BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pendekatan psikologi mendapat
perhatian dalam penelaahan dan penelitian sastra, hal ini terjadi karena
timbulnya kesadaran bagi pengarang yang dengan sendirinya juga bagi kritikus
sastra, bahwa perkembangan dan kemajuan masyarakat di zaman modern ini tidaklah
semata-mata dapat diukur dari segi material tetapi juga dari segi rohaniah atau
kejiwaan.
Sampai saat ini teori yang paling
banyak dijadikan acuan dalam pendekatan psikologis adalah determinisme
psikologi Sigmund Freud. Menurut Sigmund Freud, pada umumnya teori kepribadian
dibagi menjadi tiga yaitu: id, ego, dan super ego. Dari ketiga tipe kepribadian tersebut, Freud membagi ketiganya dalam
ketiga tipe berikutnya yaitu tipe erotis, tipe narcistis dan tipe dwang.
Sesuai dengan teori yang dikemukakan
di atas, dalam naskah monolog Nyonya Dermawan terdapat hal-hal yang menarik
untuk dikritik. Hal-hal yang menarik tersebut yaitu kepribadian Nyonya Dermawan
serta faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian Nyonya Dermawan. Kemajuan-kemajuan teknologi serta
modernisasi dalam segala aspek kehidupan tampaknya bermula dari sikap kepribadian tertentu
serta bermuara pada permasalahan kepribadian. Hal inilah yang coba
direpresentasikan dalam naskah monolog karya Agus R. Sarjono yang berjudul Nyonya
Dermawan.
Naskah monolog Nyonya Dermawan
berisi tentang seorang nyonya yang kaya raya dan mengatakan dirinya sebagai
orang yang dermawan. Namun di tengah sikap dermawannya ia pun bersikap
arogan. Ternyata kearoganannya itu dipicu oleh satu hal yang berasal dari masa
lalunya. Kemenarikan naskah monolog ini menjadi sesuatu yang patut diapresiasi
terutama dari segi psikologi dan kepribadian tokoh Nyonya Dermawan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
definisi monolog?
2.
Bagaimana
sejarah monolog?
3.
Bagaimana
biografi Agus R. Sarjono?
4.
Bagaimana
sinopsis monolog Nyonya Dermawan?
5.
Bagaimana
mengapresiasi monolog Nyonya Dermawan dengan pendekatan psikologi?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui definisi monolog
2.
Untuk
mengetahui sejarah monolog
3.
Untuk
mengetahui biografi Agus R. Sarjono
4.
Untuk
mengetahui sinopsis monolog Nyonya Dermawan
5.
Untuk
mengetahui apresiasi monolog Nyonya Dermawan dengan pendekatan psikologi
D.
Metode Penulisan
Metode yang penulis gunakan
dalam penyusunan makalah ini ialah dengan metode kepustakaan, yaitu mencari
referensi dari buku-buku dan sumber-sumber dari internet yang berkaitan dengan
monolog Nyonya Dermawan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Monolog
Monolog adalah istilah keilmuan yang
diambil dari kata mono yang artinya
satu dan log darikata logi yang artinya ilmu. Secara harfiah monolog
adalah suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentang seni peran dimana hanya
dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan/sketsa. Kata
monolog lebih banyak ditujukan untuk kegiatan seni terutama seni peran dan
teater.[1]
B. Sejarah Monolog
Sejarah monolog sebenarnya sudah diperkenalkan
sejak tahun 60-an. Pada
saat itu pertelevisian tidak mengenal
dubbing/pengisian suara, oleh karena itu monolog banyak dipraktekkan untuk
membuat film-film komedi/horror. Salah satu pengagas monolog yang terkenal adalah Charlie Chaplin. Monolog diperkenalkan pertama kali
di Hollywood sektiar tahun 1964 lalu berkembang menjadi sarana seni dan
teater dan sudah menjadi salah satu teori/pembelajaran dari karya seni teater. Monolog adalah percakapan aktor seorang
diri. Pada mulanya, monolog merupakan salah satu bentuk latihan bagi seorang aktor. Dalam sebuah naskah
drama biasanya terdapat pembicaraan panjang seorang tokoh di hadapan tokoh
lain, dan hanya ia sendiri yang berbicara. Cakapan tokoh inilah yang disebut monolog dan karena
panjangnya cakapan, maka emosi perasaan dan karakter tokoh itu pun
berubah-ubah sesuai dengan pokok pembicaraan. Perubahan emosi dan karakter inilah yang coba dilatihkan
oleh aktor. Dinamika perbahan tersebut
sangat menarik dan menantang untuk dimainkan. Daya tarik permainan aktor dalam latihan monolog melahirkan
permainan monolog secara mandiri.
Pengarang menciptakan cerita monolog yang lepas dan bukan lagi
merupakan bagian dari sebuah lakon. Permainan aktor seorang diri ini akhirnya
berkembang menjadi satu
bentuk pertunjukan teater. Kreasi monolog terus berkembang hingga munculnya soliloquy dan monoplay. Jika dalam monolog, aktor berpura-pura atau sedang berada dihadapan
tokoh atau orang lain, maka dalam soliloquy
tokoh tampil sendirian di atas panggung
sehingga ia bisa dengan bebas mengungkapkan isi hatinya, rahasia-rahasia hidupnya, harapan-harapannya, dan
bahkan rencana jahatnya. Sementara itu dalam monoplay, aktor harus bermain drama seorang
diri. Kadang ia jadi tokoh tertentu tapi pada satu saat ia menjadi tokoh yang lain.[2]
C. Biografi Agus R. Sarjono
Agus
R. Sarjono dikenal sebagai penyair, cerpenis, dan esais. Ia lahir di Bandung,
27 Juli 1962. Agus R. Sarjono bersama istri dan dua anaknya kini tinggal di
kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Pendidikan formalnya diselesaikan di IKIP
Bandung (S1) pada studi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; dan
Kajian Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UI untuk S-2-nya.Semasa mahasiswa ia aktif
di Unit Pers Mahasiswa IKIP Bandung sebagai ketua (1987-1989).
Agus
adalah salah seorang Ketua DPH Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2003-2006.
Sebelumnya ia adalah Ketua Komite Sastra DKJ periode 1998-2001. Sehari-hari, ia
bekerja sebagai pengajar di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Bandung serta menjadi redaktur majalah Sastra Horison.
Selain
menjadi editor sejumlah buku antara lain: Saini KM: Puisi
dan Beberapa Masalahnya (1993); Catatan Seni (1996); Kapita
Selekta Teater (1996); Pembebasan Budaya-Budaya Kita (1999); Dari
Fansuri ke Handayani (2001); Horison Sastra Indonesia (2002); Horison
Esai (2003); Malam Sutera: Sitor Situmorang (2004); Teater
Tanpa Masa Silam: Arifin C. Noer (2005); Poetry and Sincerity(2006),
Agus
R. Sarjono kerap menulis puisi, cerpen, dan esai. Karyanya dimuat berbagai
koran, majalah, dan jurnal terkemuka di Indonesia, Malaysia, dan Brunei
Darussalam. Puisinya telah banyak dikaji oleh peneliti dalam dan luar negeri.
Dr. Heike Gabler, teaterawan dan sinolog di Berlin adalah salah satu pengkaji
puisi Agus R. Sarjono. Ia berpendapat tentang kumpulan puisi Tulang
Segar dari Banyuwangi (Frische Knochen aus Banyuwangi). “Agus R.
Sarjono tidak saja menciptakan gambar/imaji, tetapi juga membangunkan elemen
dan figur dalam puisinya agar hidup. Ia membuatnya berkomunikasi seperti dalam
suatu drama. Hal tersebut mengingatkan saya akan kebiasaan animistis. Selain
mengikuti bengkel kerja puisi, seperti Asean Writers
Conference/Workshop (Poetry) di Manila (1994); Agus juga pernah
menjadi tutor/pendamping penyair Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis Sastera
Asia Tenggara di Jakarta (1997).
Agus
pernah diundang membacakan sajaknya di beberapa festival internasional,
seperti Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta
(1995), Festival Seni Ipoh III di negeri Perak, Malaysia (1998); Malam Puisi
Indonesia-Belanda di Erasmus Huis (1998); Festival de Winternachten di
Den Haag, Belanda (1999; 2003), Malam Indonesia, Paris (1999); Festival
Internasional Poetry on the Road, Bremen (2001), Internasionales
Literaturfestival, Berlin (2001), dan Puisi Internasional Indonesia di
Makassar dan Bandung (2002). Ia kerap diundang pula menjadi pemakalah di
berbagai kegiatan sastra, antara lain “Mimbar Penyair Abad 21" di TIM
(1996); “Pertemuan Sastrawan Nusantara IX/Pertemuan Sastrawan Indonesia
1997" di Sumatera Barat; “Pertemuan Sastrawan Nusantara X/Pertemuan
Sastrawan Malaysia I” di Johor Bahru.
Ia
juga pernah diundang sebagai penyair tamu di Heinrich Böll Haus, Langenbroich,
Jerman, sejak Desember 2002 hingga Maret 2003. Dalam masa itu ia diundang
berdiskusi dan membacakan puisinya di berbagai universitas terkemuka dan pusat
kesenian di Jerman. Sejak enam tahun yang lalu, ia merupakan salah seorang
instruktur sastra bagi para guru se-Indonesia. Kesibukannya yang lain adalah sebagai
anggota Majelis Sastra Asia Tenggara yang disponsori oleh Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Salah
satu karyanya pernah dimuat dalam cerpen pilihan Kompas 2003.
Karya esainya diterbitkan dalam buku, antara lain Bahasa dan
Bonafiditas Hatu (2001) dan Sastra dalam Empat Orba (2001).
Karya dramanya, terbit dalam buku Atas Nama Cinta (2004).
Puisinya terbit dalam berbagai antologi di Indonesia, bahkan di Manila
(Filipina), Seoul (Korea Selatan), serta Bremen dan Berlin (Jerman). Selain
itu, karyanya diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman,
Perancis, Serbia, Arab, Korea, dan China.[3]
D. Sinopsis Monolog
Monolog
yang dimuat Horison pada 2008 silam
ini mengisahkan seorang ibu berkehidupan kaya dan mewah yang suka arisan.
Ibu-ibu yang suka bergaya dermawan untuk mencari popularitas dan pujian. Cerita
bermula ketika nyonya dermawan ini merasa terlambat datang arisan. Merasa
imejnya sebagai orang yang selalu on-time akan terancam lantaran telat datang
arisan. Menurutnya, keterlambatannya dikarenakan burung peliharaan sang suami
yang baru dibeli seharga dua puluh lima juta rupiah kabur.
Lepasnya
burung mahal itu telah merusak barang-barang mewah di rumah nyonya. Mulai
dari-si burung-menclok di jambangan Kristal dari Vienna, di sofa romawi dari
Yunani, di meja rias Versace dari Itali, di lukisan Affandi, Joko Pekik, dan
Antonio Blanco, hingga akhirnya berujung pada beraknya si burung elit itu di
jaguar yang baru saja dibeli mereka seminggu lalu.
Selesai
menceritakan petualangan si burung elit menclok ke banyak barang bermerek kelas
tinggi, si nyonya kadang merasa sangat bangga dan mencintai kehidupan rumah
tangganya bersama sang suami yang katanya pengusaha besar. Tapi tidak jarang
juga, nyonya merasa suaminya tidak seperti yang diharapkannya. Hal ini tentu
karena masa lalu si nyonya ketika dipaksa menikah dengan suaminya saat ini.
Ketika
sudah jengkel dengan suaminya, tidak jarang pula, nyonya mengeluh, merasa bahwa
suaminya bukan orang romantis. Meski hidupnya makmur dengan banyak harta bergelimpangan,
tapi toh nyonya juga perlu kasih sayang sang suami, semisal mengucapkan selamat
ulang tahun padanya yang tidak pernah didapatnya dari sang suami, yang tidak ia
temukan dalam banyak hartanya. Tapi toh, nyonya yang dermawan selaku
mensugestikan dirinya harus bahagia dengan kehidupannya sekarang.
E. Apresiasi Karya dengan
Pendekatan Psikologi
1.
Psikologi Sastra
Psikologi
sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan
menyangkut batiniah manusia. Lewat tinjauan psikologi akan nampak bahwa fungsi
dan peran sastra adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya
dan sehidup-hidupnya atau paling sedikit untuk memancarkan bahwa karya sastra
pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia.[4]
Psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut
pskologi. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang, dan pembaca (psikologi
komunikas sastra) atau kepada teks itu sendiri (dick hartoko).[5]
Daya tarik psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan potret
jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa
mewakili jiwa orang lain. Setiap pengarang kerap menambahkan pengalaman sendiri
dalam karyanya dan pengalaman pengarang itu sering pula dialami oleh orang
lain.[6]
Sigmund
Freud lahir di Moravia, 6 Mei 1856. Freud adalah psikolog pertama yang menyelidiki aspek
ketidaksadaran dalam jiwa manusia. Freud membahas pembagian psikisme manusia:
1.
Id
Merupakan energi
psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti
misalnya kebutuhan: makan, seks, menolak rasa sakit atau tidak nyaman.
2.
Ego
Ego berada diantara alam sadar dan alam
bawah sadar. Tugas ego memberi tempat
pada fungsi mental utama, misalnya: penalaran, penyelesaian masalah, dan
pengambilan keputusan.
3.
Superego
Superego sama halnya dengan “hati
nurani” yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience).
Superego mengacu pada moralitas dalam
kepribadian.
Dari
ketiga tipe kepribadian tersebut, Freud membagi ketiganya dalam ketiga tipe
berikutnya, yaitu:
1. Tipe
Erotis
Elemen
id menguasai, orang-orang yang bergabung dalam tipe ini ditandai dengan adanya suatu kehidupan dorongan
yang sangat kuat yang tidak dapat ‘direm’. Baik oleh ego maupun super ego.
2. Tipe
Narcistis
Elemen
ego yang menguasai. Kesadaran diri yang berada paling depan. Pertimbangan
menjadi titik sentral atau pusat.
3. Tipe
Dwang
Elemen
super ego yang menguasai. Artinya, manusia sepenuhnya bergantung pada kultur.
Norma-norma dan prinsip-prinsip akan mengarahkan perilaku dan ada pengaruh
moralitas yang kuat.
Karya
fiksi psikologis merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu
karya yang bergumul dengan spiritual, emosional, dan mental para tokoh dengan
cara lebih bayak mengkaji perwatakan daripada mengkaji alur atau peristiwa.[7]
Dalam menyajikan dan menentukan karakter (watak) para tokoh, pada umumnya
pengarang menggunakan dua cara atau metode dalam karyanya. Pertama, metode langsung
(telling) dan kedua, metode tidak
langsung (showing). Metode telling mengandalkan pemaparan watak
tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Sedangkan metode showing memperlihatkan pengarang
menempatka diri di luar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh
untuk menampilkan perwatakan mereka melalui dialog
dan action.[8]
2.
Mengapresiasi Monolog Nyonya Dermawan dengan Pendekatan Psikologi
Nyonya
Dermawan, merupakan cerminan konsep perubahan watak, dikarenakan tokoh Nyonya
mengalami gangguan psikologis dalam hidupnya. Kisahan ini disampaikan pengarang
melalui sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama, dimana tokoh Nyonya
diberi kebebasan untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, harapan, dan lain-lain
tanpa turut campur si narator.
Tidak semua orang yang memiliki
sifat sombong, pelit dan lain sebagainya berasal dari bawaaan sejak lahir.
Terbukti dalam monolog ini, Nyonya Dermawan memiliki sifat tersebut karena
latar belakang orang tua yang memaksanya untuk bersikap demikian. Selain itu,
sifat ini muncul karena untuk memberikan kesan bahwa Nyonya Dermawan adalah
seorang wanita yang hidup bahagia bersama suami pilihan orang tuanya. Perubahan
watak yang terjadi pada tokoh Nyonya dilatar belakangi oleh kondisi
psikologinya. Dia berusaha agar hidupnya terlihat sempurna, sehingga dia
membangun segala macam imej yang baik. Imej yang ia bangun itu bertujuan agar
suaminya terlihat oleh orang-orang sebagai suami yang perhatian dan penuh
cinta.
Salah
satu hal yang membuat monolog ini menarik adalah perubahan nasib pada tokoh
Nyonya Dermawan. Perubahan ini terlihat dari cerita-cerita yang dipaparkan oleh
tokoh Nyonya. Nyonya Dermawan pada mulanya memiliki sifat yang penurut, sebab
dia mengikuti kemauan orang tuanya untuk menikah dengan lelaki pilihan orang
tuanya. Namun setelah menjalani kehidupan rumah tangga dia merubah sifatnya
menjadi seseorang yang memiliki sifat narcistis. Sifat ini muncul akibat dari
tekanan psikologi yang dialaminya.
Dalam
naskah monolog ini, tokoh Nyonya Dermawan digambarkan memiliki kepribadian
kompleks. Kepribadian tersebut jelas tergambar dalam ketiga tipe kepribadian yang
dijelaskan oleh Freud.
1.
Tipe Erotis
Id tokoh Nyonya Dermawan dalam monolog ini tidak nampak. Terbukti
ketika Nyonya dipaksa oleh orang tuanya memutuskan hubungan dengan kekasihnya,
Nyonya berniat bunuh diri. Ternyata id
dalam dirinya tidak menunjukkan hal itu.
“Hati saya Jeng. Hati saya ibu-ibu seperti cermin murah yang jatuh
dari tebing yang tinggi. Tak bisa diselamatkan lagi. Waktu itu saya putus asa.
Tidak sudi lagi saya hidup. Tak mampu saya melihat sinar matahari. Matahari di
hati saya sudah tenggelam untuk selama-lamanya. Saya sudah bertekad untuk
meloncat ke jurang. Saya ingin bunuh diri saja. Tapi, waktu saya melihat ke
bawah. Ohh ngeriii.”
2. Tipe
Narcistis
Nyonya
Dermawan dalam monolog ini tidak mengarahkan egonya pada dirinya sendiri tetapi
pada orang lain. Dalam hal ini ditunjukkan terhadap ibu-ibu arisan atau orang
di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.
*Imej
on time
“Lho. Belum dimulai ya arisannya? Belum diundi siapa
pemenangnya tho? Wah kalau begitu saya belum terlambat dong? Aduuuh, saya sudah
takut imej yang saya jaga bertahun-tahun sebagai manusia on time akan runtuh
hari ini.”
*Imej
orang kaya
“Suami saya itu lho, kok bisa-bisanya beli burung
perkutut seharga dua puluh lima juta.”
“Tapi karena rumah saya luas sekali, tetap saja
bikin repot. Burung itu, coba bayangkan
ibu-ibu, hinggap seenaknya di jambangan kristal yang dibawa suami dari Vienna,
saya kejar, eh terbang dan menclok di sofa yang saya beli di Yunani. Anak saya
dengan sergap mengejar burung itu yang kemudian hinggap di meja rias yang saya
beli di Itali. Meja rias Versace je, ibu-ibu, coba bayangkan.”
*Imej
dermawan
“Kalian pasti menganggap suami saya pelit kan?
Kalian pasti diam-diam bilang saya orang bachil kan? Tidak! Saya tegaskan
sekali lagi, tidak! Saya itu orangnya yang pertama bergerak jika ada bencana.
Sebut saja: banjir, tsunami, tanah longsor, gempa! Saya selalu ada di depan.
Saya selalu sigap turun tangan, daya hubungi dan saya galang semua kenalan
saya, saya kumpulkan bantuan. Dan saya sendiri, ingat, saya sendiri yang
lansung membawa ke lokasi bencana.”
*Imej
religius
“Iya lho, naik haji kami sudah empat kali. Belum
lagi umroh. Anak lulus kuliah, kami umroh, lolos proyek, kami umroh, Untuk
merayakan lolosnya suami saya, karena tidak jadi ditangkap KPK, kami umroh.”
*Imej
kemampuan mengendalikan suami
“Tapi, ingat,
selama kita tidak membiarkan suami kita jadi kambing atau ngiler sama rumput
tetangga, kita aman-aman saja. Lelaki itu Jeng, tergantung kita. Kalau saya,
saya orang yang waspada. Begitu ada tanda-tanda dia mau main gila, saya cegat
langsung pada langkah pertama.”
Kutipan-kutipan
di atas menunjukkan bahwa Nyonya Dermawan memiliki sifat narcistis yang sangat
besar, namun dibalik semua itu Nyonya Dermawan diketahui memiliki sifat yang
buruk seperti kedermawanan yang ditunjukkan kepada ibu-ibu arisan, sebenarnya mengandung
kesombongan, pelit dan ambisius dalam mencapai sesuatu.
Sifat-sifat
narcistis itu muncul karena Nyonya Dermawan merasa rumah tangganya dibangun
tanpa ada landasan cinta, sehingga dia berusaha membangun imej yang baik-baik agar
semua orang tahu bahwa dia hidup dalam kebahagiaan dan kemakmuran. Kadang kala
sifat narcistis yang berlebihan dapat membuat seseorang terlihat sombong,
sehingga kesan yang didapat dari kutipan tersebut, Nyonya Dermawan adalah orang
yang sombong.
3.
Tipe Dwang
Super
ego Nyonya Dermawan ditunjukkan ketika dia tidak jadi bunuh diri dan mematuhi
perintah orang tuanya untuk menikah dengan lelaki pilihan keluarga.
“Saya sadar, mati sia-sia
bukanlah pertanda keagungan cinta.”
“Akhirnya saya terima nasib saya
dipisahkan dengan paksa dari lelaki dambaan kalbu saya. Saya akhirnya
bersanding dengan lelaki prospektif itu. Dialah yang sekarang menjadi suami
saya.”
Kutipan
di atas menunjukkan keharusan Nyonya Dermawan untuk menikah dengan orang yang
bukan kekasihnya. Namun, keharusan ini mengakibatkan Nyonya Dermawan menjadi
sosok yang ambisisus. Walaupun dia hidup dengan lelaki yang bukan pilihannya
dan tidak dicintainya seperti kekasihnya dulu, Nyonya Dermawan berusaha
mengharuskan dirinya mencintai kekayaan suaminya. Begitu juga dengan kutipan di
bawah ini, yang membuat Nyonya Dermawan memutuskan untuk memilih kekayaan
suaminya:
“Memilih
jodoh itu Jeng, seperti membeli mobil. Pilih yang betul-betul bagus dan mantap,
jangan hanya tergoda sama modelnya tapi gampang mogok dan harganya terus jatuh.
Lihat saja saya, kelihatan makmur dan bahagia kan? Cinta itu pendek, kemakmuran
itu panjang dan abadi. Itulah sebabnya saya mencintai kemakmuran. Itulah
sebabnya saya mencintai suami saya.”
Perubahan
kepribadian Tokoh Nyonya Dermawan dalam kutipan di atas adalah hal yang membuat
naskah monolog ini menarik untuk diteliti. Tokoh Nyonya Dermawan awalnya
penurut terhadap orang tua, menjadi narcistis setelah menikah dengan suami
pilihan orang tuanya.
Hal-hal
yang mempengaruhi kepribadian ada tiga yaitu: 1) potensi bawaan, 2) pengalaman
dalam budaya dan lingkungan, 3) pengalaman yang unik. Ketiga hal tersebut yang
paling mempengaruhi Nyonya Dermawan adalah pengalaman dalam lingkungan,
terutama lingkungan keluarga dan masa lalunya. Adanya pemaksaan dari orang tua
agar dirinya menikah dengan pria yang kaya menyebabkan Nyonya Dermawan
mengalihkan perasaan cintanya pada kekasihnya menjadi cinta terhadap kekayaan.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Monolog
adalah suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentang seni peran dimana hanya
dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan /sketsa. Sejarah
monolog sebenarnya sudah diperkenalkan sejak tahun 60-an. Pada saat itu
pertelevisian tidak mengenal dubbing/pengisian suara, oleh karena itu monolog
banyak dipraktekkan untuk membuat film-film komedi/horror.
Kejiwaan
tokoh utama dalam monolog Nyonya Dermawan terbagi dalam tiga tipe: 1) Tipe
Erotis, 2) Tipe Narcistis dan 3) Tipe Dwang. Dari ketiga tipe tersebut tipe
yang paling menonjol dari tokoh utama adalah tipe narcistis yang ditunjukkannya
dengan menyatakan bahwa dirinya yang paling baik di antara orang lain.
Sedangkan kepribadian Nyonya Dermawan lebih dipengaruhi faktor lingkungan,
terutama lingkungan keluarga dan pengalaman masa lalu. Sementara itu perubahan
watak yang dialami oleh Nyonya Dermawan dilatar belakangi oleh kondisi
psikologinya. Dia berusaha agar hidupnya terlihat sempurna, sehingga dia
membangun segala macam imej yang baik. Imej yang dibangun itu juga agar
suaminya terlihat sebagai suami yang perhatian dan penuh cinta. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kehidupan yang terlihat sempurna belum tentu bahagia.
[1] Edwin Ewink (2012), Definisi
Monolog (online), Tersedia: http://id.scribd.com,
Diunduh pada 20 November 2013 pukul 22:13 WIB.
[2] Ibid.
[3] Anonim (2010), Biografi Agus
R. Sarjono (online), Tersedia: https://sites.google.com, Diunduh pada
20
November
2013 pukul 22:19 WIB.
[4] Andre hardjana, Sastra:
Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 66
[5] Dick hartoko dan B. Rahmanto, Pemandu
di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 126.
[6] Albertine Minerop (2010), Psikologi
Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus, (Jakarta: Yayasan
Pustaka
Obor Indonesia), hlm. 59
[7] Ibid, hlm. 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar