BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas
kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering
juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat
pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah,
sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi,
dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan
bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada
hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang
bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak
akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan.
Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak
hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi
juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin kita tidak
terpengaruh orang lain. Tatkala seorang pelukis
berkarya, tidak selamanya dia memulai dengan bekal kehampaan batin, pandangan,
pikiran, khayalan dan imajinasi. Kekosongan dalam hal yang satu ini adalah
kemustahilan. “Keisian” itu justru sudah menjadi tuntutan yang sudah harus ada
sebelum seniman memulai mengembarakan dan menggembalakan ekspresinya. Seorang
pelukis tidak jarang melihat karya-karya lukis dari seniman yang sadar atau tidak
sadar, cepat atau lambat akan memberi pengaruh. Tidak hanya itu,
jiplak-menjiplak pun pada akhirnya tidak terhindarkan.
Termasuk dalam karya
sastra yang mempunyai hubungan sejarah antara karya sezamannya, yang mendahului
atau yang kemudian. Hubungan demikian dapat mencakup persamaan maupun
pertentangannya. Karya sastra tak selamanya itu sempurna, baik puisi, novel, roman
dan cerpen. Tanpa kita sadari, setelah usai membaca karya-karya yang telah
disuguhkan baik dalam bentuk buku atau dalam bentuk media cetak (rubrik
budaya), maka akan ada bentuk komentar dalam pikiran kita baik dari segi
persamaan maupun perbedaan karya yang ada sebelumnya. Oleh karena itu untuk
lebih memahami lagi apakah sebuah karya dianggap meniru, penjiplak, atau
menjadi daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut
membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang, maka dalam makalah ini
kami akan membahas tentang epigon, pengaruh, dan plagiat.
B.
Identifikasi
Masalah
Persoalan
yang muncul dalam kajian sastra bandingan epigon, pengaruh, dan plagiat:
1. Mahasiswa
tidak memiliki contoh tentang epigon, pengaruh, dan plagiat
2. Mahasiswa
sulit mendapatkan referensi dalam masalah epigon, pengaruh dan plagiat
3. Mahasiswa
sulit membedakan masalah epigon, pengaruh, dan plagiat
C.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian epigon?
2. Bagaimana
pengertian pengaruh?
3. Bagaimana
pengertian plagiat?
4. Bagaimana
contoh kasus yang terkait dengan epigon, pengaruh, plagiat?
D.
Tujuan
Penulisan
Secara
umum penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui epigon, pengaruh, dan
plagiat beserta analisisnya. Adapun yang menjadi tujuan khusus adalah:
1. Mengetahui
pengertian epigon
2. Mengetahui
pengertian pengaruh
3. Mengetahui
pengertian plagiat
4. Mengetahui
contoh kasus yang berkaitan dengan epigon, pengaruh, dan plagiat
E.
Metode
Penulisan
Metode yang
digunakan untuk menyusun makalah ini adalah kajian kepustakaan dengan
menggunakan buku-buku sumber referensi, dan internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Epigon
Istilah epigon
seringkali dikaitkan dengan plagiat. Keduanya masuk ke dalam studi
interteks. Secara etimologi kata epigon berasal dari bahasa latin epigonos
atau epigignestai, yang berarti ‘terlahir kemudian’. Epigone dalam bahasa Inggris berarti
'pengekor' atau 'pengikut' salah seorang sastrawan terkemuka. Dalam hal ini
Suwardi Endraswara kurang sepakat dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa
epigon berarti orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak
pemikir atau seniman yang mendahuluinya. Mengapa? Suwardi berpendapat bahwa
seniman atau sastrawan adalah kreator yang gemar melakukan penjelajahan
imajinasi. Melalui imajinasi tentu ada hal baru, ada suatu penolakan terhadap
yang dahulu, dan tidak tertutup kemungkinan ada inovasi. Apapun wujudnya, kemampuan
sastrawan mencipta perlu dihargai sebagai kreativitas.[1]
Ahli
sastra bandinganlah yang akan mendudukkan seberapa tingkat epigon dan plagiat.
Baik epigon dan plagiat sebenarnya menjadi bagian bandingan yang tak akan
pernah ada habisnya. Meniru sebenarnya sah-sah saja, biarpun ada yang
menganggap sebagai pencurian. Tak jarang jika kita sedang berada di toko buku,
membolak-balik novel, membuka cerpen masa lalu, atau mencermati dongeng, kita
mendapati banyak sekali buku yang serupa atau mirip dalam tampilannya, dalam
tema tulisannya, atau yang lainnya dengan buku-buku yang sudah menjadi fenomena
dan best seller. Contoh setelah buku tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, atau novel populer karya
Habiburrahman El-Shirazy, Ayat-ayat Cinta
dan Ketika Cinta Bertasbih,
bermunculan buku atau novel-novel serupa baik dalam tema, isi cerita, maupun
hanya sekedar tampilan novelnya saja.[2]
Sapardi
Djoko Damono memberikan rambu-rambu bahwa sastra bandingan perlu mencermati
tiga hal yaitu (1) asli, (2) pinjaman, dan (3) tradisi. Ketiganya jelas terikat
dengan epigonistik. Karya asli, biasanya disebut orisinal, yang sering menjadi
sumber epigon. Istilah pinjaman sama halnya dengan serapan. Sastra serapan
sah-sah saja, sebab hubungan estetis tidak mungkin dibendung oleh siapapun.
Sebaiknya pengarang tidak sekedar epigon, melainkan membangun tradisi baru.
Namun demikian, tradisi baru juga sering tidak mudah dilakukan, sebab pada
dasarnya pengarang senantiasa tidak pernah nihil dari karya orang lain.[3]
B.
Pengaruh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengaruh adalah
daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk
watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang. Menurut mahayana adanya kesamaan
tema, gaya, maupun bentuk pada dua karya sastra, mungkin hanya akibat pengaruh
karya sastra yang satu terhadap karya yang lain. Kemunculannya pun bisa pada
saat yang bersamaan atau dengan kurun waktu yang berbeda. Dengan demikian, bisa
jadi terjadi kemiripan antara karya sastra disuatu negara dan karya sastra di negara
lain. Istilah pengaruh harus dartikan secara
luas, bukan sekedar proses peniruan yang menimbulkan karya sastra baru
berdasarkan karya sastra yang sudah ada. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
seandainya karya sastra yang mempengaruhi itu tidak pernah ada tidak akan pernah bisa
membuktikan hal itu. Hal tersebut membuka peluang bagi penelitian sastra
bandingan.[4]
Dalam
studi pengaruh ada dua metode yang bisa dipergunakan, yakni peneliti menekankan
masalahnya dari segi pandang sastrawan yang dipengaruhi atau dari sudut pandang
sastrawan yang mempengaruhi. Dari segi apapun memandang masalahnya, ia masih
bisa menciutkan kajiannya pada salah satu aspek saja seperti hubungan-hubungan
dalam tema, gaya, genre atau gagasan. Ia pun bisa saja lebih menciutkan lagi
kajiannya, yakni meneliti kemiripan dalam bahasa atau struktur.[5]
Pengaruh
bisa terjadi secara langsung atau tak langsung. Tidak jelas apakah yang
menimbulkan pengaruh itu sastrawan atau karyanya, penelitilah yang harus
menentukan hal itu. Begitu pentingnya studi pengaruh, hasilnya tidak selalu
dapat menjelaskan bagaimana proses penyebaran suatu teknik atau gagasan, sebab
bagaimanapun suatu masyarakat harus sudah memiliki sikap untuk siap menerima
sesuatu dari luar; jika tidak penularan itu tidak akan pernah terjadi. Dengan
demikian sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa seandainya tidak ada sumber
pengaruh, tidak akan bisa dipastikan bahwa sastra tertentu tidak menghasilkan
sesuatu.[6]
Secara
umum dikatakan bahwa suatu studi mengenai pengaruh dan analogi memusatkan pada
interaksi dan pemikiran antar beberapa sastra, karya, dan pengarang sastra
nasional atau seputar fungsi sejumlah tokoh penting yang menjadi perantara
dalam penyebaran doktrin atau teknik sastra. Wilayah penelitian sastra
bandingan yang demikian itu bisa lebih lanjut dibagi menjadi segmen-segmen yang
lebih kecil seperti sumber, yakni inspirasi atau informasi yang diambil oleh
sastrawan atau karya sastra asing; nasib, yakni respon atau dampak yang
ditimbulkan oleh suatu karya sastra di masyarakat lain; dan citra, yakni
gagasan yang keliru atau benar yang timbul di suatu bangsa terhadap sastra
bangsa lain. Menurutnya kemiripan antara karya sastra dan bidang seni lain juga
bisa disebut sastra bandingan.[7]
Untuk
melengkapi studi pengaruh kemudian dikembangkan studi analogi yang
mempertimbangkan kemiripan yang ada pada berbagai unsur dua atau lebih sastra.
Jika pengaruh umumnya hanya membatasi karya-karya tertentu, maka analogi bisa
menjelaskan hal yang lebih luas dan hakiki, yakni sikap estetik dan filosofis
secara umum. Di beberapa masyarakat mungkin saja tumbuh sikap tertentu yang
sama dengan yang muncul di masyarakat lain sehingga dengan demikian dalam kedua
masyarakat yang berlainan itu bisa dihasilkan genre, gaya atau gagasan dalam
karya sastra yang mirip. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa sampai sekarang
pun jika ada suatu peristiwa sosial atau politik yang penting, masyarakat
cenderung menghasilkan jenis karya sastra yang mirip satu sama lain. Seusai
perang besar, misalnya, masyarakat dimanapun cenderung menghasilkan jenis
sastra yang berkaitan gagasannya dengan peperangan.[8]
C.
Plagiat
Dalam beberapa kasus, ada kalanya seseorang tidak
secara sengaja melakukan plagiat karena ketidaktahuan atau ketelitiannya dalam mengambil
atau mengutip data yang dibutuhkan. Menurut Webster’s
World University Dictionary, plagiarisme adalah mengambil atau menjadikan
(ide-ide) atau kata-kata orang lain menjadi milik sendiri; menggunakan (sesuatu
yang sudah jadi) tanpa menyebutkan sumbernya; melakukan pencurian literal;
menghadirkan ide atau produk baru dan asli yang diambil dari sumber sebelumnya
yang telah ada. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia plagiat merupakan
pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan tersebut
merupakan karangan sendiri, misalnya menerbitkan karya orang lain atas nama
dirinya sendiri ; jiplakan.[9]
Plagiarisme
tidak saja terjadi dalam lingkungan sastra suatu daerah, tetapi juga dalam
hubungan sastra dareah dengan daerah lain, dengan sastra nasional, dan bahkan
dengan sastra negara lain. Plagiat sama halnya dengan pencurian. Penulis yang
baik harus menyebutkan kata-kata dan gagasan-gagasan yang dipinjamnya. Bila
tidak, hutang intelektual ini akan menjadi plagiarisme. Sekalipun seorang
penulis sudah mencantumkan suatu sumber informasi yang dipinjamnya, plagiarisme
masih dapat terjadi bila dia tidak hati-hati melakukan pereferensian atau
penyitiran. Lazimnya terdapat tiga tindakan yang dianggap sebagai plagiarisme,
yakni :
1. Tidak
melakukan penyitiran kata-kata dan gagasan-gagasan yang dipinjam,
2. Tidak
menyertakan tanda kutip untuk mengapit kata-kata yang dipinjam, dan
3. Tidak
melakukan parafrasa atau mensarikan kata-kata atau gagasan-gagasan yang
dipinjam dengan kata-kata sendiri.[10]
Penyitiran kata-kata
dan gagasan-gagasan yang dipinjam
Terkecuali pengetahuan umum atau
yang sudah dianggap umum, yakni yang dapat ditemukan diberbagai sumber bacaan
lain, semua informasi yang dipinjam harus diberikan referensi yang benar.
Informasi itu tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gagasan-gagasan dalam
bentuk, antara lain: statistik, angka-angka, tabel, diagram, gambar, ikon,
simbol, pola dan tanda. Di lain pihak, pengetahuan umum meliputi, antara lain:
pengetahuan yang sudah diketahui masyarakat atau pengetahuan yang lazim dalam
bidang ilmu tertentu. Sebagai contoh, bahwa Indonesia merupakan Negara
kepulauan; bahwa matahari terbit di sebelah timur; bahwa Sigmund Freud adalah
tokoh psikoanalisis atau bahwa perubahan iklim merupakan isu penting dewasa
ini.[11]
Penyertaan tanda kutip
untuk mengapit kata-kata yang dipinjam
Bila menulis menggunakan kata-kata
yang persis dari penulis lain, ia harus menggunakan tanda kutip untuk mengapit
kata-kata yang dipinjamnya dan membuat referensi-dalam-teks, serta memberikan
nomor halaman dari tempat kata-kata itu diambil. Berikut ini adalah contoh
perefrensian-dalam teks untuk daftar referensi.
·
Prefrensian-dalam-teks
Sekalipun
internet kini luas digunakan sebagai alat komunikasi, dari perspektif kognitif
Giles (2003, p.113) berargumen bahwa ‘iklan internet tampaknya tidak bakal seefektif
iklan bioskop dan televisi karena si pemakai mengontrol medium tersebut’.[12]
D.
Kasus yang
berkaitan dengan epigon, pengaruh, dan
plagiat
Hb
Jassin, kritikus sastra Indonesia, mengungkapkan prinsip kerja sastra bandingan
ketika membela Hamka dan Chairil Anwar dari tuduhan sebagai plagiat. Pengarang
Hamka dengan novel Tenggelamnya Kapal van
der Wijck dituduh sebagai plagiat. Hal ini bermula ketika terbit sebuah
artikel yang ditulis oleh Abdullah SP, yang mengungkapkan bahwa karya Hamka
tersebut sangat mirip dengan karya pujangga Mesir Mustafa Luthfi Al Manfaluthi.
Kesamaan tersebut dalam jalan pikiran, gaya bahasanya, perasaannya, filsafatnya
dan lain-lain. Hamka dianggap mentah-mentah menjiplak karya pengarang Mesir
dengan hanya mengganti tokoh dan tempat yang sesuai dengan warna setempat.
Untuk menguatkan tuduhannya, Abdullah SP memberikan fakta-fakta dengan
membandingkan karya Hamka tersebut dengan karya Alphonso Karr, Magdaline. Abdullah SP membandingkan
beberapa paragraf kisah cerita yang dianggap sebuah kemiripan. Menghadapi
tuduhan tersebut, Jassin menyatakan bahwa karya Hamka bukan plagiat atau
jiplakan. Menjiplak berarti menerjemahkan tanpa menyebutkan sumbernya,
sedangkan novel Tenggelamnya Kapal Van
der Wijck tersebut masih ada pemikiran, penghayatan, dan pengalaman Hamka.
Novel tersebut bukan jiplakan, karena terlalu banyak peristiwa yang bersumber
pada pengamatan dan pengetahuan pengarang.[13]
Hal yang sama juga dilakukan Jassin ketika Chairil
Anwar dituduh menjiplak karya-karya penyair mancanegara. Ketika Chairil Anwar
masih hidup timbul kehebohan dalam majalah mimbar Indonesia bahwa
Chairil melakukan plagiat. Diberitakan bahwa sajaknya yang berjudul Datang Dara Hilang Dara merupakan hasil
plagiat dari sajak Hsu Chih Mo yang berjudul A song of the sea. Tidak hanya itu saja, tetapi juga banyak
sajak-sajak lain seperti Karawang Bekasi
yang diambil dari sajak Archibald MacLeish yang berjudul The Young Dead Soldiers. Demikian juga dengan sajaknya Kepada Peminta-minta, Rumahku, dan lain-lain. Peristiwa itu
sangat mengejutkan dunia sastra Indonesia sehingga timbul polemik antara yang
menyerang dan mempertahankan Chairil.
Setelah mengkaji melalui sastra bandingan, Jassin
menegaskan bahwa Hamka bukan plagiat, melainkan mengadaptasi karya pengarang
Mesir tersebut. Mengenai Chairil Anwar, Jassin menilai bahwa penyair angkatan
45 itu hanya menyadur dan menerjemahkan karya-karya sastra asing yang bersangkutan.
Salah satu contoh yakni dalam puisinya Chairil Anwar yang
berjudul Karawang bekasi puisi ini
dianggap menjiplak karya Archibald Macleish yang berjudul
The Young Dead Soldier. Chairil Anwar sebenarnya telah menciptakan sajak baru sehingga terpengaruh
dengan larik sajak yang dibuat Archibald Macleish. Sajak Macleish memuat sajak
yang lebih umum tentang prajurit dengan nilai-nilai yang bisa diterima dimana
saja. Prajurit
yang mati pada sajak itu tidak terikat dengan waktu dan tempat, mereka bukan
prajurit yang merebut kemerdekaan dari bangsa lain. Sebaliknya, sajak Chairil
Anwar memuat sajak yang lebih khusus yang terikat antara waktu dan tempat,
yakni pada waktu merebut kemerdekaan Indonesia.
Dengan demikian sajak ini tidak mengandung nilai-nilai
dengan mudah bisa diterima dimana dan kapan saja, ia terikat pada sejarah. Nada
yang tersirat dalam sajak Chairil Anwar itu pun jelas berbeda dengan
The
Young Dead Soldier. Karawang Bekasi menggambarkan suasana mengobarkan semangat perjuangan,
sedangkan sajak The Young Dead Soldier
memimpikan persamaian.
Berikut ini merupakan teks puisi karya Chairil Anwar dan
Archibald Macleish.
KARAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bitjara padamu dalam hening di malam sepi
Djika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah tjoba apa yang kami bisa
Tapi kerdja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil Anwar (1948)
THE YOUNG DEAD SOLDIERS
The young dead soliders do not speak
Nevertheless they are heard in the still houses:
(who has not heard them?)
They have a silence that speaks for them at night
and when the clock counts.
They say,
We were young. We have died. Remember us.
They say,
we have done what we could
but until it is finished it is not done.
They say, we have given our lives
but until it is finished no one can know what our lives gave.
They say,
our deaths are not ours: they are yours
they will mean what you make them.
They say,
whether our lives and our deaths were for peace and a new hope
or for nothing
We cannot say: it is you who must say this.
They say, we leave you our deaths:
give them their meaning:
give them an end to the war and a true peace:
give them a victory that ends the war and a peace afterwards:
give them their meaning.
We were young, they say.
We have died.
Remember us.
Archibald MacLeish (1941)
Berikut beberapa
bait yang mirip pada kedua sajak tersebut :
1. (tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami?) =
(who has not heard them)
2. (kami bicara padamu dalam hening di malam sepi jika dada
rasa hampa dan jam dinding yang berdetak)
= (they have a silence that speaks for them at night and
when the clock count)
3. (kami mati muda. Yang ditinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami) = (they say, We were young. We have died. Remember us).
4. (Kami sudah coba apa yang kami bisa) =
(They say, we have done what we could but until it is
finished it is not done).
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Setiap karya sastra yang lahir ditempatkan
sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat, tidak hanya
merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga
menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya. Karya
sastra tak selamanya itu sempurna, baik puisi, novel, roman dan cerpen.
Pengarangnya bisa saja melakukan epigon, mendapatkan pengaruh dari berbagai
sisi, baik dari sisi pengarangnya maupun karyanya, atau bisa saja pengarang
tersebut melakukan plagiat atau menjiplak dan mengakui karya orang lain sebagai
karyanya sendiri.
[1] Suwardi Endraswara, Metodelogi
Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: bukupop, 2011), hlm. 210, Cet. 1.
[4] Uman Rejo SS (2012), Kajian Pengaruh Dalam Sastra Bandingan
(online), Tersedia: http://www.jendelasastra.com, Diunduh pada
25 Oktober 2013 pukul 14.37 WIB.
[7] Ibid, hlm. 9.
[8] Ibid, hlm. 11
[9] Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2000), hlm. 4
[10]Bambang Kaswanti Purwo, Penulisan
Akademik : Esai, Makalah, Artikel Jurnal Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi,
(Bandung: Widya Aksara Press, 2010), hlm. 151, Cet. 1
[13] Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta :
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hlm. 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar