padahal seharusnya seniman Indonesia haruslah mengharumkan bangsanya. Rupaya X
telah dibutakan oleh Jepang dengan iming-iming uang dan kemerdekaan palsu. X
sempat menawarkan Y untuk ikut bekerja seperti dia, namun Y menolak. Ia tidak
ingin menggali tanah sendiri. Lagi-lagi, X telah dibutakan oleh kedudukan dan
harta. Jepang telah menebarkan najis di dalam dirinya. Y merasa kecewa karena X
dengan teganya menjatuhkan harga diri bangsanya.
Dan diakhir dialog, Y
menegaskan bahwa ia akan meneriakkan pengkhianatan yang dilakukan oleh X.
Pengkhianatan yang ia buat kepada bangsanya sendiri lewat tulisan-tulisannya.
Analisis
Karya dengan Pendekatan Mimetik
Dalam menganalisis drama
Seniman Pengkhianat saya menggunakan pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik
adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap
hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang
memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas.
Karya sastra merupakan
cermin masyarakat. Seorang sastrawan tidak bisa lepas dari keadaan
sekelilingnya di mana ia tinggal. Ia melihat dan mendengar apa yang terjadi di
sekitarnya. Sehingga karya sastra itu pun lahir berdasarkan kenyataan apa yang
dilihat dan didengar oleh pengarangnya.
Seniman
Pengkhianat diciptakan oleh Amal Hamzah pada awal tahun 1942. Dan dibukukan
oleh HB Jassin dalam bukunya Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1985).
Drama ini berisi dialog antara X dan Y yang menggambarkan percakapan antara dua
seniman itu mewakili dua dunia seniman. Yang satu seniman yang mau menjaga
kemurnian ciptaannya karena itu menolak menjadi kacung Kantor Pusat Kebudayaan. Sedangkan yang lain mengabdi pada
Jepang, membuat sajak, lagu, cerita pendek, sandiwara sesuai dengan pesanan
Jepang.
Jika di amati, sebenarnya
Seniman Pengkhianat yang diciptakan oleh Amal Hamzah ini merupakan bentuk
sebuah sindiran kepada para seniman yang bekerja untuk Jepang. Seperti salah
satu dramanya yang berjudul “Tuan Amin” yang juga merupakan bentuk sindiran kepada
Armyn Pane yang pada waktu itu bersemangat menyokong Jepang dan menulis
sandiwara-sandiwara pesanan Jepang.
Mari kita amati penggalan
dialog berikut :
Y : “Aku heran melihat engkau. Apa saja acaranya,
engkau membuatnya menjadi sajak, cerita pendek, sandiwara, dan sebagainya.”
X : “Apa susahnya. Bikin saja, asal u sama u, a sama
a, b sama b, sudah beres. Bikin cerita pendek syaratnya asal jangan lupa:
menghancurkan musuh, musuh jahanam, musuh biadab; kemenangan tinggal tunggu
hari lagi. Pihak kita: kesayangan Tuhan, Tuhan telah menjanjikan kita
kemenangan dan sebagainya yang muluk-muluk, yang jelek-jelek pada pihak lawan.”
Y : “Kuheran. Engkau dapat menulis demikian.”
X : “Mengapa heran? Engkau juga bisa, kalau engkau
mau.”
Tokoh X merupakan gambaran
seniman yang menulis untuk Jepang, dan tokoh Y merupakan gambaran seniman yang
menolak bekerja untuk Jepang. Di sini Amal menggambarkan bahwa keadaan seniman
pada saat itu benar-benar di bawah pengaruh Jepang. Karya sastra yang bermunculan
pada saat itu tidak terlepas dari unsur propaganda. Para seniman rela
mengerjakan apapun, tak peduli apa yang mereka tulis asalkan syaratnya
menghancurkan musuh. Amal heran, mengapa para seniman dengan mudahnya percaya
pada janji-janji manis Jepang yang katanya ingin memberikan kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia.
Mari lihat penggalan dialog
yang berikutnya :
Y
: “Tapi engkau toh mengerti, bahwa pekerjaan yang demikian tidak ada jiwanya?”
X
: “Jiwa? Perlu apa jiwa sekarang? Jiwa diobral di medan perang.
Hanya engkau yang meributkan perkara jiwa.”
Y : “Bukan demikian. Padaku sesuatu itu mesti ada
‘aku’-ku di dalamnya. Kalau tidak, aku tidak puas.”
X : “Kalau sekarang engkau hendak memasukkan ‘aku’–mu
ke dalam suatu pekerjaan, nanti engkau akan mendapat panggilan dari Gambir
Barat 1.
Melalui
penggalan dialog tersebut, Amal mengungkapkan lewat tokoh Y bahwa dalam
menciptakan karya sastra, harus benar-benar menjiwai, harus benar-benar apa
yang berasal dari kehidupan sang pengarang, kehidupan sekelilingnya, dapat
diterima oleh masyarakat luas. Bukan menciptakan sesuatu yang palsu, yang tidak
memiliki jiwa seni sama sekali. Pada saat itu para seniman yang bekerja untuk
Jepang tidak peduli dengan tulisan yang mereka buat. Tak peduli apakah itu
bernilai seni atau bukan, yang penting mereka dapat uang dan mendapatkan
kemerdekaan yang sebenarnya hanyalah janji manis belaka.
Dalam dialog ini Amal
beranggapan bahwa seharusnya mereka tidak melakukan hal demikian, menyuarakan
kebaikan-kebaikan Jepang padahal semuanya jelas-jelas bertolak belakang dari
apa yang sedang mereka suarakan. Seniman-seniman pada masa itu benar-benar
dibutakan oleh Jepang, yang memberi iming-iming uang bagi sapa saja yang
bekerja untuknya. Mereka memakan gaji buta. Gaji yang mereka peroleh dengan
cara menggali tanah bangsa sendiri. Seperti pada kutipan dialog berikut :
Y : “Aku tahu. Aku lemah. Aku tidak punya karaben.
Tapi, kalau aku disuruhnya menulis-menulis, seperti yang engkau laksanakan,
lebih baik aku makan tanah.”
X : “Apa hinanya? Dia kuanggap majikan, aku buruh. Aku
makan gaji. Apa yang dia suruh, toh aku mesti bikin?”
Y
: “Engkau mesti ingat. Engkau bukan buruh biasa. Engkau seorang seniman.”
X
: “Tidak! Aku tidak pernah bilang aku seorang seniman. Aku orang biasa. Namaku
X.”
Y
: “Tapi pekerjaanmu? Pekerjaanmu mempropaganda ini itu kepada rakyat.”
X
: “Rakyat toh mesti diberi penerangan?”
Betapa tokoh Y sangat
menyayangkan sikap para seniman yang rela menjadi buruh bagi Jepang hanya
karena uang dan kemerdekaan palsu. Pekerjaan baik seorang seniman telah
dikotori oleh buaian kata-kata hina dari Jepang. Terlihat bahwa tokoh Y tak
habis pikir dengan pekerjaan yang dilakukan para seniman itu. Mereka
menjatuhkan bangsa Indonesia lewat tangan-tangan mereka, tulisan-tulisan
mereka. Mereka menipu amat banyak generasi selanjutnya. Karena yang mereka
tulis selalu saja kebaikan Jepang, sangat tidak sesuai dengan fakta.
Padahal mereka lahir dan
besar di Indonesia, negara di mana orang tua mereka melahirkan mereka. Namun
dengan begitu mudahnya mereka percaya dengan Jepang. Selalu uang saja yang
mereka pikirkan, yang hanya merupakan kesenangan belaka.
X : “Aku tidak bisa. Tinggal di gubuk rebeh seperti
engkau, maaf saja. Aku biasa tinggal di Laan. Baju mesti saban hari ganti,
sepatu mesti necis, jangan sampai ternganga. Jajan tidak bisa di pinggir jalan,
nongkrong seperti engkau. Aku bisa duduk di Oen.”
Betapa menyedihkan kondisi
seniman kita pada saat itu. Mereka rela membuang najis di bangsanya sendiri
tanpa memikirkan nasib bangsanya. Mereka membagus-baguskan Jepang dengan cara
yang kotor. Asalkan mereka mendapatkan uang. Mereka amat mengagung-agungkan
kekayaan dan harga diri. Mereka bodoh.
Mari lihat penggalan dialog
selanjutnya :
X : “Engkau cemburu
melihat kedudukanku sekarang ini. Itu sebabnya engkau caci-caci aku.”
Y
: “Aku tidak ingin kedudukanmu. Aku tidak ingin menjadi beo.
Aku tidak ingin menjadi ekor. Aku
tidak ingin menjadi lonte seperti engkau.”
Sungguh betapa kecewanya
tokoh Y kepada tokoh X tersebut. Seniman yang selalu berteriak kebaikan palsu
Jepang lewat tulisan-tulisannya. Melalui drama ini betapa Amal sangat ingin
mengatakan bahwa ia tidak ingin menjadi pengikut Jepang, menjadi seniman yang
harus mengotori bangsanya sendiri demi kepentingan pribadi, uang. Betapa tokoh
Y sangat memperjuangkan gelar seniman yang ia miliki agar tidak terkotori oleh
janji-janji Jepang. Tidak ingin menjadi lonte untuk Jepang.
Di akhir dialog, tokoh Y
mengatakan :
Y :“Aku tidak akan menutup mulutku. Aku akan
meneriak-neriakkan pengkhianatanmu terhadap bangsamu sendiri, yang engkau
jadikan mangsa kebengisan tokehmu dan yang engkau coba meliputinya dengan
tulisan-tulisanmu, untuk kepentingan kantongmu sendiri. Seandainya leherku yang
kurus ini engkau suruh penggal pada tokehmu, aku akan terus berteriak:
meneriakkan pengkhianatanmu selama ini!”
Betapa marah, kesal, dan
kecewanya tokoh Y hingga ia bisa mengatakan hal demikian. Dalam penggalan dialog
ini, tokoh Y seakan-akan ingin menunjukkan kepada semua orang dan kepada bangsa
Indonesia bahwa para seniman tersebut telah mengkhianati bangsanya sendiri.
Mereka telah berkata sangat bohong. Semua itu mereka lakukan demi memenuhi
kantong mereka.
Lalu yang menjadi
pertanyaan, sebenarnya siapakah seniman yang dimaksudkan oleh Amal dalam dialog
ini? Berikut akan saya jawab berdasarkan penggalan dialog drama di bawah ini :
X : “Mengapa aku saja yang engkau terkam?”
Y : “Karena aku anggap engkau wakil dari
gerombolanmu.”
X : “Bukan golonganku saja yang diperbudak. Semua
golongan, tidak ada terkecualinya.”
Tentu di sini kita bisa
menangkap bahwa tokoh X yang dimaksud Amal yaitu Armyn Pane. Kata “wakil dari
gerombolan” dalam penggalan drama tersebut berartian bahwa tokoh X merupakan
seseorang yang dijadikan ketua dari gerombolan tersebut untuk memimpin anggota
gerombolan yang lain. Armyn Pane pada saat itu merupakan pemimpin bagian
Kesusastraan Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) sebuah lembaga
atau organisasi bentukan pemerintah pendudukan Jepang yang bertugas
memobilisasi berbagai potensi seni dan budaya untuk kepentingan Jepang. Oleh
karena itu tidak bisa dipungkiri bahwa tokoh X yang dimaksud Amal yaitu Armyn
Pane.
Drama-drama
yang dibuat oleh Amal Hamzah berbeda dengan drama-drama yang lain. Apa bedanya?
Jelas berbeda. Drama-drama lain yang bermunculan pada saat itu hampir semuanya
menyuarakan propaganda Jepang. Oleh karena itu, drama-drama tersebut diberi
izin oleh Jepang untuk dipentaskan. Sedangkan drama yang dibuat Amal Hamzah
berisi ejekan meleceh para seniman yang menjadi budak Jepang. Tentu saja tidak
mungkin dimainkan pada saat itu. Karena ketatnya sensor pemerintah militer
Jepang terhadap setiap pementasan.
Demikianlah Amal Hamzah
menggambarkan kenyataan keadaan para seniman pada saat itu, khususnya para
seniman yang bekerja dibawah tangan Jepang. Selain itu Amal menggambarkan
betapa bodohnya para seniman yang percaya dengan janji-janji palsu Jepang dan
tunduk pada uang. Para seniman yang tidak patas dibilang seniman karena
menciptakan tulisan-tulisan palsu, tidak mempunyai nilai seni. Malah mereka
membuat tulisan-tulisan yang sesungguhnya membantu Jepang untuk merendahkan
bangsa Indonesia.
Oleh karena itu dalam drama
ini Amal Hamzah ingin menyampaikan bahwa tidak semua seniman di Indonesia
bekerja tulus. Kalau zaman dahulu, para seniman bekerja dengan sepenuh hati,
tidak ada niat untuk mendapatkan limpahan harta lewat goresan
tulisan-tulisannya, dan mereka selalu menciptakan karya sastra bernilai seni
dan luar biasa indahnya sehingga masih diingat hingga sekarang. Coba lihat
zaman sekarang. Apakah ada karya sastra yang buming dan terkenal? Saya rasa ada
namun sedikit dan tentu tidak banyak orang mempedulikannya. Dan memang, seperti
apa yang disampaikan Amal Hamzah dalam Seniman Pengkhianat ini, seniman sejati
tentu tidak akan membuang najis di tanah bangsanya sendiri.
REFERENSI
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta :
Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar