Selasa, 05 Agustus 2014

Epigon, Pengaruh, dan Plagiat




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin kita tidak terpengaruh orang lain. Tatkala seorang pelukis berkarya, tidak selamanya dia memulai dengan bekal kehampaan batin, pandangan, pikiran, khayalan dan imajinasi. Kekosongan dalam hal yang satu ini adalah kemustahilan. “Keisian” itu justru sudah menjadi tuntutan yang sudah harus ada sebelum seniman memulai mengembarakan dan menggembalakan ekspresinya. Seorang pelukis tidak jarang melihat karya-karya lukis dari seniman yang sadar atau tidak sadar, cepat atau lambat akan memberi pengaruh. Tidak hanya itu, jiplak-menjiplak pun pada akhirnya tidak terhindarkan.
Termasuk dalam karya sastra yang mempunyai hubungan sejarah antara karya sezamannya, yang mendahului atau yang kemudian. Hubungan demikian dapat mencakup persamaan maupun pertentangannya. Karya sastra tak selamanya itu sempurna, baik puisi, novel, roman dan cerpen. Tanpa kita sadari, setelah usai membaca karya-karya yang telah disuguhkan baik dalam bentuk buku atau dalam bentuk media cetak (rubrik budaya), maka akan ada bentuk komentar dalam pikiran kita baik dari segi persamaan maupun perbedaan karya yang ada sebelumnya. Oleh karena itu untuk lebih memahami lagi apakah sebuah karya dianggap meniru, penjiplak, atau menjadi daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang, maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang epigon, pengaruh, dan plagiat.
B.     Identifikasi Masalah
Persoalan yang muncul dalam kajian sastra bandingan epigon, pengaruh, dan plagiat:
1.      Mahasiswa tidak memiliki contoh tentang epigon, pengaruh, dan plagiat
2.      Mahasiswa sulit mendapatkan referensi dalam masalah epigon, pengaruh dan plagiat
3.      Mahasiswa sulit membedakan masalah epigon, pengaruh, dan plagiat

C.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian epigon?
2.      Bagaimana pengertian pengaruh?
3.      Bagaimana pengertian plagiat?
4.      Bagaimana contoh kasus yang terkait dengan epigon, pengaruh, plagiat?

D.    Tujuan Penulisan
Secara umum penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui epigon, pengaruh, dan plagiat beserta analisisnya. Adapun yang menjadi tujuan khusus adalah:
1.      Mengetahui pengertian epigon
2.      Mengetahui pengertian pengaruh
3.      Mengetahui pengertian plagiat
4.      Mengetahui contoh kasus yang berkaitan dengan epigon, pengaruh, dan plagiat
E.     Metode Penulisan
Metode yang digunakan untuk menyusun makalah ini adalah kajian kepustakaan dengan menggunakan buku-buku sumber referensi, dan internet.


























BAB II
PEMBAHASAN

A.                Epigon
Istilah epigon seringkali dikaitkan dengan plagiat. Keduanya masuk ke dalam studi interteks. Secara etimologi kata epigon berasal dari bahasa latin epigonos atau epigignestai, yang berarti ‘terlahir kemudian’. Epigone dalam bahasa Inggris berarti 'pengekor' atau 'pengikut' salah seorang sastrawan terkemuka. Dalam hal ini Suwardi Endraswara kurang sepakat dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa epigon berarti orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak pemikir atau seniman yang mendahuluinya. Mengapa? Suwardi berpendapat bahwa seniman atau sastrawan adalah kreator yang gemar melakukan penjelajahan imajinasi. Melalui imajinasi tentu ada hal baru, ada suatu penolakan terhadap yang dahulu, dan tidak tertutup kemungkinan ada inovasi. Apapun wujudnya, kemampuan sastrawan mencipta perlu dihargai sebagai kreativitas.[1]
Ahli sastra bandinganlah yang akan mendudukkan seberapa tingkat epigon dan plagiat. Baik epigon dan plagiat sebenarnya menjadi bagian bandingan yang tak akan pernah ada habisnya. Meniru sebenarnya sah-sah saja, biarpun ada yang menganggap sebagai pencurian. Tak jarang jika kita sedang berada di toko buku, membolak-balik novel, membuka cerpen masa lalu, atau mencermati dongeng, kita mendapati banyak sekali buku yang serupa atau mirip dalam tampilannya, dalam tema tulisannya, atau yang lainnya dengan buku-buku yang sudah menjadi fenomena dan best seller. Contoh setelah buku tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, atau novel populer karya Habiburrahman El-Shirazy, Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, bermunculan buku atau novel-novel serupa baik dalam tema, isi cerita, maupun hanya sekedar tampilan novelnya saja.[2]
Sapardi Djoko Damono memberikan rambu-rambu bahwa sastra bandingan perlu mencermati tiga hal yaitu (1) asli, (2) pinjaman, dan (3) tradisi. Ketiganya jelas terikat dengan epigonistik. Karya asli, biasanya disebut orisinal, yang sering menjadi sumber epigon. Istilah pinjaman sama halnya dengan serapan. Sastra serapan sah-sah saja, sebab hubungan estetis tidak mungkin dibendung oleh siapapun. Sebaiknya pengarang tidak sekedar epigon, melainkan membangun tradisi baru. Namun demikian, tradisi baru juga sering tidak mudah dilakukan, sebab pada dasarnya pengarang senantiasa tidak pernah nihil dari karya orang lain.[3]
B.                 Pengaruh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang. Menurut mahayana adanya kesamaan tema, gaya, maupun bentuk pada dua karya sastra, mungkin hanya akibat pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya yang lain. Kemunculannya pun bisa pada saat yang bersamaan atau dengan kurun waktu yang berbeda. Dengan demikian, bisa jadi terjadi kemiripan antara karya sastra disuatu negara dan karya sastra di negara lain. Istilah pengaruh harus dartikan secara luas, bukan sekedar proses peniruan yang menimbulkan karya sastra baru berdasarkan karya sastra yang sudah ada. Ada pendapat yang mengatakan bahwa seandainya karya sastra yang mempengaruhi itu tidak pernah ada  tidak akan pernah bisa membuktikan hal itu. Hal tersebut membuka peluang bagi penelitian sastra bandingan.[4]
Dalam studi pengaruh ada dua metode yang bisa dipergunakan, yakni peneliti menekankan masalahnya dari segi pandang sastrawan yang dipengaruhi atau dari sudut pandang sastrawan yang mempengaruhi. Dari segi apapun memandang masalahnya, ia masih bisa menciutkan kajiannya pada salah satu aspek saja seperti hubungan-hubungan dalam tema, gaya, genre atau gagasan. Ia pun bisa saja lebih menciutkan lagi kajiannya, yakni meneliti kemiripan dalam bahasa atau struktur.[5]
Pengaruh bisa terjadi secara langsung atau tak langsung. Tidak jelas apakah yang menimbulkan pengaruh itu sastrawan atau karyanya, penelitilah yang harus menentukan hal itu. Begitu pentingnya studi pengaruh, hasilnya tidak selalu dapat menjelaskan bagaimana proses penyebaran suatu teknik atau gagasan, sebab bagaimanapun suatu masyarakat harus sudah memiliki sikap untuk siap menerima sesuatu dari luar; jika tidak penularan itu tidak akan pernah terjadi. Dengan demikian sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa seandainya tidak ada sumber pengaruh, tidak akan bisa dipastikan bahwa sastra tertentu tidak menghasilkan sesuatu.[6]  
Secara umum dikatakan bahwa suatu studi mengenai pengaruh dan analogi memusatkan pada interaksi dan pemikiran antar beberapa sastra, karya, dan pengarang sastra nasional atau seputar fungsi sejumlah tokoh penting yang menjadi perantara dalam penyebaran doktrin atau teknik sastra. Wilayah penelitian sastra bandingan yang demikian itu bisa lebih lanjut dibagi menjadi segmen-segmen yang lebih kecil seperti sumber, yakni inspirasi atau informasi yang diambil oleh sastrawan atau karya sastra asing; nasib, yakni respon atau dampak yang ditimbulkan oleh suatu karya sastra di masyarakat lain; dan citra, yakni gagasan yang keliru atau benar yang timbul di suatu bangsa terhadap sastra bangsa lain. Menurutnya kemiripan antara karya sastra dan bidang seni lain juga bisa disebut sastra bandingan.[7]
Untuk melengkapi studi pengaruh kemudian dikembangkan studi analogi yang mempertimbangkan kemiripan yang ada pada berbagai unsur dua atau lebih sastra. Jika pengaruh umumnya hanya membatasi karya-karya tertentu, maka analogi bisa menjelaskan hal yang lebih luas dan hakiki, yakni sikap estetik dan filosofis secara umum. Di beberapa masyarakat mungkin saja tumbuh sikap tertentu yang sama dengan yang muncul di masyarakat lain sehingga dengan demikian dalam kedua masyarakat yang berlainan itu bisa dihasilkan genre, gaya atau gagasan dalam karya sastra yang mirip. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa sampai sekarang pun jika ada suatu peristiwa sosial atau politik yang penting, masyarakat cenderung menghasilkan jenis karya sastra yang mirip satu sama lain. Seusai perang besar, misalnya, masyarakat dimanapun cenderung menghasilkan jenis sastra yang berkaitan gagasannya dengan peperangan.[8]  

C.                Plagiat
Dalam beberapa kasus, ada kalanya seseorang tidak secara sengaja melakukan plagiat karena ketidaktahuan atau ketelitiannya dalam mengambil atau mengutip data yang dibutuhkan. Menurut Webster’s World University Dictionary, plagiarisme adalah mengambil atau menjadikan (ide-ide) atau kata-kata orang lain menjadi milik sendiri; menggunakan (sesuatu yang sudah jadi) tanpa menyebutkan sumbernya; melakukan pencurian literal; menghadirkan ide atau produk baru dan asli yang diambil dari sumber sebelumnya yang telah ada. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia plagiat merupakan pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan tersebut merupakan karangan sendiri, misalnya menerbitkan karya orang lain atas nama dirinya sendiri ; jiplakan.[9]
 Plagiarisme tidak saja terjadi dalam lingkungan sastra suatu daerah, tetapi juga dalam hubungan sastra dareah dengan daerah lain, dengan sastra nasional, dan bahkan dengan sastra negara lain. Plagiat sama halnya dengan pencurian. Penulis yang baik harus menyebutkan kata-kata dan gagasan-gagasan yang dipinjamnya. Bila tidak, hutang intelektual ini akan menjadi plagiarisme. Sekalipun seorang penulis sudah mencantumkan suatu sumber informasi yang dipinjamnya, plagiarisme masih dapat terjadi bila dia tidak hati-hati melakukan pereferensian atau penyitiran. Lazimnya terdapat tiga tindakan yang dianggap sebagai plagiarisme, yakni :
1.     Tidak melakukan penyitiran kata-kata dan gagasan-gagasan yang dipinjam,
2.     Tidak menyertakan tanda kutip untuk mengapit kata-kata yang dipinjam, dan
3.    Tidak melakukan parafrasa atau mensarikan kata-kata atau gagasan-gagasan yang dipinjam dengan kata-kata sendiri.[10]
Penyitiran kata-kata dan gagasan-gagasan yang dipinjam
       Terkecuali pengetahuan umum atau yang sudah dianggap umum, yakni yang dapat ditemukan diberbagai sumber bacaan lain, semua informasi yang dipinjam harus diberikan referensi yang benar. Informasi itu tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gagasan-gagasan dalam bentuk, antara lain: statistik, angka-angka, tabel, diagram, gambar, ikon, simbol, pola dan tanda. Di lain pihak, pengetahuan umum meliputi, antara lain: pengetahuan yang sudah diketahui masyarakat atau pengetahuan yang lazim dalam bidang ilmu tertentu. Sebagai contoh, bahwa Indonesia merupakan Negara kepulauan; bahwa matahari terbit di sebelah timur; bahwa Sigmund Freud adalah tokoh psikoanalisis atau bahwa perubahan iklim merupakan isu penting dewasa ini.[11]
Penyertaan tanda kutip untuk mengapit kata-kata yang dipinjam
     Bila menulis menggunakan kata-kata yang persis dari penulis lain, ia harus menggunakan tanda kutip untuk mengapit kata-kata yang dipinjamnya dan membuat referensi-dalam-teks, serta memberikan nomor halaman dari tempat kata-kata itu diambil. Berikut ini adalah contoh perefrensian-dalam teks untuk daftar referensi.
·         Prefrensian-dalam-teks
     Sekalipun internet kini luas digunakan sebagai alat komunikasi, dari perspektif kognitif Giles (2003, p.113) berargumen bahwa ‘iklan internet tampaknya tidak bakal seefektif iklan bioskop dan televisi karena si pemakai mengontrol medium tersebut’.[12]

D.                Kasus yang berkaitan dengan epigon, pengaruh, dan plagiat
Hb Jassin, kritikus sastra Indonesia, mengungkapkan prinsip kerja sastra bandingan ketika membela Hamka dan Chairil Anwar dari tuduhan sebagai plagiat. Pengarang Hamka dengan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh sebagai plagiat. Hal ini bermula ketika terbit sebuah artikel yang ditulis oleh Abdullah SP, yang mengungkapkan bahwa karya Hamka tersebut sangat mirip dengan karya pujangga Mesir Mustafa Luthfi Al Manfaluthi. Kesamaan tersebut dalam jalan pikiran, gaya bahasanya, perasaannya, filsafatnya dan lain-lain. Hamka dianggap mentah-mentah menjiplak karya pengarang Mesir dengan hanya mengganti tokoh dan tempat yang sesuai dengan warna setempat. Untuk menguatkan tuduhannya, Abdullah SP memberikan fakta-fakta dengan membandingkan karya Hamka tersebut dengan karya Alphonso Karr, Magdaline. Abdullah SP membandingkan beberapa paragraf kisah cerita yang dianggap sebuah kemiripan. Menghadapi tuduhan tersebut, Jassin menyatakan bahwa karya Hamka bukan plagiat atau jiplakan. Menjiplak berarti menerjemahkan tanpa menyebutkan sumbernya, sedangkan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tersebut masih ada pemikiran, penghayatan, dan pengalaman Hamka. Novel tersebut bukan jiplakan, karena terlalu banyak peristiwa yang bersumber pada pengamatan dan pengetahuan pengarang.[13]
Hal yang sama juga dilakukan Jassin ketika Chairil Anwar dituduh menjiplak karya-karya penyair mancanegara. Ketika Chairil Anwar masih hidup timbul kehebohan dalam majalah mimbar Indonesia bahwa Chairil melakukan plagiat. Diberitakan bahwa sajaknya yang berjudul Datang Dara Hilang Dara merupakan hasil plagiat dari sajak Hsu Chih Mo yang berjudul A song of the sea. Tidak hanya itu saja, tetapi juga banyak sajak-sajak lain seperti Karawang Bekasi yang diambil dari sajak Archibald MacLeish yang berjudul The Young Dead Soldiers. Demikian juga dengan sajaknya Kepada Peminta-minta, Rumahku, dan lain-lain. Peristiwa itu sangat mengejutkan dunia sastra Indonesia sehingga timbul polemik antara yang menyerang dan mempertahankan Chairil.
Setelah mengkaji melalui sastra bandingan, Jassin menegaskan bahwa Hamka bukan plagiat, melainkan mengadaptasi karya pengarang Mesir tersebut. Mengenai Chairil Anwar, Jassin menilai bahwa penyair angkatan 45 itu hanya menyadur dan menerjemahkan karya-karya sastra asing yang bersangkutan. Salah satu contoh yakni dalam puisinya Chairil Anwar yang berjudul Karawang bekasi puisi ini dianggap menjiplak karya Archibald Macleish yang berjudul The Young Dead Soldier. Chairil Anwar sebenarnya telah menciptakan sajak baru sehingga terpengaruh dengan larik sajak yang dibuat Archibald Macleish. Sajak Macleish memuat sajak yang lebih umum tentang prajurit dengan nilai-nilai yang bisa diterima dimana saja. Prajurit yang mati pada sajak itu tidak terikat dengan waktu dan tempat, mereka bukan prajurit yang merebut kemerdekaan dari bangsa lain. Sebaliknya, sajak Chairil Anwar memuat sajak yang lebih khusus yang terikat antara waktu dan tempat, yakni pada waktu merebut kemerdekaan Indonesia.
Dengan demikian sajak ini tidak mengandung nilai-nilai dengan mudah bisa diterima dimana dan kapan saja, ia terikat pada sejarah. Nada yang tersirat dalam sajak Chairil Anwar itu pun jelas berbeda dengan The Young Dead Soldier. Karawang Bekasi menggambarkan suasana mengobarkan semangat perjuangan, sedangkan sajak The Young Dead Soldier memimpikan persamaian.
Berikut ini merupakan teks puisi karya Chairil Anwar dan Archibald Macleish.
KARAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bitjara padamu dalam hening di malam sepi
Djika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah tjoba apa yang kami bisa
Tapi kerdja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil Anwar (1948)

THE YOUNG DEAD SOLDIERS
The young dead soliders do not speak
Nevertheless they are heard in the still houses:
(who has not heard them?)
They have a silence that speaks for them at night
and when the clock counts.
They say,
We were young. We have died. Remember us.

They say,
we have done what we could
but until it is finished it is not done.

They say, we have given our lives
but until it is finished no one can know what our lives gave.

They say,
our deaths are not ours: they are yours
they will mean what you make them.

They say,
whether our lives and our deaths were for peace and a new hope
or for nothing
We cannot say: it is you who must say this.

They say, we leave you our deaths:
give them their meaning:
give them an end to the war and a true peace:
give them a victory that ends the war and a peace afterwards:
give them their meaning.
We were young, they say.
We have died.
Remember us.
Archibald MacLeish (1941)
Berikut beberapa bait yang mirip pada kedua sajak tersebut :
1.      (tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami?) = (who has not heard them)
2.      (kami bicara padamu dalam hening di malam sepi jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak) = (they have a silence that speaks for them at night and when the clock count)
3.      (kami mati muda. Yang ditinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami) = (they say, We were young. We have died. Remember us).
4.      (Kami sudah coba apa yang kami bisa) = (They say, we have done what we could but until it is finished it is not done).






BAB III
PENUTUP

Simpulan
       Setiap karya sastra yang lahir ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat, tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya. Karya sastra tak selamanya itu sempurna, baik puisi, novel, roman dan cerpen. Pengarangnya bisa saja melakukan epigon, mendapatkan pengaruh dari berbagai sisi, baik dari sisi pengarangnya maupun karyanya, atau bisa saja pengarang tersebut melakukan plagiat atau menjiplak dan mengakui karya orang lain sebagai karyanya sendiri.


[1] Suwardi Endraswara, Metodelogi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: bukupop, 2011), hlm. 210, Cet. 1.
[2] Ibid, hlm. 211.
[3] Ibid.
[4] Uman Rejo SS (2012), Kajian Pengaruh Dalam Sastra Bandingan (online), Tersedia: http://www.jendelasastra.com, Diunduh pada 25 Oktober 2013 pukul 14.37 WIB.
[5] Sapardi Djoko Damono, Sastra Bandingan, (Jakarta: Editum, 2005), hlm. 10.
[6] Ibid, hlm. 11.
[7] Ibid, hlm. 9.
[8] Ibid, hlm. 11
[9] Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2000), hlm. 4
[10]Bambang Kaswanti Purwo, Penulisan Akademik : Esai, Makalah, Artikel Jurnal Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi, (Bandung: Widya Aksara Press, 2010), hlm. 151, Cet. 1
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hlm. 53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar