Selasa, 05 Agustus 2014

Kesunyian dan Kepasrahan Amir Hamzah dalam “Senyum Hatiku, Senyum”



Amir Hamzah, lahir di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, 28 Februari 1911, dan meninggal dalam “revolusi sosial” di Kuala Begumit, Sumatera Utara, 20 Maret 1946.[1] Suatu kenyataan yang tak terpungkiri bahwa Amir Hamzah memang seorang tokoh penyair masa sebelum perang (Pujangga Baru) yang berpera penting di dalam memberikan bentuk baru terhadap bahasa perpuisian modern di Indonesia. Di antara rekan-rekan seangkatannya seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan lain-lain, hanya Amir Hamzah penyair yang tidak punya minat terhadap kecenderungan progresif tentang sintese antara Timur dan Barat. Selaku penyair yang diasuh dan dibesarkan oleh suasana lingkungan Melayu, wajarlah bila orientasi budaya yang dimilikinya lebih bertumpu dan berakar kuat kepada corak kesusastraan negeri-nya yakni Tanah Melayu. Bagi Amir Hamzah, tentu dengan menggali akar kesusastraan Melayu pada gilirannya menguak kemungkinan terciptanya khazanah kesusastraan Indonesia yang murni dan langgeng.[2] 
Puisi-puisi Amir Hamzah lahir dari pengalaman dunia batinnya yang penuh gejolak dan guncangan. Puisi memang mengekspresikan pengalaman seorang penyair, yang oleh pengalamannya yang dahsyat seringkali terombang-ambing antara kebahagiaan dan kesedihan, antara suka dan duka, antara kegembiraan dan kepedihan. Semua pengalaman dahsyat selalu mendesak untuk diekspresikan. Namun dalam kasus Amir Hamzah, puisi-puisinya lahir pertama-tama atas kesadaran penuh sang penyair atas bahasa dan sastranya sendiri, atas kecintaan pada tradisi sastranya yang sudah relatif tua dan kini menghadapi tantangan baru. Itulah sebabnya Amir Hamzah mengekspresikan berbagai pengalamannya yang penuh guncangan dalam bahasa ibunya.[3] 
Pengalaman patah cinta penyair Amir Hamzah justru melahirkan beberapa puisi ratapan dan puisi cinta yang indah. Sehubungan dengan cinta dan puisi-puisi Amir Hamzah, apa yang penting adalah sikap penyair terhadap cintanya yang kandas, atau cara penyair mengatasi rasa sakitnya yang pastilah tak tertanggungkan. Penyair mencoba meredam sakit luka hatinya yang kelewat berat. Sejalan dengan pengaduan penyair kepada Tuhan, dia menyikapi badai yang menghantam perasaannya sebagai takdir yang mesti diterima dengan lapang. Ia tak lain merupakan ketentuan Tuhan, dan menghadapi ketentuan Tuhan yang berat, tak ada sikap lebih baik daripada menerimanya dengan tulus-ikhlas. Kirasanya sikap inilah yang menguatkan hati Amir Hamzah sekaligus membuka pintu-pintu pencerahan batinnya yang nyaris gelap dan keruh. Menghibur hatinya yang remuk-redam, penyair mencoba meringankan beban batinnya sendiri (“Senyum Hatiku, Senyum”).[4]
Senyum hatiku, senyum
Senyum hatiku, gelak
Dukamu tuan, aduhai kulum
Walaupun hatimu rasakan retak

        Bait pertama menunjukkan betapa penyair mencoba meredam segenap kekecewaan dan kehancuran hatinya akibat cintanya yang tak terbalaskan. Ia memaksa hatinya sendiri untuk terus tersenyum, tertawa sekencang-kencangnya. Menahan dan menelan dukanya, sebisa mungkin penyair lakukan meskipun hatinya retak. Terlihat kedewasaan penyair dalam menghadapi cintanya yang bermasalah, yang berusaha mengubur rasa sakit hatinya dan tetap mencoba tersenyum.
Benar mawar kembang
Melur[5] mengirai kelopak
Anak dara duduk berdendang
Tetapi, engkau, aduhai fakir[6], dikenang orang sekali pun tidak

    Pada bait kedua, penyair mengekspresikan “kehadiran” dirinya yang tiada berbekas serta membandingkannya dengan kehadiran objek alam. Sekuntum mawar, melati, serta anak gadis yang duduk berdendang, menggambarkan betapa indahnya dan betapa berartinya kehadiran mereka di alam ini. Sedangkan penyair itu sendiri, tidak dikenang orang sekalipun. Bunga-bunga nan indah itu, menjadi perbandingan akan kehadiran dirinya yang ia sebut sebagai fakir. Serba kekurangan, miskin, dan tak pantas dipuji orang, apalagi untuk dikenang.

Kuketahui, tekukur sulang-menyulang[7]
Murai berkicau melagukan cinta
Tetapi engkau aduhai dagang[8]
Umpama pungguk merayukan purnama
         Pada bait ketiga, penyair membandingkan kehadiran  dirinya dengan burung. Tekukur yang kerap hidup berpasang-pasangan, saling beradu-paruh, berganti-ganti. Burung Murai yang dengan kicauannya menyanyikan lagu cinta, terlihat bahagia. Berseberangan dengan dirinya yang hidup sebagai seorang pengembara, yang tak mungkin bernasib sama seperti burung Tekukur dan Murai. Bagaikan pungguk merayukan purnama; bagai pungguk merindukan bulan, yang berarti tak mungkin bagi dirinya mengharapkan balasan cinta dari orang yang dicintainya.
Sungguh matahari dirangkum segara[9]
Purnama raya dilingkung bintang
Tetapi engkau wahai kelana[10]
Siapa mengusap hatimu bimbang?
           Pada bait kelima, penyair menggunakan isi langit sebagai perbandingan dengan dirinya. Sangat terlihat bagaimana kecemburuan penyair akan kehidupan isi langit yang penuh kehangatan. Matahari dipeluk oleh lautan serta bulan yang dikelilingi bintang-bintang membuat penyair iri. Dirinya hanyalah pengembara, seorang diri tak berkawan. Jika matahari memliki lautan yang kerap memeluknya kapanpun dan bulan memiliki bintang yang setia mendampinginya, maka si penyair? Tak ada yang menghibur hatinya dikala bimbang, kala hatinya sedih.
Diam hatiku, diam
Cobakan ria, hatiku ria
Sedih tuan, cobalah pendam
Umpama di sekam, api menyala
           Lagi-lagi, pada bait ini penyair kembali mencoba mendamaikan hatinya atas laranya kenyataan yang ia hadapi. Layaknya pada bait pertama, penyair kembali mengontrol hatinya agar diam dan tetap riang. Tetap, tak ingin terlihat sedih dan memendam segala lukanya. Menyembunyikan segala perasaannya, meskipun sakit dan tersiksa; umpama di sekam, api menyala.
Mengapakah rama-rama boleh bersenda
Alun boleh mencium pantai
Tetapi beta makhluk utama
Duka dan cinta menjadi selampai[11]
       Pada bait keenam, penyair mengekspresikan adanya ketidakadilan atas keberadaannya sebagai makhluk utama atau manusia yang katanya merupakan makhluk paling sempurna. Ketidakadilan? Kupu-kupu boleh bersenda gurau, merasakan kebahagiaan. Ombak boleh mencium pantai sesukanya. Mereka masing-masing memiliki kebahagiaannya tersendiri. Sedangkan si penyair tidak merasakan hal yang sama. Jika kupu-kupu dan ombak, yang bukan makhluk utama bisa merasakan kebahagiaan, mengapa si penyair tidak bisa? Duka dan cinta tak lagi dapat dibedakan, menjadi selampai; membebankan dirinya.
Senyap, hatiku senyap
Adakah boleh engkau merana
Sudahlah ini nasib yang tetap
Engkau terima di pangkuan bunda
          Pada bait terakhir, penyair mengatakan bahwa hatinya kini sunyi. Ia juga bertanya apakah pantas ia merana atas takdirnya itu. Penyair tidak menyalahkan siapapun, justru ia kembali kepada Tuhannya, pasrah akan nasibnya, merupakan jalan terakhir yang dipilih penyair. Lagi, ini menunjukkan kedewasaan penyair dalam menghadapi masalahnya, karena memang segalanya akan kembali kepada-Nya.
        Sebagai sebuah puisi, ciri-ciri yang dapat dilihat secara sepintas dari bentuk puisi adalah perwajahannya (tipografi). Perwajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik, dan bait pada puisi.[12] Dalam puisi Amir Hamzah yang berjudul Senyum Hatiku, Senyum, dapat kita lihat bahwa puisi ini terdiri dari tujuh bait yang setiap baitnya terdiri dari empat larik/baris. Apabila kita amati secara seksama, kita akan menemukan bahwa puisi ini memiliki warna yang masih terasa kental pengaruh puisi lamanya seperti pantun. Hampir seluruh bait dalam puisi ini, jika diperhatikan memiliki perwajahan yang sama dengan pantun. Jumlah larik dalam bait yang terdiri dari empat buah, jumlah suku kata dalam tiap larik yang terdiri dari delapan sampai dua belas suku kata, dan bentuk perwajahan rimanya yang berumuskan a-b-a-b.
         Berdasarkan letak rimanya, seluruh bait pada puisi karya Amir Hamzah ini menggunakan rima silang, yaitu rima yang baris/larik pertamanya bersajak dengan baris/larik ketiga dan baris/larik kedua bersajak dengan baris/larik keempat (a-b-a-b). Pada bait keenam, penyair menggunakan rima terbuka, yaitu perulangan bunyi vokal yang terjadi pada akhir setiap larik.[13]
          Membaca puisi-puisi Amir Hamzah kita berhadapan dengan diksi yang unik, hal ini terlihat jelas dalam Nyanyi Sunyi. Sebagian pengamat malah menyebutkan bahwa diksi puisi-puisi Amir Hamzah gelap dan sukar dicerna. Chairil anwar pun mengatakan bahwa puisi Amir dalam Nyanyi Sunyi ialah dinamakan “puisi gelap” (duistere poezie). Maksudnya: kita tidak akan bisa mengerti Amir Hamzah, jika kita membaca “nyanyi sunyi” tanpa pengetahuan tentang sejarah dan agama, karena kalimat-kalimat Amir di sini mengenai misal-misal serta perbandingan-perbandingan dari sejarah dan agama (keislaman). Akan tetapi keunikan dan kegelapan diksi puisi-puisi amir hamzah bukan tidak diramu tanpa perhitungan. Bagi Amir Hamzah kata-kata memegang peran penting dalam puisi, karena itu segala sesuatunya tidak luput dari keterlibatan diksi. Dalam hal ini Amir Hamzah boleh dikatakan berhasil di dalam menempatkan diksi pada puisi-puisinya sehingga jalinan kata-katanya menciptakan kesan estetik baik dalam aspek bunyi maupun arti.[14]
     Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji terbagi menjadi tiga yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji sentuh (taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa yag dialami oleh penyair.[15] Dalam puisi Amir Hamzah ini, imaji yang digunakan adalah imaji auditif dan imaji visual (sebagian besar). Dapat dilihat dalam kutipan :
Murai berkicau melagukan cinta                    (Imaji auditif)

Sungguh matahari dirangkum segara
Purnama raya dilingkung bintang                  (Imaji visual)

Mengapakah rama-rama boleh bersenda
Alun boleh mencium pantai                            (Imaji visual)

        Amir Hamzah menggunakan beberapa majas diantaranya majas repetisi dan majas alusio. Majas repetisi merupakan majas perulang-ulangan kata sebagai penegasan. Sedangkan majas alusio yaitu majas yang menggunakan peribahasa/kata-kata yang diketahui umum. Dalam kutipan di bawah ini dapat dilihat majas-majas dalam puisi Senyum Hatiku, Senyum.
Senyum hatiku, senyum                                 (Majas repetisi)
Senyum hatiku, gelak

Tetapi engkau aduhai dagang                         (Majas alusio)
Umpama pungguk merayukan purnama

        Selanjutnya, aku (aku/-ku) dan engkau (mu, tuan, engkau) yang menjadi subjek dalam puis ini adalah si penyair ini sendiri, Amir Hamzah. Ia tidak luput dari rasa kecewa sebab perjalanan cintanya yang seringkali kurang beruntung, serta apa yang diinginkan tidak layak ia dapatkan. Semuanya hanya sia-sia belaka. Akan tetapi lagi-lagi Amir Hamzah menyadari bahwa gejolak keinginannya tersebut hanyalah suatu hal yang mustahil terwujudkan. Maka dengan kekecewaan yang hebat Amir Hamzah merasa tersiksa; tersiksa dalam puncak kesunyian dan kepasrahan.
            Senyum Hatiku, Senyum ini menggambarkan bagaimana beratnya beban perasaan yang dipikul oleh Amir Hamzah. Sedih, sakit, retak, senyap, semua perasaan itu ia telan dalam-dalam, tak pernah ingin terlihat rapuh, selalu tersenyum menutupi laranya. Kepahitan akan cinta yang tidak berbalas, mendorongnya untuk menyusun kata demi kata yang tertuang indah. Inti dari puisi Senyum Hatiku, Senyum adalah penggambaran penyair akan kesakitan dirinya karena terlahir fakir, yang mencoba menghibur hatinya dari perihnya kenyataan.

Daftar Pustaka

Purba, Antilan. 2008. Esai Sastra Indonesia: Teori dan Penulisan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rahman, Jamal D. 2011. Amir Hamzah: Penyair yang Kalah tapi Menang (online), Tersedia: http://www.jamaldrahman.wordpress.com , Diunduh pada 4 Mei 2014 pukul 11: 49 WIB.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo
Tawie, Maman S. 1992. Padamu Jua; Puisi Puncak Sufistik Amir Hamzah. Jakarta Pusat: Yayasan Indonesia.
Zaidan, Abdul Rozak. 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Balai Pustaka.


[1] Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia: Teori dan Penulisan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), hlm. 68.
[2] Maman S. Tawie, “Padamu Jua” Puisi Puncak Sufistik Amir Hamzah, (Jakarta Pusat: Yayasan Indonesia, 1992), Horison/5/XXVI/152.
[3] Jamal D. Rahman (2011), Amir Hamzah: Penyair yang Kalah tapi Menang (online), Tersedia: http://www.jamaldrahman.wordpress.com , Diunduh pada 4 Mei 2014 pukul 11: 49 WIB.
[4] Jamal D. Rahman, Loc. Cit.
[5] Bunga melati.
[6] Orang yang kekurangan.
[7] Beradu paruh, berganti-ganti.
[8] Orang yang merantau.
[9] Lautan.
[10] Pengembara.
[11]  Kain yang disampirkan di bahu.
[12] Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 113
[13] Abdul Rozak Zaidan, dkk. Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2007), hlm. 174
[14] Maman, Op. Cit., hlm. 154.
[15] Siswanto, Op. Cit., hlm. 115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar