Selasa, 05 Agustus 2014

Analisis Drama “Sang Pengkhianat” Karya Amal Hamzah Berdasarkan Pendekatan Mimetik



Menurut beberapa kritikus, drama-drama yang lahir pada masa penjajahan Jepang merupakan drama untuk kepentingan propaganda. Apalagi drama yang diterbitkan Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho (Rombongan Sandiwara Keliling, Poesat Keboedajaan) seperti Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon. Drama-drama yang dimuat dalam tiga jilid lakon sandiwara dan lelucon itu memang dimaksudkan sebagai propaganda, sejalan dengan prioritas kebijaksanaan perintah militer Jepang di Indonesia waktu itu. Namun, meskipun ditujukan untuk propaganda, di dalam drama-drama tersebut terdapat juga pesan berupa penentangan terhadap apa yang dipropagandakan. Pesan kontra-propaganda ini disampaikan secara tersirat melalui pengaluran dan penokohan.
Jika dibandingkan antara novel dengan drama yang lahir sepanjang masa penjajahan Jepang, tampaklah bahwa jumlah karangan drama jauh lebih banyak dibanding novel. Dalam sebuah buku disebutkan bahwa hanya ada dua buku novel yang terbit pada masa Jepang, yakni karya N. St. Iskandar pada dan Palawidja karya Karim Halim. Sementara itu, drama yang terbit selama tiga tahun penjajahan Jepang, dan drama-drama yang dimuat dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon, berjumlah lebih dari tiga puluh drama. Dari sejumlah karangan drama itu, sebagian besar merupakan drama propaganda. Kelahiran drama-drama propaganda ini terkait erat dengan ketatnya sensor pemerintah militer Jepang terhadap setiap pementasan.

Pengertian Drama
Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dari dialog. Drama merupakan potret kehidupan manusia yang suka dan duka, konflik dan aneka kehidupan lainnya yang memang penuh warna.

Biografi Amal Hamzah
Lahir di Binjai, Langkat pada tahun 1922. Amal adalah adik penyair Amir Hamzah. Awalnya terpengaruh oleh gaya abangnya idealis. Perhatian Amal terhadap sastra Timur sangat besar, seperti abangnya. Ia sangat mengagumi penulis India Rabindranath Tagore. Beberapa karya penulis India ini telah dia terjemahkan, yakni Gitanyali (sajak-sajak) dan Seroja Gangga (kumpulan tulisan). Amal juga menterjemahkan Untaian Bunga serta Kuntum Melati Gangga (kumpulan tulisan) karangan Notosuroto, seorang penyait Indonesia yang menulis dalam Bahasa Belanda. Notosuroto sangat terpengaruh pula Rabindranath Tagore.
Amal mulai menulis pada zaman Jepang. Ia seorang yang kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalistis. Juga dalam sandiwara-sandiwara dan cerita sketsa yang ditulisnya, sensualisme sangat kentara. Setelah itu ia lebih menaruh minatnya kepada menerjemahkan.
Pada dasarnya Amal Hamzah adalah penyair berpembawaan romantis, namun kenyataan zaman Jepang yang serba mengecewakan itu telah mengubah wataknya yang lembut dan idealis itu menjadi seorang sastrawan yang sangat sinis, kasar dan materialistis. Dalam beberapa cerita pendeknya, nampak sikapnya yang kasar terhadap kenyataan dan memberi kenyataan kotor, busuk dan menjijikkan dalam masyarakat.
Amal Hamzah telah menerbitkan buku-buku Pembebasan Pertama (sebuah kumpulan sajak, 1949) dan kumpulan kritik berjudul Buku dan Penulis (1950). Sebenarnya ia masih mempunyai 4 kumpulan sajaknya yang lain, hanya belum diterbitkan, yakni Gita Cinta, Kenangan Kasih, Topan dan Sine Nomine.
Dari namanya kita sudah menduga kalau Amir Hamzah dan Amal Hamzah merupakan satu saudara. Memang, terkadang nama keluarga yang sudah dikenal dulu bisa memudahkan orang lebih mudah mengenal adik atau kakaknya yang muncul menyusul. Namun, selanjutnya tetap saja ditentukan oleh kualitas diri seseorang juga. Dan masyarakat tak bisa dipaksa untuk menerima seseorang tanpa disertai ada "sesuatu" pada dirinya.

Sinopsis Drama
Drama ini mengisahkan tentang percakapan antara tokoh X dan tokoh Y yang sama-sama merupakan seniman Indonesia. Namun mereka berada di dua kubu yang berbeda. Yang satu merupakan Pro-Jepang dan yang satu lagi merupakan Kontra-Jepang.
Bermula dari X yang sedang menunggu orang lain karena manuskrip sandiwara yang ia buat ada di orang tersebut. Lalu Y menanyakan sandiwara macam apa dan mulai timbul konflik diantara mereka. Konflik yang membicarakan tentang harga diri bangsa Indonesia dan harga diri seniman.
Mula-mula Y merasa heran mengapa X rela menjadi buruh, lonte, bayaran dan sebagainya bagi Jepang. Padahal seharusnya seniman Indonesia haruslah mengharumkan bangsanya. Rupaya X telah dibutakan oleh Jepang dengan iming-iming uang dan kemerdekaan palsu. X sempat menawarkan Y untuk ikut bekerja seperti dia, namun Y menolak. Ia tidak ingin menggali tanah sendiri. Lagi-lagi, X telah dibutakan oleh kedudukan dan harta. Jepang telah menebarkan najis di dalam dirinya. Y merasa kecewa karena X dengan teganya menjatuhkan harga diri bangsanya.
Dan diakhir dialog, Y menegaskan bahwa ia akan meneriakkan pengkhianatan yang dilakukan oleh X. Pengkhianatan yang ia buat kepada bangsanya sendiri lewat tulisan-tulisannya.

Analisis Karya dengan Pendekatan Mimetik
Dalam menganalisis drama Seniman Pengkhianat saya menggunakan pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas.
Karya sastra merupakan cermin masyarakat. Seorang sastrawan tidak bisa lepas dari keadaan sekelilingnya di mana ia tinggal. Ia melihat dan mendengar apa yang terjadi di sekitarnya. Sehingga karya sastra itu pun lahir berdasarkan kenyataan apa yang dilihat dan didengar oleh pengarangnya.
Seniman Pengkhianat diciptakan oleh Amal Hamzah pada awal tahun 1942. Dan dibukukan oleh HB Jassin dalam bukunya Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1985). Drama ini berisi dialog antara X dan Y yang menggambarkan percakapan antara dua seniman itu mewakili dua dunia seniman. Yang satu seniman yang mau menjaga kemurnian ciptaannya karena itu menolak menjadi kacung Kantor Pusat Kebudayaan. Sedangkan yang lain mengabdi pada Jepang, membuat sajak, lagu, cerita pendek, sandiwara sesuai dengan pesanan Jepang.
Jika di amati, sebenarnya Seniman Pengkhianat yang diciptakan oleh Amal Hamzah ini merupakan bentuk sebuah sindiran kepada para seniman yang bekerja untuk Jepang. Seperti salah satu dramanya yang berjudul “Tuan Amin” yang juga merupakan bentuk sindiran kepada Armyn Pane yang pada waktu itu bersemangat menyokong Jepang dan menulis sandiwara-sandiwara pesanan Jepang.
Mari kita amati penggalan dialog berikut :
Y : “Aku heran melihat engkau. Apa saja acaranya, engkau membuatnya menjadi sajak, cerita pendek, sandiwara, dan sebagainya.”
X : “Apa susahnya. Bikin saja, asal u sama u, a sama a, b sama b, sudah beres. Bikin cerita pendek syaratnya asal jangan lupa: menghancurkan musuh, musuh jahanam, musuh biadab; kemenangan tinggal tunggu hari lagi. Pihak kita: kesayangan Tuhan, Tuhan telah menjanjikan kita kemenangan dan sebagainya yang muluk-muluk, yang jelek-jelek pada pihak lawan.”
Y : “Kuheran. Engkau dapat menulis demikian.”
X : “Mengapa heran? Engkau juga bisa, kalau engkau mau.”
Tokoh X merupakan gambaran seniman yang menulis untuk Jepang, dan tokoh Y merupakan gambaran seniman yang menolak bekerja untuk Jepang. Di sini Amal menggambarkan bahwa keadaan seniman pada saat itu benar-benar di bawah pengaruh Jepang. Karya sastra yang bermunculan pada saat itu tidak terlepas dari unsur propaganda. Para seniman rela mengerjakan apapun, tak peduli apa yang mereka tulis asalkan syaratnya menghancurkan musuh. Amal heran, mengapa para seniman dengan mudahnya percaya pada janji-janji manis Jepang yang katanya ingin memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Mari lihat penggalan dialog yang berikutnya :
Y : “Tapi engkau toh mengerti, bahwa pekerjaan yang demikian tidak ada jiwanya?”
X : “Jiwa? Perlu apa jiwa sekarang? Jiwa diobral di medan perang.
Hanya engkau yang meributkan perkara jiwa.”
Y : “Bukan demikian. Padaku sesuatu itu mesti ada ‘aku’-ku di dalamnya. Kalau tidak, aku tidak puas.”
X : “Kalau sekarang engkau hendak memasukkan ‘aku’–mu ke dalam suatu pekerjaan, nanti engkau akan mendapat panggilan dari Gambir Barat 1.
     Melalui penggalan dialog tersebut, Amal mengungkapkan lewat tokoh Y bahwa dalam menciptakan karya sastra, harus benar-benar menjiwai, harus benar-benar apa yang berasal dari kehidupan sang pengarang, kehidupan sekelilingnya, dapat diterima oleh masyarakat luas. Bukan menciptakan sesuatu yang palsu, yang tidak memiliki jiwa seni sama sekali. Pada saat itu para seniman yang bekerja untuk Jepang tidak peduli dengan tulisan yang mereka buat. Tak peduli apakah itu bernilai seni atau bukan, yang penting mereka dapat uang dan mendapatkan kemerdekaan yang sebenarnya hanyalah janji manis belaka.
Dalam dialog ini Amal beranggapan bahwa seharusnya mereka tidak melakukan hal demikian, menyuarakan kebaikan-kebaikan Jepang padahal semuanya jelas-jelas bertolak belakang dari apa yang sedang mereka suarakan. Seniman-seniman pada masa itu benar-benar dibutakan oleh Jepang, yang memberi iming-iming uang bagi sapa saja yang bekerja untuknya. Mereka memakan gaji buta. Gaji yang mereka peroleh dengan cara menggali tanah bangsa sendiri. Seperti pada kutipan dialog berikut :
Y : “Aku tahu. Aku lemah. Aku tidak punya karaben. Tapi, kalau aku disuruhnya menulis-menulis, seperti yang engkau laksanakan, lebih baik aku makan tanah.”
X : “Apa hinanya? Dia kuanggap majikan, aku buruh. Aku makan gaji. Apa yang dia suruh, toh aku mesti bikin?”
Y : “Engkau mesti ingat. Engkau bukan buruh biasa. Engkau seorang seniman.”
X : “Tidak! Aku tidak pernah bilang aku seorang seniman. Aku orang biasa. Namaku X.”
Y : “Tapi pekerjaanmu? Pekerjaanmu mempropaganda ini itu kepada rakyat.”
X : “Rakyat toh mesti diberi penerangan?”
Betapa tokoh Y sangat menyayangkan sikap para seniman yang rela menjadi buruh bagi Jepang hanya karena uang dan kemerdekaan palsu. Pekerjaan baik seorang seniman telah dikotori oleh buaian kata-kata hina dari Jepang. Terlihat bahwa tokoh Y tak habis pikir dengan pekerjaan yang dilakukan para seniman itu. Mereka menjatuhkan bangsa Indonesia lewat tangan-tangan mereka, tulisan-tulisan mereka. Mereka menipu amat banyak generasi selanjutnya. Karena yang mereka tulis selalu saja kebaikan Jepang, sangat tidak sesuai dengan fakta.
 Padahal mereka lahir dan besar di Indonesia, negara di mana orang tua mereka melahirkan mereka. Namun dengan begitu mudahnya mereka percaya dengan Jepang. Selalu uang saja yang mereka pikirkan, yang hanya merupakan kesenangan belaka.
X : “Aku tidak bisa. Tinggal di gubuk rebeh seperti engkau, maaf saja. Aku biasa tinggal di Laan. Baju mesti saban hari ganti, sepatu mesti necis, jangan sampai ternganga. Jajan tidak bisa di pinggir jalan, nongkrong seperti engkau. Aku bisa duduk di Oen.”
Betapa menyedihkan kondisi seniman kita pada saat itu. Mereka rela membuang najis di bangsanya sendiri tanpa memikirkan nasib bangsanya. Mereka membagus-baguskan Jepang dengan cara yang kotor. Asalkan mereka mendapatkan uang. Mereka amat mengagung-agungkan kekayaan dan harga diri. Mereka bodoh.
Mari lihat penggalan dialog selanjutnya :
X : “Engkau cemburu melihat kedudukanku sekarang ini. Itu sebabnya engkau caci-caci aku.”
Y : “Aku tidak ingin kedudukanmu. Aku tidak ingin menjadi beo.
Aku tidak ingin menjadi ekor. Aku tidak ingin menjadi lonte seperti engkau.”
Sungguh betapa kecewanya tokoh Y kepada tokoh X tersebut. Seniman yang selalu berteriak kebaikan palsu Jepang lewat tulisan-tulisannya. Melalui drama ini betapa Amal sangat ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin menjadi pengikut Jepang, menjadi seniman yang harus mengotori bangsanya sendiri demi kepentingan pribadi, uang. Betapa tokoh Y sangat memperjuangkan gelar seniman yang ia miliki agar tidak terkotori oleh janji-janji Jepang. Tidak ingin menjadi lonte untuk Jepang.
Di akhir dialog, tokoh Y mengatakan :
Y :“Aku tidak akan menutup mulutku. Aku akan meneriak-neriakkan pengkhianatanmu terhadap bangsamu sendiri, yang engkau jadikan mangsa kebengisan tokehmu dan yang engkau coba meliputinya dengan tulisan-tulisanmu, untuk kepentingan kantongmu sendiri. Seandainya leherku yang kurus ini engkau suruh penggal pada tokehmu, aku akan terus berteriak: meneriakkan pengkhianatanmu selama ini!”
Betapa marah, kesal, dan kecewanya tokoh Y hingga ia bisa mengatakan hal demikian. Dalam penggalan dialog ini, tokoh Y seakan-akan ingin menunjukkan kepada semua orang dan kepada bangsa Indonesia bahwa para seniman tersebut telah mengkhianati bangsanya sendiri. Mereka telah berkata sangat bohong. Semua itu mereka lakukan demi memenuhi kantong mereka.
Lalu yang menjadi pertanyaan, sebenarnya siapakah seniman yang dimaksudkan oleh Amal dalam dialog ini? Berikut akan saya jawab berdasarkan penggalan dialog drama di bawah ini :
X : “Mengapa aku saja yang engkau terkam?”
Y : “Karena aku anggap engkau wakil dari gerombolanmu.”
X : “Bukan golonganku saja yang diperbudak. Semua golongan, tidak ada terkecualinya.”
Tentu di sini kita bisa menangkap bahwa tokoh X yang dimaksud Amal yaitu Armyn Pane. Kata “wakil dari gerombolan” dalam penggalan drama tersebut berartian bahwa tokoh X merupakan seseorang yang dijadikan ketua dari gerombolan tersebut untuk memimpin anggota gerombolan yang lain. Armyn Pane pada saat itu merupakan pemimpin bagian Kesusastraan Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) sebuah lembaga atau organisasi bentukan pemerintah pendudukan Jepang yang bertugas memobilisasi berbagai potensi seni dan budaya untuk kepentingan Jepang. Oleh karena itu tidak bisa dipungkiri bahwa tokoh X yang dimaksud Amal yaitu Armyn Pane.
Drama-drama yang dibuat oleh Amal Hamzah berbeda dengan drama-drama yang lain. Apa bedanya? Jelas berbeda. Drama-drama lain yang bermunculan pada saat itu hampir semuanya menyuarakan propaganda Jepang. Oleh karena itu, drama-drama tersebut diberi izin oleh Jepang untuk dipentaskan. Sedangkan drama yang dibuat Amal Hamzah berisi ejekan meleceh para seniman yang menjadi budak Jepang. Tentu saja tidak mungkin dimainkan pada saat itu. Karena ketatnya sensor pemerintah militer Jepang terhadap setiap pementasan.
Demikianlah Amal Hamzah menggambarkan kenyataan keadaan para seniman pada saat itu, khususnya para seniman yang bekerja dibawah tangan Jepang. Selain itu Amal menggambarkan betapa bodohnya para seniman yang percaya dengan janji-janji palsu Jepang dan tunduk pada uang. Para seniman yang tidak patas dibilang seniman karena menciptakan tulisan-tulisan palsu, tidak mempunyai nilai seni. Malah mereka membuat tulisan-tulisan yang sesungguhnya membantu Jepang untuk merendahkan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu dalam drama ini Amal Hamzah ingin menyampaikan bahwa tidak semua seniman di Indonesia bekerja tulus. Kalau zaman dahulu, para seniman bekerja dengan sepenuh hati, tidak ada niat untuk mendapatkan limpahan harta lewat goresan tulisan-tulisannya, dan mereka selalu menciptakan karya sastra bernilai seni dan luar biasa indahnya sehingga masih diingat hingga sekarang. Coba lihat zaman sekarang. Apakah ada karya sastra yang buming dan terkenal? Saya rasa ada namun sedikit dan tentu tidak banyak orang mempedulikannya. Dan memang, seperti apa yang disampaikan Amal Hamzah dalam Seniman Pengkhianat ini, seniman sejati tentu tidak akan membuang najis di tanah bangsanya sendiri.



















REFERENSI

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar