Amir Hamzah, lahir di
Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, 28 Februari 1911, dan meninggal dalam
“revolusi sosial” di Kuala Begumit, Sumatera Utara, 20 Maret 1946.[1] Suatu
kenyataan yang tak terpungkiri bahwa Amir Hamzah memang seorang tokoh penyair
masa sebelum perang (Pujangga Baru) yang berpera penting di dalam memberikan
bentuk baru terhadap bahasa perpuisian modern di Indonesia. Di antara rekan-rekan
seangkatannya seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan
lain-lain, hanya Amir Hamzah penyair yang tidak punya minat terhadap
kecenderungan progresif tentang sintese antara Timur dan Barat. Selaku penyair
yang diasuh dan dibesarkan oleh suasana lingkungan Melayu, wajarlah bila
orientasi budaya yang dimilikinya lebih bertumpu dan berakar kuat kepada corak
kesusastraan negeri-nya yakni Tanah
Melayu. Bagi Amir Hamzah, tentu dengan menggali akar kesusastraan Melayu pada
gilirannya menguak kemungkinan terciptanya khazanah kesusastraan Indonesia yang
murni dan langgeng.[2]
Puisi-puisi Amir Hamzah lahir dari pengalaman dunia
batinnya yang penuh gejolak dan guncangan. Puisi memang mengekspresikan
pengalaman seorang penyair, yang oleh pengalamannya yang dahsyat seringkali
terombang-ambing antara kebahagiaan dan kesedihan, antara suka dan duka, antara
kegembiraan dan kepedihan. Semua pengalaman dahsyat selalu mendesak untuk
diekspresikan. Namun dalam kasus Amir Hamzah, puisi-puisinya lahir pertama-tama
atas kesadaran penuh sang penyair atas bahasa dan sastranya sendiri, atas
kecintaan pada tradisi sastranya yang sudah relatif tua dan kini menghadapi
tantangan baru. Itulah sebabnya Amir Hamzah mengekspresikan berbagai
pengalamannya yang penuh guncangan dalam bahasa ibunya.[3]
Pengalaman
patah cinta penyair Amir Hamzah justru melahirkan beberapa puisi ratapan dan
puisi cinta yang indah. Sehubungan dengan cinta dan puisi-puisi Amir Hamzah,
apa yang penting adalah sikap penyair terhadap cintanya yang kandas, atau cara
penyair mengatasi rasa sakitnya yang pastilah tak tertanggungkan. Penyair
mencoba meredam sakit luka hatinya yang kelewat berat. Sejalan dengan pengaduan
penyair kepada Tuhan, dia menyikapi badai yang menghantam perasaannya sebagai
takdir yang mesti diterima dengan lapang. Ia tak lain merupakan ketentuan
Tuhan, dan menghadapi ketentuan Tuhan yang berat, tak ada sikap lebih baik
daripada menerimanya dengan tulus-ikhlas. Kirasanya sikap inilah yang
menguatkan hati Amir Hamzah sekaligus membuka pintu-pintu pencerahan batinnya yang
nyaris gelap dan keruh. Menghibur hatinya yang remuk-redam, penyair mencoba
meringankan beban batinnya sendiri (“Senyum Hatiku, Senyum”).[4]
Senyum
hatiku, senyum
Senyum
hatiku, gelak
Dukamu
tuan, aduhai kulum
Walaupun
hatimu rasakan retak
Bait
pertama menunjukkan betapa penyair mencoba meredam segenap kekecewaan dan
kehancuran hatinya akibat cintanya yang tak terbalaskan. Ia memaksa hatinya
sendiri untuk terus tersenyum, tertawa sekencang-kencangnya. Menahan dan
menelan dukanya, sebisa mungkin penyair lakukan meskipun hatinya retak.
Terlihat kedewasaan penyair dalam menghadapi cintanya yang bermasalah, yang
berusaha mengubur rasa sakit hatinya dan tetap mencoba tersenyum.
Benar
mawar kembang
Melur[5]
mengirai kelopak
Anak
dara duduk berdendang
Tetapi, engkau,
aduhai fakir[6],
dikenang orang sekali pun tidak
Pada bait kedua,
penyair mengekspresikan “kehadiran” dirinya yang tiada berbekas serta membandingkannya
dengan kehadiran objek alam. Sekuntum mawar, melati, serta anak gadis yang duduk
berdendang, menggambarkan betapa indahnya dan betapa berartinya kehadiran
mereka di alam ini. Sedangkan penyair itu sendiri, tidak dikenang orang
sekalipun. Bunga-bunga nan indah itu, menjadi perbandingan akan kehadiran
dirinya yang ia sebut sebagai fakir. Serba kekurangan, miskin, dan tak pantas
dipuji orang, apalagi untuk dikenang.
Kuketahui,
tekukur sulang-menyulang[7]
Murai
berkicau melagukan cinta
Tetapi
engkau aduhai dagang[8]
Umpama
pungguk merayukan purnama
Pada
bait ketiga, penyair membandingkan kehadiran
dirinya dengan burung. Tekukur yang kerap hidup berpasang-pasangan,
saling beradu-paruh, berganti-ganti. Burung Murai yang dengan kicauannya
menyanyikan lagu cinta, terlihat bahagia. Berseberangan dengan dirinya yang
hidup sebagai seorang pengembara, yang tak mungkin bernasib sama seperti burung
Tekukur dan Murai. Bagaikan pungguk merayukan purnama; bagai pungguk merindukan
bulan, yang berarti tak mungkin bagi dirinya mengharapkan balasan cinta dari
orang yang dicintainya.
Sungguh
matahari dirangkum segara[9]
Purnama
raya dilingkung bintang
Tetapi
engkau wahai kelana[10]
Siapa
mengusap hatimu bimbang?
Pada
bait kelima, penyair menggunakan isi langit sebagai perbandingan dengan
dirinya. Sangat terlihat bagaimana kecemburuan penyair akan kehidupan isi
langit yang penuh kehangatan. Matahari dipeluk oleh lautan serta bulan yang
dikelilingi bintang-bintang membuat penyair iri. Dirinya hanyalah pengembara,
seorang diri tak berkawan. Jika matahari memliki lautan yang kerap memeluknya
kapanpun dan bulan memiliki bintang yang setia mendampinginya, maka si penyair?
Tak ada yang menghibur hatinya dikala bimbang, kala hatinya sedih.
Diam
hatiku, diam
Cobakan
ria, hatiku ria
Sedih
tuan, cobalah pendam
Umpama
di sekam, api menyala
Lagi-lagi, pada bait ini penyair kembali mencoba
mendamaikan hatinya atas laranya kenyataan yang ia hadapi. Layaknya pada bait
pertama, penyair kembali mengontrol hatinya agar diam dan tetap riang. Tetap,
tak ingin terlihat sedih dan memendam segala lukanya. Menyembunyikan segala
perasaannya, meskipun sakit dan tersiksa; umpama di sekam, api menyala.
Mengapakah
rama-rama boleh bersenda
Alun
boleh mencium pantai
Tetapi
beta makhluk utama
Duka
dan cinta menjadi selampai[11]
Pada bait
keenam, penyair mengekspresikan adanya ketidakadilan atas keberadaannya sebagai
makhluk utama atau manusia yang katanya merupakan makhluk paling sempurna.
Ketidakadilan? Kupu-kupu boleh bersenda gurau, merasakan kebahagiaan. Ombak
boleh mencium pantai sesukanya. Mereka masing-masing memiliki kebahagiaannya
tersendiri. Sedangkan si penyair tidak merasakan hal yang sama. Jika kupu-kupu
dan ombak, yang bukan makhluk utama bisa merasakan kebahagiaan, mengapa si
penyair tidak bisa? Duka dan cinta tak lagi dapat dibedakan, menjadi selampai;
membebankan dirinya.
Senyap,
hatiku senyap
Adakah
boleh engkau merana
Sudahlah
ini nasib yang tetap
Engkau
terima di pangkuan bunda
Pada bait
terakhir, penyair mengatakan bahwa hatinya kini sunyi. Ia juga bertanya apakah
pantas ia merana atas takdirnya itu. Penyair tidak menyalahkan siapapun, justru
ia kembali kepada Tuhannya, pasrah akan nasibnya, merupakan jalan terakhir yang
dipilih penyair. Lagi, ini menunjukkan kedewasaan penyair dalam menghadapi
masalahnya, karena memang segalanya akan kembali kepada-Nya.
Sebagai sebuah puisi, ciri-ciri yang dapat dilihat secara
sepintas dari bentuk puisi adalah perwajahannya (tipografi). Perwajahan adalah
pengaturan dan penulisan kata, larik, dan bait pada puisi.[12]
Dalam puisi Amir Hamzah yang berjudul Senyum
Hatiku, Senyum, dapat kita lihat bahwa puisi ini terdiri dari tujuh bait
yang setiap baitnya terdiri dari empat larik/baris. Apabila kita amati secara
seksama, kita akan menemukan bahwa puisi ini memiliki warna yang masih terasa
kental pengaruh puisi lamanya seperti pantun. Hampir seluruh bait dalam puisi
ini, jika diperhatikan memiliki perwajahan yang sama dengan pantun. Jumlah
larik dalam bait yang terdiri dari empat buah, jumlah suku kata dalam tiap
larik yang terdiri dari delapan sampai dua belas suku kata, dan bentuk
perwajahan rimanya yang berumuskan a-b-a-b.
Berdasarkan letak rimanya, seluruh bait pada puisi karya
Amir Hamzah ini menggunakan rima silang, yaitu rima yang baris/larik pertamanya
bersajak dengan baris/larik ketiga dan baris/larik kedua bersajak dengan
baris/larik keempat (a-b-a-b). Pada bait keenam, penyair menggunakan rima
terbuka, yaitu perulangan bunyi vokal yang terjadi pada akhir setiap larik.[13]
Membaca puisi-puisi Amir Hamzah kita berhadapan dengan
diksi yang unik, hal ini terlihat jelas dalam Nyanyi Sunyi. Sebagian pengamat malah menyebutkan bahwa diksi
puisi-puisi Amir Hamzah gelap dan sukar dicerna. Chairil anwar pun mengatakan
bahwa puisi Amir dalam Nyanyi Sunyi ialah
dinamakan “puisi gelap” (duistere poezie). Maksudnya: kita tidak akan bisa
mengerti Amir Hamzah, jika kita membaca “nyanyi sunyi” tanpa pengetahuan
tentang sejarah dan agama, karena kalimat-kalimat Amir di sini mengenai
misal-misal serta perbandingan-perbandingan dari sejarah dan agama (keislaman).
Akan tetapi keunikan dan kegelapan diksi puisi-puisi amir hamzah bukan tidak diramu
tanpa perhitungan. Bagi Amir Hamzah kata-kata memegang peran penting dalam
puisi, karena itu segala sesuatunya tidak luput dari keterlibatan diksi. Dalam
hal ini Amir Hamzah boleh dikatakan berhasil di dalam menempatkan diksi pada
puisi-puisinya sehingga jalinan kata-katanya menciptakan kesan estetik baik
dalam aspek bunyi maupun arti.[14]
Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Imaji terbagi menjadi tiga yaitu imaji suara (auditif), imaji
penglihatan (visual), dan imaji sentuh (taktil). Imaji dapat mengakibatkan
pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa yag dialami
oleh penyair.[15]
Dalam puisi Amir Hamzah ini, imaji yang digunakan adalah imaji auditif dan
imaji visual (sebagian besar). Dapat dilihat dalam kutipan :
Murai
berkicau melagukan cinta (Imaji
auditif)
Sungguh
matahari dirangkum segara
Purnama
raya dilingkung bintang (Imaji
visual)
Mengapakah
rama-rama boleh bersenda
Alun
boleh mencium pantai (Imaji
visual)
Amir
Hamzah menggunakan beberapa majas diantaranya majas repetisi dan majas alusio.
Majas repetisi merupakan majas perulang-ulangan kata sebagai penegasan.
Sedangkan majas alusio yaitu majas yang menggunakan peribahasa/kata-kata yang
diketahui umum. Dalam kutipan di bawah ini dapat dilihat majas-majas dalam
puisi Senyum Hatiku, Senyum.
Senyum hatiku, senyum (Majas repetisi)
Senyum hatiku, gelak
Tetapi
engkau aduhai dagang (Majas
alusio)
Umpama pungguk
merayukan purnama
Selanjutnya, aku (aku/-ku) dan engkau (mu,
tuan, engkau) yang menjadi subjek dalam puis ini adalah si penyair ini
sendiri, Amir Hamzah. Ia tidak luput dari rasa kecewa sebab perjalanan cintanya
yang seringkali kurang beruntung, serta apa yang diinginkan tidak layak ia
dapatkan. Semuanya hanya sia-sia belaka. Akan tetapi lagi-lagi Amir Hamzah
menyadari bahwa gejolak keinginannya tersebut hanyalah suatu hal yang mustahil
terwujudkan. Maka dengan kekecewaan yang hebat Amir Hamzah merasa tersiksa;
tersiksa dalam puncak kesunyian dan kepasrahan.
Senyum Hatiku,
Senyum ini menggambarkan bagaimana beratnya beban perasaan yang dipikul
oleh Amir Hamzah. Sedih, sakit, retak, senyap, semua perasaan itu ia telan
dalam-dalam, tak pernah ingin terlihat rapuh, selalu tersenyum menutupi
laranya. Kepahitan akan cinta yang tidak berbalas, mendorongnya untuk menyusun
kata demi kata yang tertuang indah. Inti dari puisi Senyum Hatiku, Senyum adalah penggambaran penyair akan kesakitan
dirinya karena terlahir fakir, yang mencoba menghibur hatinya dari perihnya
kenyataan.
Daftar
Pustaka
Purba,
Antilan. 2008. Esai Sastra Indonesia:
Teori dan Penulisan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rahman, Jamal D. 2011. Amir Hamzah: Penyair yang Kalah tapi Menang
(online), Tersedia: http://www.jamaldrahman.wordpress.com
, Diunduh pada 4 Mei 2014 pukul 11: 49 WIB.
Siswanto,
Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra.
Jakarta : Grasindo
Tawie, Maman S. 1992. Padamu Jua; Puisi Puncak Sufistik Amir
Hamzah. Jakarta Pusat: Yayasan Indonesia.
Zaidan,
Abdul Rozak. 2007. Kamus Istilah Sastra.
Jakarta: PT Balai Pustaka.
[1] Antilan
Purba, Esai Sastra Indonesia: Teori dan
Penulisan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), hlm. 68.
[2]
Maman S. Tawie, “Padamu Jua” Puisi Puncak
Sufistik Amir Hamzah, (Jakarta Pusat: Yayasan Indonesia, 1992),
Horison/5/XXVI/152.
[3]
Jamal D. Rahman (2011), Amir Hamzah:
Penyair yang Kalah tapi Menang (online), Tersedia: http://www.jamaldrahman.wordpress.com
, Diunduh pada 4 Mei 2014 pukul 11: 49 WIB.
[4] Jamal D.
Rahman, Loc. Cit.
[5] Bunga
melati.
[6] Orang
yang kekurangan.
[7] Beradu
paruh, berganti-ganti.
[8] Orang
yang merantau.
[9] Lautan.
[10] Pengembara.
[11] Kain yang disampirkan di bahu.
[12] Wahyudi
Siswanto, Pengantar Teori Sastra,
(Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 113
[13] Abdul
Rozak Zaidan, dkk. Kamus Istilah Sastra,
(Jakarta: PT Balai Pustaka, 2007), hlm. 174
[14] Maman, Op. Cit., hlm. 154.
[15]
Siswanto, Op. Cit., hlm. 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar