Selasa, 05 Agustus 2014

Pembahasan Puisi "Tragedi Winka dan Sihka" dan "Luka" Karya Sutardji Calzoum Bachri



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Puisi adalah karya sastra yang dapat menghibur dan dapat memberikan pesan atau amanat kepada pembacanya. Puisi juga merupakan ungkapan perasaan penulisnya baik itu ungkapan kesedihan atau perasaan senang serta marah yang meluap-luap. Ungkapan perasaan ini dapat dilihat dari kata atau bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan atau kehendaknya dalam puisi tersebut.
Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag dan lain-lain). Hal tersebut merupakan salah satu cara pengarang untuk menunjukkan pemikirannnya. Puisi kadang-kadang juga hanya berisi satu kata/suku kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut mungkin membuat puisi tersebut menjadi tidak dimengerti. Tapi pengarang selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan' yang diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan pengarang dalam menciptakan sebuah puisi.
Dalam perkembangannya di Nusantara, puisi berkembang menjadi puisi lama, puisi baru dan puisi kontemporer. Puisi kontemporer berbeda dengan puisi lama karena puisi kontemporer lebih mengutamakan susunan atau bentuk puisi daripada mengutamakan unsur bahasanya. Pada sekitar 1970-an banyak ditulis puisi-puisi yang tidak konvensional. Banyak penyair memanfaatkan simbol-simbol sebagai media ekspresi dalam puisinya. Salah satunya yaitu puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang terlihat unik dan berbeda dari puisi lainnya. Puisi Sutradji Calzoum Bachri yang lebih mengutamakan bentuk dan susunan puisi tetapi tidak lupa dengan gaya bahasa.

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Sutardji Calzoum Bachri?
2.      Bagaimana pemikiran Sutardji Calzoum Bachri?
3.      Bagaimana karya-karya Sutardji Calzoum Bachri?

C.  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui biografi Sutardji Calzoum Bachri
2.      Untuk mengetahui pemikiran Sutardji Calzoum Bachri
3.      Untuk mengetahui karya-karya Sutardji Calzoum Bachri

D.  Metode Penulisan
Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini ialah dengan metode kepustakaan, yaitu mencari referensi dari buku-buku dan sumber-sumber dari internet yang berkaitan dengan Sutardji Calzoum Bachri beserta karya-karyanya.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Biografi Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji Calzoum Bachri dengan sapaan akrab Bung Tardji, lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada tanggal 24 Juni 1941. Sutardji C. Bachri merupakan putra dari pasangan Mohammad Bachri yang berasal dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah dan May Calzum yang berasal dari Tanbelan, Riau. Beliau terlahir sebagai anak kelima dari sebelas bersaudara. Sutardji Calzoum Bachri adalah pujangga Indonesia terkemuka. Ia di beri gelar sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Bung Tardji memiliki seorang istri yang bernama Mariham Linda pada tahun 1982 dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi.[1]
Pada tahun 1947 beliau masuk ke sekolah rakyat (SD) dan selesai pada tahun 1953 di Bengkalis, Pekanbaru. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri di Tanjungpinang, Riau. Sutardji Calzoum Bachri mengecap pendidikan tertingginya hingga tingkat doktoral di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran Bandung. Selain mengikuti pendidikan formal, Sutardji juga turut serta dalam pendidikan nonformal seperti; peserta Poetry Reading International di Rotterdam pada tahun 1974, kemudian mengikuti International Writing Program pada tahun 1975 di IOWA City Amerika Serikat selama satu tahun (Okober 1974 – April 1975) bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail. Empat tahun kemudian (1979) Sutardji Calzoum Bahri diangkat sebagai redaktur majalah sastra Horizon, namun setelah beberapa tahun kemudian, ia memutuskan untuk keluar dari Horizon. Kemudian pada tahun 2000-2002 Sutardji Calzoum Bachri menjadi penjaga ruangan seni “Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian Kompas. Beliau juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun 1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dari 10 orang terbaik.[2]
Awal mula masuknya Sutardji Calzoum Bachri ketika ia mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Selain itu, Bung Tardji mulai mengirimkan sajak-sajaknya ke koran lokal seperti Pikiran Rakyat di Bandung, dan Haluan di Padang. Sejak saat itulah Sutardji Calzoum Bachri mulai diperhitungkan sebagai penyair di Indonesia. Dalam mempertunjukkan karyanya kepada pecinta sastra, beliau tidak ragu untuk menunjukkan totalitasnya di atas panggung. Ia juga berusaha ditiap penampilannya untuk tidak hilang kontak dengan penonton. ”Kehadiran sajak itu harus akrab dengan penonton, tak berjarak dengan kehidupan,” begitulah kata Bung Tardji mengenai keakrabannya dengan penonton dalam mempertunjukkan rasa kedekatannya. Ia juga tidak segan memeragakan puisinya hingga berguling-guling di atas panggung. Gayanya yang jumpalitan di atas panggung, bahkan berpuisi sambil tiduran dan tengkurap, seperti telah menempel menjadi trade mark Sutardji. ”Aku tak pernah main-main sewaktu membikin sajak, aku serius. Tapi, ketika tampil aku berusaha apa adanya, santai namun memiliki arti,” katanya.[3]
Beberapa karya Puisi Sutardji Calzoum Bachri:
1.    O (Kumpulan Puisi, 1973).
2.    Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan
3.    Kapak (Kumpulan Puisi, 1979).
Penghargaan yang pernah diraihnya adalah:
1.    Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand (1979);
2.    Menerima penghargaan Sastra Kabupaten Kepulauan Riau oleh Bupati Kepulauan Riau (1979);
3.    Anugrah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993);
4.    Menerima Anugrah Sastra Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jakarta. (1990an);
5.    Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan
6.    Dianugrahi gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).[4]

B.  Pemikiran Sutardji Calzoum Bachri
Deklarasi Sutardji atas ciri khasnya membebaskan kata dari maknanya membuat pembaca bebas memproduksi makna yang dibentuk oleh kata tersebut. Tugas pembaca bukan lagi hanya mengapresiasi kata berdasarkan makna yang ia miliki sebelumnya, tapi mencari makna baru yang ingin dibentuk oleh kata-kata tersebut. Gagasan dasar Sutardji adalah kata-kata, yang bukan sekedar sarana untuk menyampaikan pengertian, sebab kata-kata itu sendiri pengertian, dan justru karena itu kata-kata harus “bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri”. Tugas pokok penyair ialah membebaskan kembali kata-kata tersebut dari belenggu tradisi lapuk, dari penjajahan paramasastra, dan dari segala pertimbangan moral oleh masyarakat luas, dan memulihkannya kepada kebebasannya semula yang semestinya, sehingga bisa menjadi kreatif, berlompatan, dan menari-nari, menjadi mabuk dan menelanjagi diri sendiri, menyatu dengan kata-kata lain menurut kehendak diri semata-mata, membantah diri sendiri atau berjungkir balik, dan apabila perlu bahkan menikam diri sendiri. Dengan demikian, penyair harus memberikan lingkup selapang-lapangnya kepada kata-kata, agar bisa mewujudkan diri sendiri dan menciptakan dunia pengertiannya sendiri. “Menulis puisi bagi saya ialah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya – adalah Kata, dan Kata pertama adalah Mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra.”[5]
Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi. Dalam sebuah esainya Sutardji menulis "puisi adalah alibi kata-kata". Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari melekat pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.
Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu. Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.
KREDO PUISI
            Kata-kata bukalah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
          Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
            Dalam keseharian-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
          Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata dibebankan masyarakat pada kata tertentu denga dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
           Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentuka kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
       Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mundir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentanga sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
       Sebagai penyair saya hanya menjaga---sepanjang tidak mengganggu kebebasannya---agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
             Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.[6]

                                                                                                                        O Amuk Kapak
                                                                                                Bandung, 30 Maret 1973

           Dalam esainya, Sutardji menyebutkan bahwa pada hakekatnya menulis adalah menulis di atas atau pada tulisan: pada ayat-ayat yang telah tertulis sebelumnya, tradisi, pada ayat-ayat peristiwa atau kejadian yang telah terjadi atau sedang terjadi, pada ayat-ayat kehidupan, pada takdir yang sedang atau telah diguratkan. Menulis di atas tulisan berarti baginya melupakan , membuang bagian yang mati dari tradisi dan menghidupkan tradisi menjadi tulisan baru. Itulah yang dilakukan Sutardji dalam menulis sajak-sajak dari Kredo puisinya. Menulis puisi di atas tulisan sebelumnya (mantera), Sutardji menghapus mantera dalam pengertian lamanya dan menjadi mantera baru untuk perpuisian masa kini. Dalam menulis puisi dari kumpulan puisi “O Amuk Kapak” Sutardji melupakan dan mengingatkan mantera. Melupakan mantera (lama) dan mengingatkan mantera (baru) bagi perpuisan.[7]
  Sajak-sajak Sutardji bukan tidak mengandung sesuatu atau amanat. Tetapi sesuatu itu tidak dapat ditangkap dengan cepat, karena dua keadaan. Pertama, adanya kesan bahwa Sutardji hanya mempermainkan penggunaan bahasa. Kedua, dengan permainan yang dilakukannya, terasa bahwa Sutardji telah membangun suatu misteri. Sajak-sajaknya dengan penuh misteri, dan karena itu tidak menyampaikan apa-apa, kecuali misteri itu sendiri. Penyampaian amanat tidak penting pada sajak-sajak Sutardji, kata-kata digunakan tanpa memperhatikan proporsinya: kata-kata yang dibalikkan, asosiasi kata yang tidak begitu wajar, dua kata yang disatukan begitu saja, dan urutan kata yang tidak beraturan. Sajak-sajak Sutardji memperkenalkan beberapa perubahan. Strukturnya merupakan struktur mantera dengan penggunaan improvisasi dan perulangan. Sajak-sajaknya tidak dibebani lagi oleh penyampaian amanat, karena baik amanat maupun lukisan telah diintegrasikan ke dalam strukturnya dan baru dapat dijumpai kembali setelah suatu proses penganalisisan.[8]
  Bagi Sutardji, menyair adalah suatu pekerjaan yang serius. Namun penyair tidak harus menyair sampai mati. Dia boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja. Tapi, bila kita sedang menuliskan sajak, kita harus melakukan secara sungguh-sungguh, seintens mungkin, semaksimal mungkin. Kita harus melakukan pencarian-pencarian, kita harus mencari dan menemukan bahasa. Yang tidak menemukan bahasa takkan pernah disebut penyair, “saya menyair dan karena itu saya menemukan bahasa saya. Meskipun saya yakin dan sadar, ‘walau huruf habislah sudah/alifbataku belum sebatas allah’ (sajak “Walau”)”.[9]
  Dalam pidato penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998, Sutardji mengatakan bahwa puisi selalu ingin menampilkan kelainan, keunikan dari kata-kata, dalam pengucapan yang unik. Penyair membiarkan kata-kata sehari-hari membuat sajak-sajaknya dalam suatu situasi yang berbeda dengan realitas kata-kata atau bahasa dalam peranan kesehari-hariannya. Menurut hemat Sutardji, penyair pada hakikatnya tidak menciptakan sajak. Perannya membuat sajak adalah sangat minim. Asal mula jadinya sebuah sajak adalah kekosongan. Tidak ada apa-apa. Suatu kekosongan yang minta diberi arti, yang mendambakan makna. Dalam menuliskan puisi, ketika kedatangan kata-kata, para penyair adalah makhluk yang gembira, keriangan yang spontan seperti spontannya orang yang bernyanyi sendiri di kamar mandi. Meski yang datang adalah kata-kata dari luka, ia selalu dalam keadaan gembira. Karena bersyukur dan tahu tidak setiap orang bisa kedatangan puisi.[10]
           Pada sajak-sajak Sutardji, ada beberapa hal yang seketika menarik perhatian kita. Pertama ialah penampilan tipografinya yang pelik. Sajak-sajaknya membawa sudut pandang visual yang tidak bisa diabaikan. Hal kedua yang tak bisa tidak akan menarik perhatian, bahkan bagi pembaca yang dangkal pun, adalah kejadian pada sangat banyak sajak-sajak yang berupa kata-kata kosong, setidak-tidaknya tidak masuk akal – kumpulan huruf-huruf yang dalam bahasa Indonesia sehari-hari tidak dikenal sebaagai kata-kata yang punya arti. Ciri ketiga sajak-sajak Sutardji yang tidak bisa tidak pasti terasakan oleh pembacanya yaitu penggunaan perulangan yang luar biasa sering terhadap segala macam: bukan saja perulangan kata-kata, tetapi juga kelompok kata, baris, atau bahkan sajak utuh di dalam sajak-sajak yang lain, dengan atau tidak dengan perubahan, dan yang sangat istimewa adalah perulangan anak kalimat ataupun kalimat.[11]








C.  Analisis Puisi Karya Sutardji Calzoum Bachri
Tragedi Winka dan Sihka

kawin
           kawin
                      kawin
                                 kawin
                                            kawin
                                                       ka
                                                 win
                                              ka
                                      win
                                  ka
                           win
                      ka
              win
         ka
  winka
                       winka
                                 winka
                                           sihka
                                                    sihka
                                                             sihka
                                                                      sih
                                                                  ka
                                                             sih
                                                        ka
                                                   sih
                                               ka
                                          sih
                                      ka
                                 sih
                             ka
                                 sih
                                      sih
                                           sih
                                                sih
                                                     sih
                                                          sih
                                                               ka
                                                                   Ku

  Puisi berjudul “Tragedi Sihka dan Winka” ini merupakan salah satu karya Sutardji yang cukup fenomenal. Bagaimana tidak, puisi tersebut memiliki tipografi yang sangat berbeda dari puisi-puisi pada umumnya. Teknik persajakan dengan memotong-motong kata dan membalikkan suku kata seperti itu belum pernah terjadi dalam perpuisian indonesia modern sebelumnya. Puisi ini banyak mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, yang kebanyakan berpendapat bahwa puisi tersebut hanya “bermain-main”.
  Dengan membaca judulnya saja sudah cukup membuat tanda tanya yang besar, apa arti dari tragedi sihka dan winka? Tentu saja tidak akan ditemukan arti kata sihka dan winka dalam kamus karena ini memang stategi pembebasan kata yang dilakukan oleh Sutardji. Bila diperhatikan lebih lanjut, efek yang diperoleh dari perulangan kata-kata yang tidak jelas artinya ini seakan-akan menunjukkan sesuatu yang gaib. Penggunaan kata-kata yang tidak jelas seperti ini sering digunakan orang pada zaman dahulu untuk melakukan suatu pemujaan, karena dengan semakin tidak dimengerti maksudnya maka kekuatan atau energi magis yang diperoleh akan semakin meningkat. Mungkin hal itulah yang ingin disampaikan oleh Sutardji.
  Sajak tersebut hanya terdiri dari dua kata ‘kawin’ dan ‘kasih’, yang dipotong-potong menjadi suku kata-suku kata, juga dibalik menjadi ‘winka’ dan ‘sihka’. Tipografi sajak tersebut berdasarkan konteks strukturnya dapat dipahami sebagai pengalaman hidup yang tidak menyenangkan. Dalam puisi tersebut digambarkan sebagai susunan huruf serta tulisan yang berbentuk zigzag, berbelok-belok tajam; jalan berliku yang membahayakan. Arti sebuah sajak bisa saja terlihat dari teknik penulisannya, dan mungkin hal inilah yang ingin disampaikan Sutardji dalam puisinya ini.
  Memandang dari konteks situasinya, puisi “Tragedi Sihka dan Winka” memang dimaksudkan untuk menggambarkan suatu keadaan dalam kehidupan nyata. Kata kawin, kasih, winka, sihka, ka – win, dan ka – sih, adalah tanda-tanda bermakna. Rachmat Joko Pradopo mengatakan “bila kata itu utuh, sempurna seperti aslinya, maka arti dan maknanya sempurna. Bila kata-kata dibalik, maka maknanya pun terbalik, berlawanan dengan kata aslinya”. Dari pernyataan tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam kata “kawin” terkandung konotasi makna kebahagiaan, sedangkan “winka” itu mengandung kesengsaraan. Kawin adalah persatuan, sebaliknya winka adalah perceraian. Kasih itu berarti cinta, sedangkan sihka itu kebencian. Kawin dan kasih adalah kebahagiaan, sedangkan winka dan sihka adalah kesengsaraan. Bila kawin dan kasih menjadi winka dan sihka, maka itulah tragedi kehidupan. Demikian pula dengan tipografinya yang menggambarkan jalan pengalaman berliku dan penuh bahaya.[12]
  Setelah membaca puisi Tragedi Sihka dan Winka yang menampilkan kata kasih dan kawin, hal yang dapat kita pahami adalah bagaimana rasa kasih sayang dapat menyatukan berbagai macam budaya dalam tali perkawinan. Sepatutnya kita berusaha menjaga rasa kasih sayang tersebut agar tidak patah, agar tidak berubah menjadi benci, agar tidak timbul berbagai macam tragedi serta jalan kehidupan yang berkelok-kelok dan menyengsarakan. Kasih sayang bukan sebab utama adanya perkawinan. Namun tanpa adanya kasih sayang, tidak akan ada perkawinan yang indah. Dengan menjaga rasa kasih sayang sesama manusia, bukan hanya perkawinan yang terselamatkan, namun seluruh aspek kehidupan manusia turut terjalin indah.

            LUKA

            ha ha

             Bagi orang yang awam atau asing dengan karya-karya atau sosok kepenyairan Sutardji khususnya puisi ini, pasti tidak sangsi kalau ada puisi yang hanya terdiri dari “ha ha” saja. Berbeda dengan Tragedi Sihka dan Winka yang bertipografi zigzag puisi itu hanya tersusun dari perulangan horizontal bunyi murni ha (ha ha). Kesan tragedinya hadir dari judul yang begitu menusuk; Luka. Makna dan penciptannya memang layak mengundang pertanyaan. Pertanyaan seputar karya-karya Sutardji mungkin hanya akan terpuaskan jika si empunya karya yang menjelaskan secara langsung. Akan tetapi setelah diperhatikan secara keseluruhan, yang perlu kita ketahui hanya satu hal. Pastilah semua aspek karya itu memiliki maksud.
        Pemahaman tentang maksud dalam puisi ini sebenarnya sangat tergantung dari cara pandang pembaca. Teks di dalam puisi ini hanyalah bentuk penyandian dari bunyi murni. Biasanya orang yang terluka akan merasakan sakit dan yang diucapkannya adalah representasi dari rasa sakitnya itu, misalnya dengan mengaduh atau meneriakkan kata sakit. Tapi yang hadir dalam puisi ini justru penyandian terhadap pengekspresian rasa senang bahkan tawa; ha ha. Mungkin dapat diartikan kalau puisi tersebut melambangkan perasaan seseorang yang sudah tahan akan luka yang merupakan simbol penderitaan. Ketika seseorang ini terluka, ia tidak lagi meneriakkan sakit. Ia bahkan melahirkan tawa. Pada konteks lain, mungkin puisi ini juga dapat menggambarkan tentang seseorang yang tidak berperasaan dan menertawai luka orang lain. Puisi ini dapat ditafsir sebagai ejekan kepada orang lain yang sedang menderita.
       Melalui puisi inilah, sekali lagi Sutardji ingin membebaskan kata-kata dari tradisi tua yang membelenggu yang dalam keseharian kita, ketika kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian itu sendiri. Padahal, jika kata dibebaskan berbagai kreatifitaspun dimungkinkan. Luka, bisa jadi merupakan ungkapan budaya simpati. Mengajak seseorang yang tengah terluka untuk tidak larut dalam kepedihan.
          Dalam puisi Indonesia modern mungkin sekali Sutardjilah yang paling berani menyimpang dari kebiasaan kode dan norma kebahasaan bahasa Indonesia Dialah yang paling radikal dan berani merombak sistem bahasa. Dalam konteks ini, yang menarik dalam puisi Sutardji adalah dalam usahanya untuk membebaskan kata dari maknanya dia sibuk membina dunia pemaknaannya sendiri. Sistem kode dan norma bahasa yang ingin ditinggalkan dan dirombaknya digantikannya dengan kodifikasi bahasa pribadi yang lebih ketat dari bahasa umum. Hanya waktu yang akan dapat membuktikan Sutardji menjadi seorang perombak dan pembaharu ataukah dia akan hilang sebagai angin lalu, memberi kesegaran untuk sebentar, tetapi yang nanti tidak ada bekasnya lagi.[13]
           




















BAB III
PENUTUP

Simpulan
Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu penyair Indonesia yang juga kita kenal sebagai cerpenis, eseis dan budayawan. Lahir di Rengat Riau 24 Juni 1941, ia terkenal sejak awal 1970-an tatkala mengumumkan Kredo Puisi-nya (1973) “kata harus dibebaskan dari beban pengertian” yang mendasari sebagian besar dari puisi-puisi ciptaannya. Kredo puisi Sutardji pada masa itu serta-merta menimbulkan kontroversi dalam kesusastraan Indonesia. Kumpulan puisi Sutardji diantaranya O (1973), Amuk (1979), dan O Amuk Kapak (1981).
Membaca karya-karya Sutardji Calzoum Bachri membawa kita pada pengalaman baru yang cukup membingungkan. Kita dapat menemukan berbagai bentuk diksi yang tak lazim, tipografi yang unik, dan gaya mantera yang amat kental. Kiranya pantaslah Sutardji disebut sebagai sang pembaharu di dunia puisi modern Indonesia. Sutardji menghadirkan makana tersurat dan “memaksa” kita mencari tahu maknanya. Sutardji sebagai penyair adalah orang yang mahir memainkan permainan makna itu.
Adanya tulisan ini diharapkan dapat melahirkan pemahaman baru bagi pembaca awam mengenai pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam karya sastra yang ia hasilkan. Diharapkan pula pemahaman tersebut dapat memperbesar apresiasi terhadap karya sastra (puisi) khususnya karya karya unik dari Sutardji Calzoum Bachri sebagai pembawa warna baru dalam puisi Indonesia.







DAFTAR PUSTAKA

Anonim (2013). Biografi Sutardji Calzoum Bachri (online), Tersedia : http://www.aksarasastra.wordpress.com. Diunduh pada 15 Mei 2014 Pukul 17:45 WIB.
Bachri, Sutardji Calzoum. 2007. Isyarat. Yogyakarta : INDONESIATERA.
Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. 2011. Sejarah Sastra Indonesia. Ciputat : LPUIN.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta : Sinar Harapan.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern. Jakarta : Pustaka Jaya.
Teew, A. 1980. Tergantung Pada Kata. Jakarta : Pustaka Jaya.
Wa Ode Rizki Adi Putri (2011), Empat Puisi Tragedi Karya Sutardji Calzoum Bachri (online), Tersedia : http://waoderizkiadi.blogspot.com, Diunduh pada 13 Mei 2014 Pukul 22:04 WIB.



[1] Anonim (2013), Biografi Sutardji Calzoum Bachri (online), Tersedia : http://www.aksarasastra.wordpress.com, Diunduh pada 15 Mei 2014 Pukul 17:45 WIB.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern, (Jakarta : Pustaka Jaya), hlm. 152.
[6] Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Ciputat: LPUIN, 2011), hlm. 97.
[7] Sutardji Calzoum Bachri, Isyarat, (Yogyakarta: INDONESIATERA, 2007), hlm. ix.
[8] Umar Junus, Mitos dan Komunikasi, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hlm. 201-233
[9] Bachri, Op. Cit., hlm. 7.
[10] Ibid, hlm 10-12.
[11] Teeuw, Op. Cit., hlm. 153-155.
[12] Wa Ode Rizki Adi Putri (2011), Empat Puisi Tragedi Karya Sutardji Calzoum Bachri (online), Tersedia : http://waoderizkiadi.blogspot.com, Diunduh pada 13 Mei 2014 Pukul 22:04 WIB.
[13] A. Teeuw, Tergantung Pada Kata, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 147-156.

1 komentar:

  1. Bagaimana menentukan tipografi sebuah kritik tentang puisi winka dan shika?

    BalasHapus