BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puisi adalah
karya sastra yang dapat menghibur dan dapat memberikan pesan atau amanat kepada
pembacanya. Puisi juga merupakan ungkapan perasaan penulisnya baik itu ungkapan
kesedihan atau perasaan senang serta marah yang meluap-luap. Ungkapan perasaan
ini dapat dilihat dari kata atau bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam
menyampaikan gagasan atau kehendaknya dalam puisi tersebut.
Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja
(melingkar, zigzag dan lain-lain). Hal tersebut merupakan salah satu cara pengarang untuk menunjukkan pemikirannnya. Puisi kadang-kadang
juga hanya berisi satu kata/suku kata
yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut mungkin membuat puisi
tersebut menjadi tidak dimengerti. Tapi pengarang selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan' yang
diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan pengarang dalam menciptakan sebuah puisi.
Dalam
perkembangannya di Nusantara,
puisi berkembang menjadi puisi lama,
puisi baru dan puisi kontemporer. Puisi kontemporer berbeda dengan puisi lama
karena puisi kontemporer lebih mengutamakan susunan atau bentuk puisi daripada
mengutamakan unsur bahasanya. Pada sekitar 1970-an banyak ditulis puisi-puisi
yang tidak konvensional. Banyak penyair memanfaatkan simbol-simbol sebagai
media ekspresi dalam puisinya. Salah satunya yaitu puisi-puisi karya Sutardji
Calzoum Bachri yang terlihat unik dan berbeda dari puisi lainnya. Puisi
Sutradji Calzoum Bachri yang lebih mengutamakan bentuk dan susunan puisi tetapi
tidak lupa dengan gaya bahasa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
biografi Sutardji Calzoum Bachri?
2. Bagaimana
pemikiran Sutardji Calzoum Bachri?
3. Bagaimana
karya-karya Sutardji Calzoum Bachri?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui biografi Sutardji Calzoum Bachri
2. Untuk
mengetahui pemikiran Sutardji Calzoum Bachri
3. Untuk
mengetahui karya-karya Sutardji Calzoum Bachri
D. Metode Penulisan
Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah
ini ialah dengan metode kepustakaan, yaitu mencari referensi dari buku-buku dan
sumber-sumber dari internet yang berkaitan dengan Sutardji
Calzoum Bachri beserta karya-karyanya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum
Bachri dengan sapaan akrab Bung Tardji, lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada
tanggal 24 Juni 1941. Sutardji C. Bachri merupakan putra dari pasangan Mohammad
Bachri yang berasal dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah dan May Calzum yang
berasal dari Tanbelan, Riau. Beliau terlahir sebagai anak kelima dari sebelas
bersaudara. Sutardji Calzoum Bachri adalah pujangga Indonesia terkemuka. Ia di
beri gelar sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Bung Tardji memiliki seorang
istri yang bernama Mariham Linda pada tahun 1982 dan dikaruniai seorang anak
perempuan bernama Mila Seraiwangi.[1]
Pada tahun 1947 beliau masuk ke
sekolah rakyat (SD) dan selesai pada tahun 1953 di Bengkalis, Pekanbaru.
Kemudian ia melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri di
Tanjungpinang, Riau. Sutardji Calzoum Bachri mengecap pendidikan tertingginya
hingga tingkat doktoral di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara,
Universitas Padjadjaran Bandung. Selain mengikuti pendidikan formal, Sutardji
juga turut serta dalam pendidikan nonformal seperti; peserta Poetry Reading
International di Rotterdam pada tahun 1974, kemudian mengikuti International
Writing Program pada tahun 1975 di IOWA City Amerika Serikat selama satu tahun
(Okober 1974 – April 1975) bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail.
Empat tahun kemudian (1979) Sutardji Calzoum Bahri diangkat sebagai redaktur
majalah sastra Horizon, namun setelah beberapa tahun kemudian, ia memutuskan
untuk keluar dari Horizon. Kemudian pada tahun 2000-2002 Sutardji Calzoum Bachri
menjadi penjaga ruangan seni “Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian
Kompas. Beliau juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki,
Jakarta tahun 1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dari 10 orang terbaik.[2]
Awal mula masuknya Sutardji Calzoum
Bachri ketika ia mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung,
kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta
ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Selain itu, Bung Tardji mulai
mengirimkan sajak-sajaknya ke koran lokal seperti Pikiran Rakyat di Bandung,
dan Haluan di Padang. Sejak saat itulah Sutardji Calzoum Bachri mulai
diperhitungkan sebagai penyair di Indonesia. Dalam mempertunjukkan karyanya
kepada pecinta sastra, beliau tidak ragu untuk menunjukkan totalitasnya di atas
panggung. Ia juga berusaha ditiap penampilannya untuk tidak hilang kontak
dengan penonton. ”Kehadiran sajak itu harus akrab dengan penonton, tak berjarak
dengan kehidupan,” begitulah kata Bung Tardji mengenai keakrabannya dengan
penonton dalam mempertunjukkan rasa kedekatannya. Ia juga tidak segan
memeragakan puisinya hingga berguling-guling di atas panggung. Gayanya yang
jumpalitan di atas panggung, bahkan berpuisi sambil tiduran dan tengkurap,
seperti telah menempel menjadi trade mark Sutardji. ”Aku tak pernah main-main
sewaktu membikin sajak, aku serius. Tapi, ketika tampil aku berusaha apa
adanya, santai namun memiliki arti,” katanya.[3]
Beberapa karya Puisi Sutardji
Calzoum Bachri:
1. O (Kumpulan
Puisi, 1973).
2. Amuk (Kumpulan
Puisi, 1977), dan
3. Kapak
(Kumpulan Puisi, 1979).
Penghargaan yang pernah diraihnya adalah:
1. Hadiah
Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand (1979);
2. Menerima
penghargaan Sastra Kabupaten Kepulauan Riau oleh Bupati Kepulauan Riau (1979);
3. Anugrah Seni
Pemerintah Republik Indonesia (1993);
4. Menerima
Anugrah Sastra Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jakarta. (1990an);
5. Penghargaan
Sastra Chairil Anwar (1998), dan
6. Dianugrahi
gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).[4]
B. Pemikiran Sutardji Calzoum Bachri
Deklarasi Sutardji atas ciri khasnya membebaskan
kata dari maknanya membuat pembaca bebas memproduksi makna yang dibentuk oleh
kata tersebut. Tugas pembaca bukan lagi hanya mengapresiasi kata berdasarkan
makna yang ia miliki sebelumnya, tapi mencari makna baru yang ingin dibentuk
oleh kata-kata tersebut. Gagasan dasar Sutardji adalah kata-kata, yang bukan
sekedar sarana untuk menyampaikan pengertian, sebab kata-kata itu sendiri
pengertian, dan justru karena itu kata-kata harus “bebas dari penjajahan pengertian,
dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri”. Tugas pokok
penyair ialah membebaskan kembali kata-kata tersebut dari belenggu tradisi
lapuk, dari penjajahan paramasastra, dan dari segala pertimbangan moral oleh
masyarakat luas, dan memulihkannya kepada kebebasannya semula yang semestinya,
sehingga bisa menjadi kreatif, berlompatan, dan menari-nari, menjadi mabuk dan
menelanjagi diri sendiri, menyatu dengan kata-kata lain menurut kehendak diri
semata-mata, membantah diri sendiri atau berjungkir balik, dan apabila perlu
bahkan menikam diri sendiri. Dengan demikian, penyair harus memberikan lingkup
selapang-lapangnya kepada kata-kata, agar bisa mewujudkan diri sendiri dan
menciptakan dunia pengertiannya sendiri. “Menulis puisi bagi saya ialah
membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada
mulanya – adalah Kata, dan Kata pertama adalah Mantra. Maka menulis puisi bagi
saya adalah mengembalikan kata kepada mantra.”[5]
Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri
menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan
menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi
bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi
konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi. Dalam sebuah
esainya Sutardji menulis "puisi adalah alibi kata-kata". Dengan
ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan
menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari
melekat pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.
Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban
makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau
bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan
tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna
tertentu. Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk
penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai
kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan
makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya
dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.
KREDO PUISI
Kata-kata bukalah alat mengantarkan
pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian
itu sendiri. Dia bebas.
Kalau
diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk
duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan
alat untuk memotong atau menikam.
Dalam
keseharian-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan
pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan
dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Kata-kata
harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas
menentukan dirinya sendiri.
Dalam
puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya
seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata dibebankan
masyarakat pada kata tertentu denga dianggap kotor (obscene) serta penjajahan
gramatika.
Bila
kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa
menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentuka
kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang
biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena
kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang
tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam
(penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena
telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas,
mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mundir dan berkali-kali
menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah
dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk
memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas,
saling bertentanga sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat
semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri menunjukkan dirinya bisa
menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai
penyair saya hanya menjaga---sepanjang tidak mengganggu kebebasannya---agar
kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa
mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis
puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata
pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera.
Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.[6]
O Amuk Kapak
Bandung, 30 Maret 1973
Dalam
esainya, Sutardji menyebutkan bahwa pada hakekatnya menulis adalah menulis di
atas atau pada tulisan: pada ayat-ayat yang telah tertulis sebelumnya, tradisi,
pada ayat-ayat peristiwa atau kejadian yang telah terjadi atau sedang terjadi,
pada ayat-ayat kehidupan, pada takdir yang sedang atau telah diguratkan.
Menulis di atas tulisan berarti baginya melupakan , membuang bagian yang mati
dari tradisi dan menghidupkan tradisi menjadi tulisan baru. Itulah yang
dilakukan Sutardji dalam menulis sajak-sajak dari Kredo puisinya. Menulis puisi
di atas tulisan sebelumnya (mantera), Sutardji menghapus mantera dalam
pengertian lamanya dan menjadi mantera baru untuk perpuisian masa kini. Dalam
menulis puisi dari kumpulan puisi “O Amuk Kapak” Sutardji melupakan dan
mengingatkan mantera. Melupakan mantera (lama) dan mengingatkan mantera (baru)
bagi perpuisan.[7]
Sajak-sajak
Sutardji bukan tidak mengandung sesuatu atau amanat. Tetapi sesuatu itu tidak
dapat ditangkap dengan cepat, karena dua keadaan. Pertama, adanya kesan bahwa
Sutardji hanya mempermainkan penggunaan bahasa. Kedua, dengan permainan yang
dilakukannya, terasa bahwa Sutardji telah membangun suatu misteri.
Sajak-sajaknya dengan penuh misteri, dan karena itu tidak menyampaikan apa-apa,
kecuali misteri itu sendiri. Penyampaian amanat tidak penting pada sajak-sajak
Sutardji, kata-kata digunakan tanpa memperhatikan proporsinya: kata-kata yang
dibalikkan, asosiasi kata yang tidak begitu wajar, dua kata yang disatukan
begitu saja, dan urutan kata yang tidak beraturan. Sajak-sajak Sutardji
memperkenalkan beberapa perubahan. Strukturnya merupakan struktur mantera
dengan penggunaan improvisasi dan perulangan. Sajak-sajaknya tidak dibebani
lagi oleh penyampaian amanat, karena baik amanat maupun lukisan telah
diintegrasikan ke dalam strukturnya dan baru dapat dijumpai kembali setelah
suatu proses penganalisisan.[8]
Bagi Sutardji, menyair adalah suatu
pekerjaan yang serius. Namun penyair tidak harus menyair sampai mati. Dia boleh
meninggalkan kepenyairannya kapan saja. Tapi, bila kita sedang menuliskan
sajak, kita harus melakukan secara sungguh-sungguh, seintens mungkin,
semaksimal mungkin. Kita harus melakukan pencarian-pencarian, kita harus
mencari dan menemukan bahasa. Yang tidak menemukan bahasa takkan pernah disebut
penyair, “saya menyair dan karena itu saya menemukan bahasa saya. Meskipun saya
yakin dan sadar, ‘walau huruf habislah
sudah/alifbataku belum sebatas allah’ (sajak “Walau”)”.[9]
Dalam pidato penyerahan Anugerah
Sastra Chairil Anwar 1998, Sutardji mengatakan bahwa puisi selalu ingin
menampilkan kelainan, keunikan dari kata-kata, dalam pengucapan yang unik.
Penyair membiarkan kata-kata sehari-hari membuat sajak-sajaknya dalam suatu
situasi yang berbeda dengan realitas kata-kata atau bahasa dalam peranan
kesehari-hariannya. Menurut hemat Sutardji, penyair pada hakikatnya tidak
menciptakan sajak. Perannya membuat sajak adalah sangat minim. Asal mula
jadinya sebuah sajak adalah kekosongan. Tidak ada apa-apa. Suatu kekosongan
yang minta diberi arti, yang mendambakan makna. Dalam menuliskan puisi, ketika
kedatangan kata-kata, para penyair adalah makhluk yang gembira, keriangan yang
spontan seperti spontannya orang yang bernyanyi sendiri di kamar mandi. Meski
yang datang adalah kata-kata dari luka, ia selalu dalam keadaan gembira. Karena
bersyukur dan tahu tidak setiap orang bisa kedatangan puisi.[10]
Pada
sajak-sajak Sutardji, ada beberapa hal yang seketika menarik perhatian kita.
Pertama ialah penampilan tipografinya yang pelik. Sajak-sajaknya membawa sudut
pandang visual yang tidak bisa diabaikan. Hal kedua yang tak bisa tidak akan
menarik perhatian, bahkan bagi pembaca yang dangkal pun, adalah kejadian pada
sangat banyak sajak-sajak yang berupa kata-kata kosong, setidak-tidaknya tidak
masuk akal – kumpulan huruf-huruf yang dalam bahasa Indonesia sehari-hari tidak
dikenal sebaagai kata-kata yang punya arti. Ciri ketiga sajak-sajak Sutardji
yang tidak bisa tidak pasti terasakan oleh pembacanya yaitu penggunaan
perulangan yang luar biasa sering terhadap segala macam: bukan saja perulangan
kata-kata, tetapi juga kelompok kata, baris, atau bahkan sajak utuh di dalam
sajak-sajak yang lain, dengan atau tidak dengan perubahan, dan yang sangat
istimewa adalah perulangan anak kalimat ataupun kalimat.[11]
C. Analisis Puisi Karya Sutardji Calzoum Bachri
Tragedi
Winka dan Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
Puisi berjudul
“Tragedi Sihka dan Winka” ini merupakan salah satu karya Sutardji yang cukup
fenomenal. Bagaimana tidak, puisi tersebut memiliki tipografi yang sangat
berbeda dari puisi-puisi pada umumnya. Teknik persajakan dengan memotong-motong
kata dan membalikkan suku kata seperti itu belum pernah terjadi dalam
perpuisian indonesia modern sebelumnya. Puisi ini banyak mendapat tanggapan
dari berbagai kalangan, yang kebanyakan berpendapat bahwa puisi tersebut hanya
“bermain-main”.
Dengan membaca
judulnya saja sudah cukup membuat tanda tanya yang besar, apa arti dari tragedi
sihka dan winka? Tentu saja tidak akan ditemukan arti kata sihka dan winka
dalam kamus karena ini memang stategi pembebasan kata yang dilakukan oleh
Sutardji. Bila diperhatikan lebih lanjut, efek yang diperoleh dari perulangan
kata-kata yang tidak jelas artinya ini seakan-akan menunjukkan sesuatu yang
gaib. Penggunaan kata-kata yang tidak jelas seperti ini sering digunakan orang
pada zaman dahulu untuk melakukan suatu pemujaan, karena dengan semakin tidak
dimengerti maksudnya maka kekuatan atau energi magis yang diperoleh akan
semakin meningkat. Mungkin hal itulah yang ingin disampaikan oleh Sutardji.
Sajak tersebut
hanya terdiri dari dua kata ‘kawin’ dan ‘kasih’, yang dipotong-potong menjadi
suku kata-suku kata, juga dibalik menjadi ‘winka’ dan ‘sihka’. Tipografi sajak
tersebut berdasarkan konteks strukturnya dapat dipahami sebagai pengalaman
hidup yang tidak menyenangkan. Dalam puisi tersebut digambarkan sebagai susunan
huruf serta tulisan yang berbentuk zigzag, berbelok-belok tajam; jalan berliku
yang membahayakan. Arti sebuah sajak bisa saja terlihat dari teknik
penulisannya, dan mungkin hal inilah yang ingin disampaikan Sutardji dalam
puisinya ini.
Memandang dari
konteks situasinya, puisi “Tragedi Sihka dan Winka” memang dimaksudkan untuk menggambarkan
suatu keadaan dalam kehidupan nyata. Kata kawin, kasih, winka, sihka, ka – win,
dan ka – sih, adalah tanda-tanda bermakna. Rachmat Joko Pradopo mengatakan “bila
kata itu utuh, sempurna seperti aslinya, maka arti dan maknanya sempurna. Bila
kata-kata dibalik, maka maknanya pun terbalik, berlawanan dengan kata aslinya”.
Dari pernyataan tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam kata
“kawin” terkandung konotasi makna kebahagiaan, sedangkan “winka” itu mengandung
kesengsaraan. Kawin adalah persatuan, sebaliknya winka adalah perceraian. Kasih
itu berarti cinta, sedangkan sihka itu kebencian. Kawin dan kasih adalah
kebahagiaan, sedangkan winka dan sihka adalah kesengsaraan. Bila kawin dan
kasih menjadi winka dan sihka, maka itulah tragedi kehidupan. Demikian pula
dengan tipografinya yang menggambarkan jalan pengalaman berliku dan penuh
bahaya.[12]
Setelah membaca
puisi Tragedi Sihka dan Winka yang menampilkan kata kasih dan kawin, hal yang
dapat kita pahami adalah bagaimana rasa kasih sayang dapat menyatukan berbagai
macam budaya dalam tali perkawinan. Sepatutnya kita berusaha menjaga rasa kasih
sayang tersebut agar tidak patah, agar tidak berubah menjadi benci, agar tidak timbul
berbagai macam tragedi serta jalan kehidupan yang berkelok-kelok dan
menyengsarakan. Kasih sayang bukan sebab utama adanya perkawinan. Namun tanpa
adanya kasih sayang, tidak akan ada perkawinan yang indah. Dengan menjaga rasa
kasih sayang sesama manusia, bukan hanya perkawinan yang terselamatkan, namun
seluruh aspek kehidupan manusia turut terjalin indah.
LUKA
ha ha
Bagi orang yang awam
atau asing dengan karya-karya atau sosok kepenyairan Sutardji khususnya puisi
ini, pasti tidak sangsi kalau ada puisi yang hanya terdiri dari “ha ha” saja.
Berbeda dengan Tragedi Sihka dan Winka yang bertipografi zigzag puisi itu hanya
tersusun dari perulangan horizontal bunyi murni ha (ha ha). Kesan tragedinya
hadir dari judul yang begitu menusuk; Luka. Makna dan penciptannya memang layak
mengundang pertanyaan. Pertanyaan seputar karya-karya Sutardji mungkin hanya
akan terpuaskan jika si empunya karya yang menjelaskan secara langsung. Akan
tetapi setelah diperhatikan secara keseluruhan, yang perlu kita ketahui hanya
satu hal. Pastilah semua aspek karya itu memiliki maksud.
Pemahaman
tentang maksud dalam puisi ini sebenarnya sangat tergantung dari cara pandang
pembaca. Teks di dalam puisi ini hanyalah bentuk penyandian dari bunyi murni.
Biasanya orang yang terluka akan merasakan sakit dan yang diucapkannya adalah
representasi dari rasa sakitnya itu, misalnya dengan mengaduh atau meneriakkan
kata sakit. Tapi yang hadir dalam puisi ini justru penyandian terhadap
pengekspresian rasa senang bahkan tawa; ha ha. Mungkin dapat diartikan kalau
puisi tersebut melambangkan perasaan seseorang yang sudah tahan akan luka yang
merupakan simbol penderitaan. Ketika seseorang ini terluka, ia tidak lagi meneriakkan
sakit. Ia bahkan melahirkan tawa. Pada konteks lain, mungkin puisi ini juga
dapat menggambarkan tentang seseorang yang tidak berperasaan dan menertawai
luka orang lain. Puisi ini dapat ditafsir sebagai ejekan kepada orang lain yang
sedang menderita.
Melalui
puisi inilah, sekali lagi Sutardji ingin membebaskan kata-kata dari tradisi tua
yang membelenggu yang dalam keseharian kita, ketika kata cenderung dipergunakan
sebagai alat untuk menyampaikan pengertian dan dilupakan kedudukannya yang
merdeka sebagai pengertian itu sendiri. Padahal, jika kata dibebaskan berbagai
kreatifitaspun dimungkinkan. Luka, bisa jadi merupakan ungkapan budaya simpati.
Mengajak seseorang yang tengah terluka untuk tidak larut dalam kepedihan.
Dalam
puisi Indonesia modern mungkin sekali Sutardjilah yang paling berani menyimpang
dari kebiasaan kode dan norma kebahasaan bahasa Indonesia Dialah yang paling
radikal dan berani merombak sistem bahasa. Dalam konteks ini, yang menarik
dalam puisi Sutardji adalah dalam usahanya untuk membebaskan kata dari maknanya
dia sibuk membina dunia pemaknaannya sendiri. Sistem kode dan norma bahasa yang
ingin ditinggalkan dan dirombaknya digantikannya dengan kodifikasi bahasa
pribadi yang lebih ketat dari bahasa umum. Hanya waktu yang akan dapat
membuktikan Sutardji menjadi seorang perombak dan pembaharu ataukah dia akan
hilang sebagai angin lalu, memberi kesegaran untuk sebentar, tetapi yang nanti
tidak ada bekasnya lagi.[13]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Sutardji
Calzoum Bachri merupakan salah satu penyair Indonesia yang juga kita kenal
sebagai cerpenis, eseis dan budayawan. Lahir di Rengat Riau 24 Juni 1941, ia terkenal
sejak awal 1970-an tatkala mengumumkan Kredo Puisi-nya (1973) “kata harus
dibebaskan dari beban pengertian” yang mendasari sebagian besar dari
puisi-puisi ciptaannya. Kredo puisi Sutardji pada masa itu serta-merta
menimbulkan kontroversi dalam kesusastraan Indonesia. Kumpulan puisi Sutardji
diantaranya O (1973), Amuk (1979), dan O Amuk Kapak (1981).
Membaca
karya-karya Sutardji Calzoum Bachri membawa kita pada pengalaman baru yang
cukup membingungkan. Kita dapat menemukan berbagai bentuk diksi yang tak lazim,
tipografi yang unik, dan gaya mantera yang amat kental. Kiranya pantaslah
Sutardji disebut sebagai sang pembaharu di dunia puisi modern Indonesia.
Sutardji menghadirkan makana tersurat dan “memaksa” kita mencari tahu maknanya.
Sutardji sebagai penyair adalah orang yang mahir memainkan permainan makna itu.
Adanya
tulisan ini diharapkan dapat melahirkan pemahaman baru bagi pembaca awam
mengenai pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam karya sastra yang ia
hasilkan. Diharapkan pula pemahaman tersebut dapat memperbesar apresiasi
terhadap karya sastra (puisi) khususnya karya karya unik dari Sutardji Calzoum
Bachri sebagai pembawa warna baru dalam puisi Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim
(2013). Biografi Sutardji Calzoum Bachri
(online), Tersedia : http://www.aksarasastra.wordpress.com.
Diunduh pada 15 Mei 2014 Pukul 17:45 WIB.
Bachri, Sutardji Calzoum. 2007. Isyarat. Yogyakarta : INDONESIATERA.
Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. 2011.
Sejarah Sastra Indonesia. Ciputat :
LPUIN.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta : Sinar Harapan.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern. Jakarta : Pustaka Jaya.
Teew, A. 1980. Tergantung Pada Kata. Jakarta : Pustaka Jaya.
Wa
Ode Rizki Adi Putri (2011), Empat Puisi
Tragedi Karya Sutardji Calzoum Bachri (online), Tersedia : http://waoderizkiadi.blogspot.com,
Diunduh pada 13 Mei 2014 Pukul 22:04 WIB.
[1]
Anonim (2013), Biografi Sutardji Calzoum
Bachri (online), Tersedia : http://www.aksarasastra.wordpress.com,
Diunduh pada 15 Mei 2014 Pukul 17:45 WIB.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] A.
Teeuw, Sastra Indonesia Modern,
(Jakarta : Pustaka Jaya), hlm. 152.
[6] Rosida
Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra
Indonesia, (Ciputat: LPUIN, 2011), hlm. 97.
[7] Sutardji
Calzoum Bachri, Isyarat, (Yogyakarta:
INDONESIATERA, 2007), hlm. ix.
[8] Umar
Junus, Mitos dan Komunikasi, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1981), hlm. 201-233
[9] Bachri, Op. Cit., hlm. 7.
[10] Ibid, hlm 10-12.
[11] Teeuw, Op. Cit., hlm. 153-155.
[12]
Wa Ode Rizki Adi Putri (2011), Empat
Puisi Tragedi Karya Sutardji Calzoum Bachri (online), Tersedia : http://waoderizkiadi.blogspot.com,
Diunduh pada 13 Mei 2014 Pukul 22:04 WIB.
[13] A.
Teeuw, Tergantung Pada Kata,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 147-156.
Bagaimana menentukan tipografi sebuah kritik tentang puisi winka dan shika?
BalasHapus