Selasa, 05 Agustus 2014

Mengapresiasi Monolog "Nyonya Dermawan" Karya Agus R. Sarjono

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pendekatan psikologi mendapat perhatian dalam penelaahan dan penelitian sastra, hal ini terjadi karena timbulnya kesadaran bagi pengarang yang dengan sendirinya juga bagi kritikus sastra, bahwa perkembangan dan kemajuan masyarakat di zaman modern ini tidaklah semata-mata dapat diukur dari segi material tetapi juga dari segi rohaniah atau kejiwaan.
Sampai saat ini teori yang paling banyak dijadikan acuan dalam pendekatan psikologis adalah determinisme psikologi Sigmund Freud. Menurut Sigmund Freud, pada umumnya teori kepribadian dibagi menjadi tiga yaitu:  id, ego, dan super ego. Dari ketiga tipe kepribadian tersebut, Freud membagi ketiganya dalam ketiga tipe berikutnya yaitu tipe erotis, tipe narcistis dan tipe dwang.
Sesuai dengan teori yang dikemukakan di atas, dalam naskah monolog Nyonya Dermawan terdapat hal-hal yang menarik untuk dikritik. Hal-hal yang menarik tersebut yaitu kepribadian Nyonya Dermawan serta faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian Nyonya Dermawan. Kemajuan-kemajuan teknologi serta modernisasi dalam segala aspek kehidupan tampaknya bermula dari sikap kepribadian tertentu serta bermuara pada permasalahan kepribadian. Hal inilah yang coba direpresentasikan dalam naskah monolog karya Agus R. Sarjono yang berjudul Nyonya Dermawan.
Naskah monolog Nyonya Dermawan berisi tentang seorang nyonya yang kaya raya dan mengatakan dirinya sebagai orang yang dermawan. Namun di tengah sikap dermawannya  ia pun bersikap arogan. Ternyata kearoganannya itu dipicu oleh satu hal yang berasal dari masa lalunya. Kemenarikan naskah monolog ini menjadi sesuatu yang patut diapresiasi terutama dari segi psikologi dan kepribadian tokoh Nyonya Dermawan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi monolog?
2.      Bagaimana sejarah monolog?
3.      Bagaimana biografi Agus R. Sarjono?
4.      Bagaimana sinopsis monolog Nyonya Dermawan?
5.      Bagaimana mengapresiasi monolog Nyonya Dermawan dengan pendekatan psikologi?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui definisi monolog
2.      Untuk mengetahui sejarah monolog
3.      Untuk mengetahui biografi Agus R. Sarjono
4.      Untuk mengetahui sinopsis monolog Nyonya Dermawan
5.      Untuk mengetahui apresiasi monolog Nyonya Dermawan dengan pendekatan psikologi

D.    Metode Penulisan
Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini ialah dengan metode kepustakaan, yaitu mencari referensi dari buku-buku dan sumber-sumber dari internet yang berkaitan dengan monolog Nyonya Dermawan.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Monolog
Monolog adalah istilah keilmuan yang diambil dari kata mono yang artinya satu dan log darikata logi yang artinya ilmu. Secara harfiah monolog adalah suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentang seni peran dimana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan/sketsa. Kata monolog lebih banyak ditujukan untuk kegiatan seni terutama seni peran dan teater.[1]

B.     Sejarah Monolog
Sejarah monolog sebenarnya sudah diperkenalkan sejak tahun 60-an. Pada saat itu pertelevisian tidak mengenal dubbing/pengisian suara, oleh karena itu monolog banyak dipraktekkan untuk membuat film-film komedi/horror. Salah satu pengagas monolog yang terkenal adalah Charlie Chaplin. Monolog diperkenalkan pertama kali di Hollywood sektiar tahun 1964 lalu berkembang menjadi sarana seni dan teater dan sudah menjadi salah satu teori/pembelajaran dari karya seni teater. Monolog adalah percakapan aktor seorang diri. Pada mulanya, monolog merupakan salah satu bentuk latihan bagi seorang aktor. Dalam sebuah naskah drama biasanya terdapat pembicaraan panjang seorang tokoh di hadapan tokoh lain, dan hanya ia sendiri yang berbicara. Cakapan tokoh inilah yang disebut monolog dan karena panjangnya cakapan, maka emosi perasaan dan karakter tokoh itu pun berubah-ubah sesuai dengan pokok pembicaraan. Perubahan emosi dan karakter inilah yang coba dilatihkan oleh aktor. Dinamika perbahan tersebut sangat menarik dan menantang untuk dimainkan. Daya tarik permainan aktor dalam latihan monolog melahirkan permainan monolog secara mandiri. Pengarang menciptakan cerita monolog yang lepas dan bukan lagi merupakan bagian dari sebuah lakon. Permainan aktor seorang diri ini akhirnya berkembang menjadi satu bentuk pertunjukan teater. Kreasi monolog terus berkembang hingga munculnya soliloquy dan monoplay. Jika dalam monolog, aktor berpura-pura atau sedang berada dihadapan tokoh atau orang lain, maka dalam soliloquy tokoh tampil sendirian di atas panggung sehingga ia bisa dengan bebas mengungkapkan isi hatinya, rahasia-rahasia hidupnya, harapan-harapannya, dan bahkan rencana jahatnya. Sementara itu dalam monoplay, aktor harus bermain drama seorang diri. Kadang ia jadi tokoh tertentu tapi pada satu saat ia menjadi tokoh yang lain.[2]

C.    Biografi Agus R. Sarjono
Agus R. Sarjono dikenal sebagai penyair, cerpenis, dan esais. Ia lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Agus R. Sarjono bersama istri dan dua anaknya kini tinggal di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Pendidikan formalnya diselesaikan di IKIP Bandung (S1) pada studi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; dan Kajian Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UI untuk S-2-nya.Semasa mahasiswa ia aktif di Unit Pers Mahasiswa IKIP Bandung sebagai ketua (1987-1989).
Agus adalah salah seorang Ketua DPH Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2003-2006. Sebelumnya ia adalah Ketua Komite Sastra DKJ periode 1998-2001. Sehari-hari, ia bekerja sebagai pengajar di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung serta menjadi redaktur majalah Sastra Horison.
Selain menjadi editor sejumlah buku antara lain: Saini KMPuisi dan Beberapa Masalahnya (1993); Catatan Seni (1996); Kapita Selekta Teater (1996); Pembebasan Budaya-Budaya Kita (1999); Dari Fansuri ke Handayani (2001); Horison Sastra Indonesia (2002); Horison Esai (2003); Malam Sutera: Sitor Situmorang (2004); Teater Tanpa Masa Silam: Arifin C. Noer (2005); Poetry and Sincerity(2006),
Agus R. Sarjono kerap menulis puisi, cerpen, dan esai. Karyanya dimuat berbagai koran, majalah, dan jurnal terkemuka di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Puisinya telah banyak dikaji oleh peneliti dalam dan luar negeri. Dr. Heike Gabler, teaterawan dan sinolog di Berlin adalah salah satu pengkaji puisi Agus R. Sarjono. Ia berpendapat tentang kumpulan puisi Tulang Segar dari Banyuwangi (Frische Knochen aus Banyuwangi). “Agus R. Sarjono tidak saja menciptakan gambar/imaji, tetapi juga membangunkan elemen dan figur dalam puisinya agar hidup. Ia membuatnya berkomunikasi seperti dalam suatu drama. Hal tersebut mengingatkan saya akan kebiasaan animistis. Selain mengikuti bengkel kerja puisi, seperti Asean Writers Conference/Workshop (Poetry) di Manila (1994); Agus juga pernah menjadi tutor/pendamping penyair Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis Sastera Asia Tenggara di Jakarta (1997).
Agus pernah diundang membacakan sajaknya di beberapa festival internasional, seperti Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta (1995), Festival Seni Ipoh III di negeri Perak, Malaysia (1998); Malam Puisi Indonesia-Belanda di Erasmus Huis (1998); Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda (1999; 2003), Malam Indonesia, Paris (1999); Festival Internasional Poetry on the Road, Bremen (2001), Internasionales Literaturfestival, Berlin (2001), dan Puisi Internasional Indonesia di Makassar dan Bandung (2002). Ia kerap diundang pula menjadi pemakalah di berbagai kegiatan sastra, antara lain “Mimbar Penyair Abad 21" di TIM (1996); “Pertemuan Sastrawan Nusantara IX/Pertemuan Sastrawan Indonesia 1997" di Sumatera Barat; “Pertemuan Sastrawan Nusantara X/Pertemuan Sastrawan Malaysia I” di Johor Bahru.
Ia juga pernah diundang sebagai penyair tamu di Heinrich Böll Haus, Langenbroich, Jerman, sejak Desember 2002 hingga Maret 2003. Dalam masa itu ia diundang berdiskusi dan membacakan puisinya di berbagai universitas terkemuka dan pusat kesenian di Jerman. Sejak enam tahun yang lalu, ia merupakan salah seorang instruktur sastra bagi para guru se-Indonesia. Kesibukannya yang lain adalah sebagai anggota Majelis Sastra Asia Tenggara yang disponsori oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Salah satu karyanya pernah dimuat dalam cerpen pilihan Kompas 2003. Karya esainya diterbitkan dalam buku, antara lain Bahasa dan Bonafiditas Hatu (2001) dan Sastra dalam Empat Orba (2001). Karya dramanya, terbit dalam buku Atas Nama Cinta (2004). Puisinya terbit dalam berbagai antologi di Indonesia, bahkan di Manila (Filipina), Seoul (Korea Selatan), serta Bremen dan Berlin (Jerman). Selain itu, karyanya diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Serbia, Arab, Korea, dan China.[3]

D.    Sinopsis Monolog
Monolog yang dimuat Horison pada 2008 silam ini mengisahkan seorang ibu berkehidupan kaya dan mewah yang suka arisan. Ibu-ibu yang suka bergaya dermawan untuk mencari popularitas dan pujian. Cerita bermula ketika nyonya dermawan ini merasa terlambat datang arisan. Merasa imejnya sebagai orang yang selalu on-time akan terancam lantaran telat datang arisan. Menurutnya, keterlambatannya dikarenakan burung peliharaan sang suami yang baru dibeli seharga dua puluh lima juta rupiah kabur.
Lepasnya burung mahal itu telah merusak barang-barang mewah di rumah nyonya. Mulai dari-si burung-menclok di jambangan Kristal dari Vienna, di sofa romawi dari Yunani, di meja rias Versace dari Itali, di lukisan Affandi, Joko Pekik, dan Antonio Blanco, hingga akhirnya berujung pada beraknya si burung elit itu di jaguar yang baru saja dibeli mereka seminggu lalu.
Selesai menceritakan petualangan si burung elit menclok ke banyak barang bermerek kelas tinggi, si nyonya kadang merasa sangat bangga dan mencintai kehidupan rumah tangganya bersama sang suami yang katanya pengusaha besar. Tapi tidak jarang juga, nyonya merasa suaminya tidak seperti yang diharapkannya. Hal ini tentu karena masa lalu si nyonya ketika dipaksa menikah dengan suaminya saat ini.
Ketika sudah jengkel dengan suaminya, tidak jarang pula, nyonya mengeluh, merasa bahwa suaminya bukan orang romantis. Meski hidupnya makmur dengan banyak harta bergelimpangan, tapi toh nyonya juga perlu kasih sayang sang suami, semisal mengucapkan selamat ulang tahun padanya yang tidak pernah didapatnya dari sang suami, yang tidak ia temukan dalam banyak hartanya. Tapi toh, nyonya yang dermawan selaku mensugestikan dirinya harus bahagia dengan kehidupannya sekarang.

E.     Apresiasi Karya dengan Pendekatan Psikologi
1.      Psikologi Sastra
Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia. Lewat tinjauan psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya atau paling sedikit untuk memancarkan bahwa karya sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia.[4] Psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut pskologi. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang, dan pembaca (psikologi komunikas sastra) atau kepada teks itu sendiri (dick hartoko).[5] Daya tarik psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Setiap pengarang kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman pengarang itu sering pula dialami oleh orang lain.[6]
Sigmund Freud lahir di Moravia, 6 Mei 1856. Freud adalah  psikolog pertama yang menyelidiki aspek ketidaksadaran dalam jiwa manusia. Freud membahas pembagian psikisme manusia:
1.      Id
Merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti misalnya kebutuhan: makan, seks, menolak rasa sakit atau tidak nyaman.
2.      Ego
Ego berada diantara alam sadar dan alam bawah sadar. Tugas ego memberi tempat pada fungsi mental utama, misalnya: penalaran, penyelesaian masalah, dan pengambilan keputusan.
3.      Superego
Superego sama halnya dengan “hati nurani” yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience). Superego mengacu pada moralitas dalam kepribadian.
Dari ketiga tipe kepribadian tersebut, Freud membagi ketiganya dalam ketiga tipe berikutnya, yaitu:
1.      Tipe Erotis
Elemen id menguasai, orang-orang yang bergabung dalam tipe ini ditandai dengan adanya suatu kehidupan dorongan yang sangat kuat yang tidak dapat ‘direm’. Baik oleh ego maupun super ego.
2.      Tipe Narcistis
Elemen ego yang menguasai. Kesadaran diri yang berada paling depan. Pertimbangan menjadi titik sentral atau pusat.
3.      Tipe Dwang
Elemen super ego yang menguasai. Artinya, manusia sepenuhnya bergantung pada kultur. Norma-norma dan prinsip-prinsip akan mengarahkan perilaku dan ada pengaruh moralitas yang kuat.
Karya fiksi psikologis merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu karya yang bergumul dengan spiritual, emosional, dan mental para tokoh dengan cara lebih bayak mengkaji perwatakan daripada mengkaji alur atau peristiwa.[7] Dalam menyajikan dan menentukan karakter (watak) para tokoh, pada umumnya pengarang menggunakan dua cara atau metode dalam karyanya. Pertama, metode langsung (telling) dan kedua, metode tidak langsung (showing). Metode telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Sedangkan metode showing memperlihatkan pengarang menempatka diri di luar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan action.[8]

2.      Mengapresiasi Monolog Nyonya Dermawan dengan Pendekatan Psikologi
Nyonya Dermawan, merupakan cerminan konsep perubahan watak, dikarenakan tokoh Nyonya mengalami gangguan psikologis dalam hidupnya. Kisahan ini disampaikan pengarang melalui sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama, dimana tokoh Nyonya diberi kebebasan untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, harapan, dan lain-lain tanpa turut campur si narator.
           Tidak semua orang yang memiliki sifat sombong, pelit dan lain sebagainya berasal dari bawaaan sejak lahir. Terbukti dalam monolog ini, Nyonya Dermawan memiliki sifat tersebut karena latar belakang orang tua yang memaksanya untuk bersikap demikian. Selain itu, sifat ini muncul karena untuk memberikan kesan bahwa Nyonya Dermawan adalah seorang wanita yang hidup bahagia bersama suami pilihan orang tuanya. Perubahan watak yang terjadi pada tokoh Nyonya dilatar belakangi oleh kondisi psikologinya. Dia berusaha agar hidupnya terlihat sempurna, sehingga dia membangun segala macam imej yang baik. Imej yang ia bangun itu bertujuan agar suaminya terlihat oleh orang-orang sebagai suami yang perhatian dan penuh cinta.
Salah satu hal yang membuat monolog ini menarik adalah perubahan nasib pada tokoh Nyonya Dermawan. Perubahan ini terlihat dari cerita-cerita yang dipaparkan oleh tokoh Nyonya. Nyonya Dermawan pada mulanya memiliki sifat yang penurut, sebab dia mengikuti kemauan orang tuanya untuk menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Namun setelah menjalani kehidupan rumah tangga dia merubah sifatnya menjadi seseorang yang memiliki sifat narcistis. Sifat ini muncul akibat dari tekanan psikologi yang dialaminya.
Dalam naskah monolog ini, tokoh Nyonya Dermawan digambarkan memiliki kepribadian kompleks. Kepribadian tersebut jelas tergambar dalam ketiga tipe kepribadian yang dijelaskan oleh Freud.
1.      Tipe Erotis
Id tokoh Nyonya Dermawan dalam monolog ini tidak nampak. Terbukti ketika Nyonya dipaksa oleh orang tuanya memutuskan hubungan dengan kekasihnya, Nyonya berniat bunuh diri. Ternyata id dalam dirinya tidak menunjukkan hal itu.
“Hati saya Jeng. Hati saya ibu-ibu seperti cermin murah yang jatuh dari tebing yang tinggi. Tak bisa diselamatkan lagi. Waktu itu saya putus asa. Tidak sudi lagi saya hidup. Tak mampu saya melihat sinar matahari. Matahari di hati saya sudah tenggelam untuk selama-lamanya. Saya sudah bertekad untuk meloncat ke jurang. Saya ingin bunuh diri saja. Tapi, waktu saya melihat ke bawah. Ohh ngeriii.”
2.      Tipe Narcistis
Nyonya Dermawan dalam monolog ini tidak mengarahkan egonya pada dirinya sendiri tetapi pada orang lain. Dalam hal ini ditunjukkan terhadap ibu-ibu arisan atau orang di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.
*Imej on time
Lho. Belum dimulai ya arisannya? Belum diundi siapa pemenangnya tho? Wah kalau begitu saya belum terlambat dong? Aduuuh, saya sudah takut imej yang saya jaga bertahun-tahun sebagai manusia on time akan runtuh hari ini.

*Imej orang kaya
Suami saya itu lho, kok bisa-bisanya beli burung perkutut seharga dua puluh lima juta.

Tapi karena rumah saya luas sekali, tetap saja bikin  repot. Burung itu, coba bayangkan ibu-ibu, hinggap seenaknya di jambangan kristal yang dibawa suami dari Vienna, saya kejar, eh terbang dan menclok di sofa yang saya beli di Yunani. Anak saya dengan sergap mengejar burung itu yang kemudian hinggap di meja rias yang saya beli di Itali. Meja rias Versace je, ibu-ibu, coba bayangkan.

*Imej dermawan
“Kalian pasti menganggap suami saya pelit kan? Kalian pasti diam-diam bilang saya orang bachil kan? Tidak! Saya tegaskan sekali lagi, tidak! Saya itu orangnya yang pertama bergerak jika ada bencana. Sebut saja: banjir, tsunami, tanah longsor, gempa! Saya selalu ada di depan. Saya selalu sigap turun tangan, daya hubungi dan saya galang semua kenalan saya, saya kumpulkan bantuan. Dan saya sendiri, ingat, saya sendiri yang lansung membawa ke lokasi bencana.”
*Imej religius
“Iya lho, naik haji kami sudah empat kali. Belum lagi umroh. Anak lulus kuliah, kami umroh, lolos proyek, kami umroh, Untuk merayakan lolosnya suami saya, karena tidak jadi ditangkap KPK, kami umroh.”

*Imej kemampuan mengendalikan suami
Tapi, ingat, selama kita tidak membiarkan suami kita jadi kambing atau ngiler sama rumput tetangga, kita aman-aman saja. Lelaki itu Jeng, tergantung kita. Kalau saya, saya orang yang waspada. Begitu ada tanda-tanda dia mau main gila, saya cegat langsung pada langkah pertama.

Kutipan-kutipan di atas menunjukkan bahwa Nyonya Dermawan memiliki sifat narcistis yang sangat besar, namun dibalik semua itu Nyonya Dermawan diketahui memiliki sifat yang buruk seperti kedermawanan yang ditunjukkan kepada ibu-ibu arisan, sebenarnya mengandung kesombongan, pelit dan ambisius dalam mencapai sesuatu.
Sifat-sifat narcistis itu muncul karena Nyonya Dermawan merasa rumah tangganya dibangun tanpa ada landasan cinta, sehingga dia berusaha membangun imej yang baik-baik agar semua orang tahu bahwa dia hidup dalam kebahagiaan dan kemakmuran. Kadang kala sifat narcistis yang berlebihan dapat membuat seseorang terlihat sombong, sehingga kesan yang didapat dari kutipan tersebut, Nyonya Dermawan adalah orang yang sombong.
3.      Tipe Dwang
Super ego Nyonya Dermawan ditunjukkan ketika dia tidak jadi bunuh diri dan mematuhi perintah orang tuanya untuk menikah dengan lelaki pilihan keluarga.
“Saya sadar, mati sia-sia bukanlah pertanda keagungan cinta.”
“Akhirnya saya terima nasib saya dipisahkan dengan paksa dari lelaki dambaan kalbu saya. Saya akhirnya bersanding dengan lelaki prospektif itu. Dialah yang sekarang menjadi suami saya.”
Kutipan di atas menunjukkan keharusan Nyonya Dermawan untuk menikah dengan orang yang bukan kekasihnya. Namun, keharusan ini mengakibatkan Nyonya Dermawan menjadi sosok yang ambisisus. Walaupun dia hidup dengan lelaki yang bukan pilihannya dan tidak dicintainya seperti kekasihnya dulu, Nyonya Dermawan berusaha mengharuskan dirinya mencintai kekayaan suaminya. Begitu juga dengan kutipan di bawah ini, yang membuat Nyonya Dermawan memutuskan untuk memilih kekayaan suaminya:
“Memilih jodoh itu Jeng, seperti membeli mobil. Pilih yang betul-betul bagus dan mantap, jangan hanya tergoda sama modelnya tapi gampang mogok dan harganya terus jatuh. Lihat saja saya, kelihatan makmur dan bahagia kan? Cinta itu pendek, kemakmuran itu panjang dan abadi. Itulah sebabnya saya mencintai kemakmuran. Itulah sebabnya saya mencintai suami saya.”

Perubahan kepribadian Tokoh Nyonya Dermawan dalam kutipan di atas adalah hal yang membuat naskah monolog ini menarik untuk diteliti. Tokoh Nyonya Dermawan awalnya penurut terhadap orang tua, menjadi narcistis setelah menikah dengan suami pilihan orang tuanya.
Hal-hal yang mempengaruhi kepribadian ada tiga yaitu: 1) potensi bawaan, 2) pengalaman dalam budaya dan lingkungan, 3) pengalaman yang unik. Ketiga hal tersebut yang paling mempengaruhi Nyonya Dermawan adalah pengalaman dalam lingkungan, terutama lingkungan keluarga dan masa lalunya. Adanya pemaksaan dari orang tua agar dirinya menikah dengan pria yang kaya menyebabkan Nyonya Dermawan mengalihkan perasaan cintanya pada kekasihnya menjadi cinta terhadap kekayaan.





















BAB III
PENUTUP

Simpulan
Monolog adalah suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentang seni peran dimana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan /sketsa. Sejarah monolog sebenarnya sudah diperkenalkan sejak tahun 60-an. Pada saat itu pertelevisian tidak mengenal dubbing/pengisian suara, oleh karena itu monolog banyak dipraktekkan untuk membuat film-film komedi/horror.
Kejiwaan tokoh utama dalam monolog Nyonya Dermawan terbagi dalam tiga tipe: 1) Tipe Erotis, 2) Tipe Narcistis dan 3) Tipe Dwang. Dari ketiga tipe tersebut tipe yang paling menonjol dari tokoh utama adalah tipe narcistis yang ditunjukkannya dengan menyatakan bahwa dirinya yang paling baik di antara orang lain. Sedangkan kepribadian Nyonya Dermawan lebih dipengaruhi faktor lingkungan, terutama lingkungan keluarga dan pengalaman masa lalu. Sementara itu perubahan watak yang dialami oleh Nyonya Dermawan dilatar belakangi oleh kondisi psikologinya. Dia berusaha agar hidupnya terlihat sempurna, sehingga dia membangun segala macam imej yang baik. Imej yang dibangun itu juga agar suaminya terlihat sebagai suami yang perhatian dan penuh cinta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kehidupan yang terlihat sempurna belum tentu bahagia.


[1] Edwin Ewink (2012), Definisi Monolog (online), Tersedia: http://id.scribd.com, Diunduh pada 20 November 2013 pukul 22:13 WIB.
[2] Ibid.
[3] Anonim (2010), Biografi Agus R. Sarjono (online), Tersedia: https://sites.google.com, Diunduh pada 20
November 2013 pukul 22:19 WIB.
[4] Andre hardjana, Sastra: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 66
[5] Dick hartoko dan B. Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 126.
[6] Albertine Minerop (2010), Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia), hlm. 59
[7] Ibid, hlm. 53
 [8]Ibid, hlm.76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar