Dari “BLOKENG” ke “KOTA TELANJANG”
Kajian Intertekstualitas: Sebuah
Kasus Transformasi
oleh: Indri Zikria Oktaviani
(1112013000060)
Abstrak
Dua
tahun yang lalu, tepatnya pada pertengahan Oktober surat kabar harian Solopos
mengumumkan pemenang lomba menulis cerpen yang diadakan satu kali setiap
tahunnya. Kota Telanjang karya Joko
Utomo resmi menjadi pemenang juara pertama Lomba Menulis Cerpen Solopos 2011.
Akan tetapi, kemenangan cerpen tersebut justru menimbulkan petaka bagi Joko
Utomo. Pasalnya, cerpen tersebut sangat mirip dengan cerpen Blokeng karya Ahmad Tohari sehingga Joko
Utomo dituduh melakukan tindak plagiat terhadap Blokeng-nya Ahmad Tohari. Berdasarkan kecurigaan tersebut, saya
bukan bermaksud menentukan apakah Joko Utomo benar-benar melakukan plagiat, karena
untuk menentukan plagiat atau tidaknya sebuah karya satra butuh proses yang
panjang. Terlebih lagi, kita tidak pernah tahu apakah pengarang tersebut
benar-benar melakukan plagiat.
Dalam
menciptakan karya sastra, pengarang tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks
sastra yang lain. Hasil dari membaca karya sastra sebelumnya dapat dijadikan
acuan dan pedoman untuk menciptakan suatu karya sastra yang lain. Menurut
Sitanggang, kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan
karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan.
Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia
menggulumi konvensi sastranya, konvensi estetikanya, gagasan yang tertuang
dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan,
karyanya sendiri.[1]
Untuk
dapat memahami perbedaan dan persamaan karya sastra dengan karya sastra yang
lain, dilakukan kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga memiliki
hubungan tertentu, misalnya menemukan hubungan unsur-unsur intrinsiknya.
Pengkajian sastra yang bermaksud menemukan hubungan persamaan dan perbedaan
antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain disebut kajian
intertekstual.[2]
Untuk melihat kemiripan gagasan yang ditawarkan dalam kedua cerpen karya Joko
Utomo dan Ahmad Tohari, saya akan menggunakan kajian intertekstual dalam
analisis saya. Tujuan kajian instertekstual kedua cerpen tersebut adalah untuk
memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Metode
intertekstual dalam analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan,
menjajarkan dan mengontraskan teks-teks sastra yang mentransformasi dari teks lain
yang merupakan teks hipogramnya.
Landasan Teori
Prinsip
intertekstualitas berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam
strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, Jaques
Derrida dan dikembangkan oleh Julia Kristeva. Prinsip ini bermakna bahwa setiap
teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang teks-teks lain.[3] Secara
khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek
tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul
lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan
makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan
sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian
makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu.[4]
Orang yang pertama kali mengemukakan konsep intertekstualitas adalah Mikhail
Bakhtin dalam bukunya The Dialogic
Imagination (1981). Bakhtin mengatakan bahwa karya sastra dilahirkan di
antara teks yang satu dengan teks yang lain. Dalam bukunya yang lain Speech Genre and Other Late Essays (1986)
Bakhtin mengatakan bahwa dalam setiap karya sastra selalu terjadi dialog antar
teks dalaman, yakni unsur-unsur yang membangun karya-sastra (intrinsik), dan
teks luaran, yakni teks kemasyarakatan (sosial), atau unsur-unsur yang ada
kaitannya dengan kehidupan pengarang.[5]
Ratna dalam Suwardi Endraswara
menyatakan penelitian intertekstual termasuk wilayah postrukturalisme.[6]
Dalam pengertian yang penting, postrukturalisme adalah sebuah pemberontakan,
sebab cara yang sangat efektif untuk memberontak adalah dengan menuduh
pendahulu kita tidak berani menyokong keyakinan mereka sendiri. Karenanya, kaum
postrukturalis menuduh kaum strukturalis tidak menindaklanjuti dari pandangan
terhadap bahasa yang mendasari sistem intelektual mereka. Kritikus sastra
postrukturalis sibuk dengan tugas mendekonstruksi teks. Proses ini diberi nama
dekonstruksi, yang secara kasar dapat didefinisikan sebagai postrukturalisme
terapan. Ia sering disebut sebagai ‘membaca di luar kebiasaan’ atau ‘membaca
teks melawan teks itu sendiri’, dengan tujuan ‘memahami teks sebab ia tak bisa
memahami dirinya sendiri’.[7]
Hipogram adalah karya sastra yang
menjadi latar kelahiran karya sastra berikutnya. Hipogram sebagai unsur cerita
(baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dan lain-lain) yang terdapat
dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra yang
dipengaruhinya. Karya berikutnya yang muncul setelah hipogram dinamakan karya
transformasi. Sajak yang menjadi latar penciptaan sajak baru oleh Julia
Kristeva mengemukakan bahwa tiap teks itu merupakan mosaik kutipan-kutipan dan
merupakan penyerapan (transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu
mengambil hal-hal yang bagus diolah kembali dalam karyanya atau ditulis setelah
melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik baik secara sadar maupun tidak
sadar. Setelah menanggapi teks lain dan menyerap konvensi sastra, konsep
estetik, atau pikiran-pikirannya kemudian mentransformasikannya ke dalam karya
sendiri dengan gagasan dan konsep estetik sendiri sehingga terjadi perpaduan
baru. Konvensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali apabila kita
membadingkan teks yang menjadi hipogram-nya dengan teks baru itu. Teks baru
atau teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram itu disebut teks
transformasi.[8]
Ulasan Singkat Blokeng dan Kota
Telanjang
Tentu
saja, tokoh utama yang mengikat keseluruhan cerita dalam Blokeng adalah Blokeng, seorang perempuan gembel dan idiot yang
tinggal di antara sampah pasar. Hampir
di setiap sudut kampung tersebut, warga terus membicarakan seputar kehamilan
Blokeng yang entah dihamili oleh siapa. Seluruh warga, baik perempuan maupun
laki-laki terlibat dalam pembicaraan tersebut. Tanpa seorang pun terkecuali,
sebab mengasingkan diri dari pembicaraan tersebut akan mengundang perhatian
seisi kampung. Kampung tersebut menjadi blingsatan. Hingga pada suatu hari
seorang hansip bertanya pada Blokeng siapa yang menghamilinya. Blokeng menjawab
bahwa orang yang menghamilinya membawa lampu senter dan memakai sandal jepit.
Lantas saja orang-orang kampung melenyapkan lampu senter dan sandal jepit dari
kampung tersebut. Lurah kampung tersebut mendengar kabar akan kampungnya yang
keblingsatan karena ulah Blokeng. Dia mencoba menyelesaikan masalah tersebut
dengan cara mengangkat Cowet, anak dari Blokeng sebagai anaknya. Namun Blokeng
mengatakan bahwa yang menghamilinya berkepala botak. Lantas seluruh laki-laki
di kampung itu berkepala botak untuk menghindari tuduhan membuntingi Blokeng.
Hampir mirip dengan Blokeng yang menceritakan tetang
kehamilan misterius perempuan kampung.
Kota Telanjang menceritakan asal-usul bagaimana kota tersebut dapat
dijuluki “kota telanjang”. Berawal dari kehamilan Miring, yang mengalami
gangguan mental sejak sepuluh tahun setelah ditinggal mati kedua orangtuanya.
Kehamilan Miring jelas mengundang desas-desus di setiap kediaman warga dan
menimbulkan kecurigaan terhadap seluruh laki-laki yang mendiami kampung
tersebut. Semua warga saling mencurigai satu sama lain, saling bergosip, saling
bertanya-tanya laki-laki mana yang sudi menghamili perempuan gila itu. Hingga
pada suatu hari Pak Lurah menanyakan kepada Miring siapa sebenarnya ayah dari
bayi yang dikandungnya. Miring tertawa lalu memberikan semacam petunjuk atau
ciri-ciri orang yang menghamilinya. Setiap hari Pak Lurah menanyakan hal yang
sama, namun setiap pertanyaan yang diajukan, Miring menjawab dengan tertawa
terlebih dahulu baru kemudian menjawab dengan jawaban yang berbeda setiap
harinya. Orang yang menghamilinya yaitu orang yang berpeci, berjaket, dan
memakai baju serta celana. Lantas seluruh warga di kampung tersebut melepas
peci, melepas jaket, melepas baju serta celana mereka untuk menghindari tuduhan
menghamili si Miring. Setiap harinya dan seterusnya seluruh warga melepaskan
peci, jaket, kaos serta celananya. Bapak Bupati yang mendengar kabar tersebut
langsung turun tangan mengunjungi kampung itu. Ia bingung karena semua warga
telanjang bulat. Miring yang melihat kedatangan Bapak Bupati tersebut turut
memberitahu Bapak Bupati bahwa orang yang menghamilinya yakni orang yang
berpeci, berjaket, dan memakai baju serta celana. Demi menutup rasa malu dan
takutnya segera dilepas semua benda yang melekat di badannya. Ibu Bupati yang
melihat suaminya melakukan hal seperti itu, turut melakukan hal yang sama demi
kesetiaannya. Dan akhirnya, semua warga di kecamatan tersebut baik laki-laki,
perempuan, tua, muda, anak-anak terbiasa menjalani hari-hari mereka dengan
bertelanjang bulat. Begitulah alasan mengapa kota tersebut dijuluki “kota
telanjang”.
Blokeng
merupakan salah satu cerpen karya Ahmad Tohari yang dibukukan dalam kumpulan
cerpen Senyum Karyamin yang terbit
pada tahun 1989 dan memiliki 71 halaman. Pengarang yang menetap di desa
Tinggarjaya, kecamatan Jatilawang, kabupaten Banyumas ini terkenal akrab dengan
rakyat lapisan bawah. Tidak heran jika karya-karyanya selalu berpihak pada
orang-orang desa yang lugu, bodoh, sengsara, menderita, dan kerap kali tabah
dalam menghadapi kesenjangan hidupnya. Tohari selalu mempersoalkan betapa
semerawutnya kehidupan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Hal ini terbukti
dalam Senyum Karyamin yang
jelas-jelas mengangkat ketimpangan sosial yang disampaikan dengan nada
mengkriktik. Kritik masyarakat bawah terhadap atasannya, kritik rakyat terhadap
pemerintah, bahkan berbagai kritik sosial dilontarkan dalam kumpulan cerpen
tersebut.
Penyajian Kota Telanjang memang berbeda dengan Blokeng, namun perihal apa yang ingin disampaikan Joko Utomo
sepertinya sama dengan yang ingin disampaikan Ahmad Tohari. Joko Utomo bukanlah
sastrawan terkenal seperti Ahmad Tohari. Beliau beserta Kota Telanjang-nya menjadi pemenang juara pertama Lomba Menulis
Cerpen Solopos pada tahun 2011 silam. Kemenangannya ternyata mendapat tuduhan
bahwa Kota Telanjang memplagiat Blokeng. Tuduhan tersebut memang cukup
beralasan karena dapat kita lihat bahwa Joko adalah pengarang pemula. Jalan
cerita Kota Telanjang pun mirip
dengan jalan cerita Blokeng sehingga
pembaca yang lain pun akan beranggapan demikian setelah membaca kedua karya
tersebut. Akan tetapi seperti yang saya katakan di awal, saya tidak membahas
kasus tersebut. Setelah membaca Kota
Telanjang, dapat diambil kesimpulan bahwa ide dan gagasannya memang mirip,
tetapi Joko Utomo menyajikan dengan konsep awal yang berbeda. Sangat jelas
terlihat bahwa Ahmad Tohari menciptakan Blokeng
dengan maksud mengkritik pemerintah yang tidak peduli dengan rakyat bawah.
Namun apa yang ingin disampaikan Joko jika melihat cerpennya, sebenarnya
hanyalah cerpen biasa, yang ingin menjelaskan mengapa kota tersebut dijuluki
sebagai “kota telanjang”. Tidak ada maksud kritikan, sindiran, atau ironi dan
semacamnya seperti yang dilakukan Ahmad Tohari dengan Blokeng-nya. Hanya saja peristiwa-peristiwa yang terjadi dan
karakter para tokoh di dalam Kota
Telanjang sama persis dengan apa yang ada di dalam Blokeng.
Sebuah Transformasi
Blokeng
dan Kota Telanjang, kedua cerpen ini
sama-sama mengisahkan sosok perempuan desa yang memiliki gangguan mental dan
dihamili tanpa kejelasan. Setelah membaca secara keseluruhan, kedua cerpen ini
memiliki kesamaan ide dan gagasan. Bukan hanya itu, setting dan karakteristik
tokoh yang disajikan kedua cerpen ini pun sama. Lantas, dapatkah kita
mengatakan bahwa salah satu di antara keduanya merupakan hasil plagiat atau jiplakan?
Ditinjau dari segi filologis, hubungan yang ditunjukkan persamaan-persamaan tersebut
memang disebut tiruan atau jiplakan bahkan plagiat, tetapi dari segi
intertekstual, selama batas-batas orisinalitas, peniruan tersebut disebut kreatifitas.
Menurut Ratna, kemampuan mengadakan intertekstualitas termasuk salah satu
bentuk orisinalitas karena tidak dimiliki setiap orang. Dengan demikian, dalam
kajian intertekstual, tidak ditemukan peniruan atau jiplakan, melainkan bentuk
transformasi dari teks-teks terdahulu.[9] Sehingga
dapat dikatakan bahwa salah satu dari kedua cerpen tersebut bertransformasi
dari cerpen sebelumnya.
Kehadiran suatu karya sastra tidak
dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra sebelumnya, yang pernah
direspon oleh sastrawan. Pengarang tidak semata-mata memproduksi karya, tetapi
terlebih dahulu juga merespon sebuah karya. Dari proses resepsi pengarang
memiliki langkah pijak untuk mereproduksi karya yang baru. Jadi, pengarang
tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, pengarang mampelajari
gagasan yang tertuang dalam karya itu, memahami konvensi sastranya, konvensi
estetiknya, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karya sastra. Sekiranya
inilah yang dilakukan Joko Utomo terhadap karya Ahmad Tohari. Dalam Kota Telanjang-nya, Joko terlihat cukup
piawai mengembangkan gagasan-gagasan yang dilontarkan Ahmad Tohari. Ia
memodifikasi Blokeng sebaik mungkin
sehingga dalam Kota Telanjang terjadi
pergeseran tema.
Berkaitan dengan apa yang terkandung
di dalam kedua cerpen ini, Blokeng dan
Kota Telanjang memang mengandung
pesan moral yang cukup menggugah para pembacanya. Sikap kita sebagai yang
“normal” hendaknya mampu memberikan rasa aman kepada mereka yang “abnormal”,
seperti Blokeng ataupun Miring. Jika ditelusuri secara tekstual, pesan moral
tersebut memang ada dalam Kota Telanjang,
namun tidak sesempurna pesan yang ada di Blokeng.
Sesuai dengan dugaan saya mengenai tujuan Kota
Telanjang diciptakan, Joko Utomo menghadirkan pesan moral yang sengaja
disamakan dengan Blokeng. Hanya saja,
ia mengubah hal-hal tertentu yang ada di Blokeng
agar kedua cerpen ini tidak sama persis.
Blokeng
dituturkan menggunakan sudut pandang orang pertama. Kisah disampaikan secara
runtut dari awal hingga akhir lewat sudut pandang narator “aku” dalam cerita
tapi bukan tokoh utama. Keberadaan “aku” hanya sebagai saksi dari tokoh utama.
“Aku” adalah narator yang menceritakan kisah yang dialami tokoh Blokeng yang
menjadi tokoh utama. Dalam beberapa bagian juga terlihat adanya dialog para
tokoh yang turut menjelaskan peristiwa-peristiwa dalam cerpen tersebut. Cerita
dibuka dengan penggambaran keadaan sebuah kampung yang penuh misterius saat
Blokeng diketahui hamil dan melahirkan seorang anak. Adapun setting suasana
yang terdapat dalam Blokeng adalah
menggambarkan suasana yang penuh kecurigaan di kampung tersebut karena
kehamilan Blokeng yang misterius. Tidak jelas siapa bapak dari bayi di
rahimnya.
Blokeng digambarkan sebagai
perempuan yang mempunyai gangguan secara mental namun normal secara biologis
dan perwatakannya sedikit misterius. Hal ini ditunjukkan dalam cerita bahwa ia
tidak paham apa itu polisi tetapi ia bisa hamil layaknya perempuan pada
umumnya, ia juga tidak mau menjawab pertanyaan Hansip, siapa ayah dari bayi
yang dikandungnya. Hansip tersebut gemar menggosip sambil ronda. Hingga pada
akhirnya kejadian tersebut sampai ke telinga Lurah Hadining beserta istrinya
dan beliau berniat menyelesaikan masalah di kampungnya itu. Lurah Hadining
cukup bijaksana karena ia bisa menyelesaikan masalah Blokeng, bisa menghapus
bisik-bisik yang ada di kampungnya dengan mengangkat Blokeng beserta anaknya.
Adapun Bu Lurah yang turut serta membantu proses penyelesaian masalah tersebut
dengan sangat bijaksana, karena ia dengan ikhlas berusaha mengangkat Blokeng
dan anaknya.
Kota Telanjang disajikan
berbeda dengan Blokeng. Joko menggunakan sudut pandang orang ketiga dalam
menampilkan cerpen ini. Kisah disampaikan berurutan lewat sudut pandang narator
yang dalam karyanya seperti Tuhan, yang mengetahui segala hal tentang semua
tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motif. Dengan menggunakan “dia-an”,
narator bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lain. Bahkan, narator bebas
mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan para tokohnya. Selain orang
ketiga, cerita juga disampaikan lewat dialog antar tokoh. Cerita dibuka dengan
penjelasan siapa sebenarnya Miring dan bagaimana perjalanan hidupnya yang
membuat kota tersebut dijuluki sebagai “kota telanjang”. Adapun setting suasana
yang terdapat dalam Kota Telanjang
sama seperti Blokeng, penuh
kecurigaan di mana-mana karena kehamilan Miring si perempuan gila itu.
Sama
halnya seperti Blokeng, Miring pun digambarkan dalam cerpen ini sebagai
perempuan yang gila sejak kecil karena ditinggal mati kedua orang tuanya. Saat
ditanya oleh Pak Lurah perihal siapa yang menghamilinya, Miring hanya tertawa
cekikikan. Pak Lurah di dalam Kota
Telanjang memiliki peran yang sama seperti Hansip di dalam Blokeng. Hingga
suatu hari kejadian tersebut sampai ke telinga Bapak Bupati. Mendengar kabar
bahwa ada kampung yang penduduknya telanjang bulat semua, Bapak Bupati langsung
mendatangi lokasi kejadian. Dalam cerpen ini, Bapak Bupati tidak memiliki
kepribadian yang bijaksana karena ia tidak dapat menyelesaikan persoalan yang
terjadi. Justru Bapak Bupati tersebut ikut serta bertelanjang bulat demi
menahan rasa gengsi dan takut dituduh menghamili Miring. Istri dari Bapak
Bupati pun turut melepas seluruh pakaiannya demi kesetiaannya pada Bapak
Bupati.
Ada
kaitan langsung antara fungsi moralis dan teknik naratif. Kota Telanjang diceritakan dengan teknik auctorial, yaitu pencerita
berlaku selaku tokoh serbatahu yang bebas mutlak menyajikan apa saja, baik
kejadian luar maupun dari perasaan dan pikiran tokoh-tokohnya. Namun, pencerita
Kota Telanjang relatif obyektif dan
tidak melibatkan diri dalam cerita. Beberapa contoh tentang teknik naratif akan
diberikan untuk memperlihatkan bagaimana cerita ini disajikan. Tentang nasib
Miring dan sikap warga kampung terhadapnya: “Beberapa penduduk yang menyertai Pak Lurah menjadi hilang kesabarannya.
Mereka menjambak rambut Miring yang sebelumnya sudah awut-awutan”. Tentang
tingkah laku Miring: “Esok paginya ketika
warga mau mengawali kehidupannya, Miring datang lagi. Kembali dia mengeluarkan
pernyataan yang selalui didahului dengan tawa yang sangat khas”.
Dari
segi teknik naratif, Blokeng hampir
sama dengan Kota Telanjang. Sering
kali pembaca dihadapkan langsung pada keadaan kampung yang pongah, penuh
blingsatan. Tiap-tiap peristiwa yang diuraikan si pencerita menunjukkan kesamaan,
khususnya tingkah laku warga yang mendadak berubah atau menghilangkan sesuatu
dalam kampung tersebut, guna menghindari tuduhan. Pencerita pun seakan-akan
tahu segala hal yang terjadi di dalam cerita ini dan ikut terlibat dalam
kepongahan kampung tersebut, karena memang sudut pandang yang digunakan
menggunakan “aku-an”. Hal ini memungkinkan bahwa pencerita benar-benar
mengalami tiap peristiwa yang terjadi di dalam sebuah cerita.
Dalam
Blokeng sangat minim dialog, hanya
terjadi di beberapa kesempatan, selebihnya pencerita menuturkan segala
sesuatunya. Berbeda dengan Kota Telanjang
yang lebih banyak dialog daripada penuturan si pencerita. Tidak heran jika
naskah Blokeng lebih panjang bila di bandingkan
dengan naskah Kota Telanjang. Di
akhir cerita, Joko Utomo tidak menuntaskan ceritanya; tidak ada peristiwa yang
menceritakan kelahiran anak Miring. Ini berarti terjadi upaya pemotongan di
bagian akhir. Berbeda dengan Blokeng yang
sedari awal telah menceritakan tentang kelahiran anak dari Blokeng, Ahmad Tohari
menuntaskan cerita meskipun terkesan menggantung karena tidak diketahui siapa
pelaku perbuatan bejat tersebut.
Setelah
ditelusuri, Joko Utomo melakukan pengubahan-pengubahan terhadap Blokeng. Pengubahan yang pertama yaitu
perihal nama dari tokoh utama; perempuan penderita gangguan mental yang
dihamili entah oleh siapa. Dalam Blokeng tokoh
utamanya yakni Blokeng, sedangkan dalam Kota
Telanjang yang menjadi tokoh utama yakni Miring. Pengubahan yang kedua
yaitu perihal peran tokoh dalam cerita. Dalam Blokeng, tokoh Hansip yang berperan untuk menginvestigasi perihal
siapa yang menghamili Blokeng, sedangkan dalam Kota Telanjang, tokoh Hansip digantikan sebagai Pak Lurah yang
perannya sama dengan tokoh Hansip, menginvestigasi si Miring. Pengubahan yang
ketiga yakni mengenai karakteristik tokoh utama. Blokeng adalah perempuan yang
memang mengalami gangguan jiwa (gila), sedangkan Miring merupakan perempuan
yang mengalami keterbelakangan mental (idiot).
Tampak
sekali bahwa dalam kedua cerpen ini mengangkat suatu realita sosial dimana rasa
saling menghormati, saling melindungi dan saling menyayangi sesama manusia
tidak lagi menjadi perhatian khusus. Masyarakat yang kuat harusnya melindungi
yang lemah, namun kali ini mereka secara terang-terangan mengintimidasi seseorang
tanpa memperhatikan martabat kemanusiaan. Dalam Blokeng dikatakan “Tuduhan membuntingi Blokeng, di luar segala
urusan hukum atau norma lainnya, dianggap sebagai perilaku primitif yang paling
tidak bermartabat”. Terlihat dalam kutipan Blokeng tersebut, Blokeng dianggap sebagai perempuan yang tidak
memiliki martabat karena dia tinggal bersama onggokan sampah pasar. Sedangkan
dalam Kota Telanjang dikatakan “Pak Lurah menjadi hilang kesabarannya.
Mereka menjambak rambut Miring yang sebelumnya sudah awut-awutan”. Sungguh
betapa mengerikannya moral bangsa kita ini yang semena-mena terhadap individu
seperti Blokeng dan Miring.
Kedua cerpen tersebut
menggambarkan bagaimana rasa saling percaya terhadap sesama musnah dengan
perlahan. Ketika manusia dihadapkan pada persoalan hidup harusnya mereka
berdiskusi guna menemukan jalan keluar dari masalah tersebut. Berseberangan
dengan apa yang dilakukan warga terkait masalah yang timbul di lingkungan
mereka, timbul rasa curiga yang berlebihan dan saling tuduh antar sesama warga.
Seperti tampak pada kutipan berikut:
“...Aku tak boleh berkata apa-apa. Kalau mulutku
bocor dia akan memukulku dangan ini,” kata Blokeng sambil menggamit lampu
senter pak hansip.
“Jadi ayah bayimu datang ke sarang ini membawa
senter? Dia lelaki yang mempunyai senter?”
“Mbuh.”
Maka keesokan
hari tersiar berita: ayah bayi Blokeng adalah seorang lelaki yang memiliki
lampu senter. Kampungku yang pongah kemudian memperlihatkan gejala aneh.
Lampu-lampu senter lenyap. Yang berjalan malam hari lebih suka memilih suluh
untuk penerangan. Ronda malam dan hansip kena marah karena mereka menjaga
kampung hanya menggunakan korek api, bukan lampu baterai. Tetapi lampu senter
terus menghilang dari kampungku yang pongah.”[10]
“...Aku sering ditemui orang yang selalu mengenakan
peci dan mengajak aku guling-gulingan di pinggir kali.”
Sontak semua
jadi terkejut mendengar perkataan lugas dari Miring. Pak Lurah yang saat itu
sedang mengenakan peci langsung melepas benda legam yang terbuat dari kain
beludru di kepalanya. Mukanya merah padam. Namun dia tetap mampu memamerkan
kewibawaannya sebagai kepala desa. Warga lain yang mendengar cerita itu dari
mulut ke mulut juga tidak ada yang mau mengenakan pecinya lagi.”[11]
Kutipan
tersebut menggambarkan tidak adanya lagi rasa percaya terhadap diri sendiri dan
terhadap sesama manusia. Dengan bersikap seolah-olah tidak tahu apa-apa atau
menyembunyikan sesuatu yang ada kaitannya dengan masalah yang dihadapi,
dianggap sebagai suatu penyelesaian masalah.
Keadaan
sosial masyarakat yang pongah dan sombong sekaligus memandang martabat manusia
secara semena-mena menjadi karakter demikian dalam Blokeng dan Kota Telanjang.
Setiap tokoh memiliki karakter yang mencerminkan keadaan dimana tidak ada lagi
rasa saling memiliki antar sesama. Blokeng dan Miring meskipun dengan
keadaannya yang memprihatinkan pada dasarnya mereka juga memiliki hak yang sama
dalam kehidupan bermasyarakat, mereka juga mampunyai hak untuk dihormati
sebagai anggota masyarakat.
Saya
masih meragukan apakah cerita dalam Blokeng
adalah cerita nyata atau hanya sekeedar fiksi. Namun jika kita lihat siapa
Ahmad Tohari, rasa-rasanya Blokeng memang
pernah ada di suatu tempat yang mungkin karakteristik penduduknya sama seperti
yang digambarkan Ahmad Tohari dalam cerpennya. Bagi orang yang tertarik oleh
masalah kaitan antara kenyataan dan rekaan, antara fakta dan fiksi, Kota Telanjang dan Blokeng cukup menarik. Penggambaran suasana sebuah kampung yang
berusaha menghindari tuduhan telah menghamili perempuan yang akalnya kurang
sempurna, amat menggelikan dan cukup menghibur. Warga yang rela menggunakan
bakiak, membiarkan diri dalam kegelapan tanpa senter, menggunduli kepala
mereka, melepas seluruh pakaian yang menempel ditubuh mereka. Hal yang patut
diperbincangkan, segitu parahnya moral warga-warga yang tidak bisa menemukan
jalan keluar, justru mereka hanya berusaha masing-masing menghindari tuduhan
demi tuduhan.
Kepengarangan
Tidak
hanya dalam Blokeng, ciri khas
karya-karya besar Ahmad Tohari selalu mengangkat budaya lokal dalam masyarakatnya.
Hal ini menunjukkan bahwa Ahmad Tohari memanglah seorang sastrawan yang cukup
piawai dalam merangkai kata menjadi suatu rangkaian cerita yang menarik untuk
dibaca. Melalui karya-karyanya, Ahmad Tohari bermaksud untuk mengajak pembaca
untuk melihat dan merenungi suatu peristiwa dalam cerita yang diambil dan suatu
peristiwa yang nyata. Dalam Senyum Karyamin
Tohari menyodorkan kenyataan sosial yang terjadi di lingkungan kita. Hal ini
terjadi karena Tohari termasuk golongan yang peka terhadap permasalahan sosial
yang berkembang di lingkungannya. Kenyataan tersebut dibeberkan agar para
golongan atas mengadakan perubahan. Pergeseran nilai sosial yang berubah
menjadi kebobrokan moral dipaparkan dalam cerpen Blokeng. Cerpen ini menggambarkan ketidakpedulian masyarakat
terhadap penderitaan tokoh Blokeng (gadis tidak normal) yang telah hamil tanpa diketahui siapa yang
menghamili. Tentunya sekaligus menggambarkan pemimpin yang tidak peduli dengan
rakyat bawah.
Senyum
Karyamin, begitulah judul yang menjadi bagian depan dari kumpulan cerpen
Ahmad Tohari. Bagian penutup kumpulan cerpen tersebut diisi oleh Sapardi Djoko
Damono. Menurut Damono, Tohari rupanya memiliki sesuatu yang penting yang harus
disampaikan kepada kita. Beberapa contoh masalah dalam masyarakat, yang
diangkat dalam cerpen-cerpennya, kadang berfungsi sebagai lambang masalah lain
yang mengatasi kehidupan sehari-hari. Bila dilihat dari judulnya, Senyum Karyamin agaknya menyuratkan
makna yang ingin diangkat dalam cerpen-cerpen di dalamnya, termasuk Blokeng. Senyum sebagai lambang dari
usaha menerima nasib, bahkan menertawainya, karena apa boleh buat. Dan dalam
hampir 13 cerpen, “senyum” itu ada.
Sama
halnya dalam Blokeng. Ia seorang
wanita muda yang melahirkan. Tak ada bapak yang sah dari bayinya. Andai Blokeng
bukan wanita yang terkucilkan dari masyarakat, mungkin peristiwa itu biasa
saja. Satu kampung gerah, jadinya. Tapi Blokeng tetap diam. Bahkan tertawa
ketika masing-masing lelaki berulah agar tak disangka sebagai bapak si bayi.
Dalam semua cerpennya itu ahmad tohari hampir selalu mengajukan ironi ke
hadapan pembaca. Ada sesuatu yang tertinggal dan mengganjal kesadaran kita
sebagai pembacanya. Pada cerpen Blokeng,
akhir cerita terkesan dipaksa; Ahmad Tohari memaksa para pembaca untuk mengejek
dunia rekaannya itu dengan tertawa keras. Akibatnya, Ahmad Tohari tampak
sebagai pemberi nasihat secara berlebihan.
Mengenai
Joko Utomo, saya tidak mempunyai informasi tentang seluk beluk riwayat hidup
beliau. Saya juga tidak mendapatkan informasi karya-karya apa saja yang ia
ciptakan selain Kota Telanjang ini.
Dari informasi yang saya dapatkan, Joko Utomo telah di Blacklist dari kolom
cerpen Solopos seumur hidup dikarenakan Kota
Telanjang telah memplagiat Blokeng-nya Ahmad Tohari. Itulah yang
menyebabkan kepengarangan Joko Utomo sangat sulit untuk saya dapatkan. Namun,
cara Joko mengembangkan ide cerita pada awalnya memang lumayan kreatif, ia
telah berusaha memodifikasi Blokeng sehebat
mungkin, hanya saja saat mengakhiri Kota
Telanjang, Joko terlalu liar. Bupati dan Istrinya digambarkan telanjang
bulat, sedangkan dalam Blokeng satu
kampung gundul semua. Sebenarnya dengan kegundulan saja sudah absurd, hanya
ditemukan dalam cerpen sebagai realita cerpen tersebut.
Bakat
kepengarangan Joko Utomo sebenarnya hebat, harusnya ia diberi lahan yang subur
dan bagus untuk mengembangkan kreatifitasnya. Ide yang dimiliki Ahmad Tohari
dalam Blokeng memang sangat brilian.
Namun harus sama-sama kita ketahui bahwa ide tersebut memiliki kemungkinan
pengembangan ke segala arah. Nampaknya hukuman yang dijatuhkan Solopos terlampau
berat. Andai saja Blokeng diberikan
kepada para mahasiswa, hal serupa pasti akan terjadi; kemiripan ide.
Dalam
menyajikan Blokeng, dapat ditafsirkan
bahwa Ahmad Tohari menicptakan cerpen tersebut berdasarkan pengalaman atau
pengamatanya terhadap lingkungan disekitarnya. Akan tetapi, sepertinya cerita
tersebut memang sengaja tidak diselesaikan alias menggantung sehingga pembaca
bebas mengakhirinya seperti yang mereka pikirkan. Pada suatu acara ngopi siang,
disebuah universitas negeri, ada seorang
peserta yang bertanya bahwa siapa sebenarnya ayah dari bayi yang dikandung
Blokeng. Akan tetapi, Ahmad Tohari tetap merahasiakannya dan berkata kita tidak
perlu tahu siapa ayah dari bayi Blokeng. Dan pertanyaan itu pasti akan selalu
melintasi benak pembaca ketika pembaca tersebut membaca blokeng. Itulah misteri
dalam blokeng yang masih menjadi teka-teki dan tanda tanya dibenak pembaca.[12]
REFERENSI
Barry, Peter. 2010. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya.
Yogyakarta: Jalasutra.
Endraswara,
Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian
Sastra Bandingan. Jakarta: bukupop.
Moehiddin, Ilham Q. 2013. Dugaan Plagiarisme: Transformasi Blokeng
menjadi Kota Telanjang (online). Tersedia: http://www.facebook.com
. Diunduh pada 16 November 2013 pukul 13.23 WIB.
Natamarga, Rimbun. 2013. Review of Senyum Karyamin (online).
Tersedia: http://www.goodreads.com.
Diunduh pada 21 November 2013 pukul 16:19 WIB.
Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia.
Ratih,
Rina. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: PT Hanidita Graha Widia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra:
dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sitanggang, S. R. H. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra
Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Teeuw,
A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra.
Jakarta: Gramedia.
Tohari,
Ahmad. 1989. Senyum Karyamin.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[1] S. R. H.
Sitanggang, Antologi Esai Sastra
Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2003), hlm. 81.
[2] Burhan Nurgiantoro,
Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2000), hlm. 50
[3] Rina
Ratih, Metodologi Penelitian Sastra,
(Yogyakarta: PT Hanidita Graha Widia, 2001), hlm. 136
[4] A. Teeuw,
Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta:
Gramedia, 1983), hlm. 62-65
[5] Suwardi
Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra
Bandingan, (Jakarta: bukupop, 2011), hlm.200
[6] Ibid, hlm. 197
[7] Peter
Barry, Beginning Theory: Pengantar
Komprehensif Teori Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm.
82
[8] Rachmat
Djoko Pradopo, dkk, Metodologi Penelitian
Sastra, (Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia, 2001), hlm. 126
[9] Nyoman
Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik
Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 175
[10] Ahmad
Tohari, Senyum Karyamin (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm. 30
[11] Ilham Q
Moehiddin, Dugaan Plagiarisme:
Transformasi Blokeng menjadi Kota Telanjang (online), tersedia: http://www.facebook.com , diunduh pada 16 November
2013 pukul 13.23 WIB
[12] Rimbun
Natamarga, Review of Senyum Karyamin
(online), tersedia: http://www.goodreads.com,
diunduh pada 21 november 2013 pukul 16:19 WIB
online casino | Agen Slot Pragmatic Play - Aztec dan Slot
BalasHapusOnline 더킹카지노 Casino, Play Online, 온카지노 Agen Slot 우리카지노 Pragmatic Play, Casino Games, No deposit, Bonus.