Akhirnya
Karsim Menyeberang Jalan. Begitulah judul cerpen karangan Ahmad Tohari yang
mengisahkan tentang kehidupan seorang Karsim, yang memiliki keluarga kecil yang
tinggal dalam gubug di pinggir kali. Kehidupan miskin yang dialaminya tak
mematahkan semangatnya untuk terus menafkahi keluarga kecilnya tersebut. Niat
tulus Karsim yang ingin menyelamatkan padi-padinya di sepetak lahan dekat
sungai untuk anak dan istrinya makan, harus dibayar dengan nyawa. Berawal dari
jalan raya yang ingin diseberangi Karsim pada siang itu. Padatnya mobil yang
melaju dengan kecepatan tinggi dan tak mau kalah membuat Karsim mengalah untuk
menyeberang, hingga Karsim lelah menunggu dan memutuskan untuk menyebrang. Baru
selangkah menyeberang, ia sudah tergilas dan tewas. Begitulah kelakuan para raja
jalanan yang meramaikan jalan raya menjelang lebaran.
Tema
cerpen ini menurut saya adalah berpijak pada permasalahan situasi lalu lintas
yang terjadi pada saat menjelang lebaran. Kemudian muncul permasalahan pada
cerpen ini berupa kecelakaan yang menewaskan lelaki 69 tahun yang hendak
menyeberang jalan raya, sebagai akibat dari padatnya kendaraan yang lalu-lalang
menjelang lebaran. Bukan hanya padat, para pengemudi roda dua maupun roda empat
yang seakan-akan berkuasa atas jalan tersebut, tidak mau mengalah, mengemudikan
kendaraan mereka dengan seenaknya, maklum orang kota. Tema cerpen ini menurut
saya berkisar di sekitar sosial dan tradisi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
di bawah ini:
“...Kesadarannya
sebagai orang kampung yang miskin adalah nrimo.
Mereka yang sedang menguasai jalan raya
tentulah manusia sesungguhnya, sedangkan aku hanyalah Karsim yang hanya punya
secuil ladang di pinggir kali, itu pun hanya di musim kemarau. Karsim tahu
mereka yang sedang berkuasa atas jalan raya itu sedang bergegas karena mau
berlebaran di tempat asal. Sungkem kepada
orang tua, ziarah, kangen-kangenan, dan semua itu penting.”
Dari
kutipan di atas dapat dipahami bahwa cerpen ini ingin menceritakan kehidupan
masyarakat kota yang mau menang sendiri. Sukar memberi kesempatan kepada
penyeberang jalan seperti Karsim, padahal Karsim harus menyeberang jalan
tersebut secepatnya untuk menyelamatkan padi-padinya di ladang guna memberi
makan anak istrinya. Namun siapa sangka, niat tulus bagai pahlawan itu harus
dibayar dengan nyawa terlebih dahulu agar para pengemudi serakah itu sudi
memberinya kesempatan untuk menyeberang. Hal ini diungkapkan Ahmad Tohari dalam
kutipan di bawah ini:
“...Baru
sekali ini sejak lahir sampai datang ajalnya tadi siang pada usia 69 tahun
Karsim merasa diakui keberadaannya. Dan tahulah dia sekarang, agar
keberadaannya diakui orang dia harus masuk dulu ke dalam keranda dan
diiring-iring ke kuburan.”
Dari
penjelasan diatas, saya menyimpulkan bahwa tema cerpen Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan adalah sosal dan tradisi.
Permasalahan yang ingin diangkat cerpen ini adalah masalah keegoisan masyarakat
kota yang mewabah di jalan raya menjelang lebaran yang pada akhirnya melahirkan
tragedi berdarah, merenggut kehidupan kecil orang-orang seperti Karsim.
Apabila
dilihat dari kriteria waktu, alur yang digunakan dalam cerpen ini termasuk ke
dalam alur sorot-balik (mundur). Terbukti pada paragraf 1 sampai 3, dijelaskan
bahwa tokoh Karsim telah tewas. Namun Tohari baru mengungkap penyebab kematian
tokoh Karsim pada paragraf ke-4 dengan kata kunci kemarin. Itu berarti, cerpen ini menggunakan alur mundur (tejaadi
flashback). Alur cerpen ini jika dilihat dari kriteria tempat berada di sebuah
perkampungan dekat jalan raya. Perkampungan yang penduduknya tidak memiliki
banyak harta seperti Karsim, dan orang-orang yang berebut uang yang ditebarkan
oleh ibu-ibu pengendara mobil. Tidak banyak tempat yang dihadirkan dalam cerpen
ini; rumah karsim dan jalan raya. Sementara itu alur cerpen ini jika dilihat
dari kriteria waktu mendapat penekanan waktu pada siang hari. Hal tersebut
dapat dilihat pada paragraf 8 dan paragraf 14 di bawah ini:
“Dibawah
matahari yang mulai terik Karsim setia menunggu. Untung ada caping bambu yang
menahan sengatan sinar sehingga kepalanya tidak terpanggang.”
“Dan
corong mesjid menyiarkan berita kematia itu. Telah meninggal dunia dengan tenang saudara kita Karsim tadi jam
sebelas empat lima, dan akan dikubur jam empat sore hari ini.”
Tokoh
dalam cerpen ini tidak terlalu banyak, hanya terdapat beberapa tokoh saja yang
masuk ke dalam tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama dalam cerpen ini
yaitu Karsim. Dalam cerpen ini, Karsim terlihat sebagai sosok ayah sekaligus
kepala keluarga yang sangat bertanggung jawab dan menyayangi keluarganya meski
hidupnya tidak mulus. Karsim juga sosok orang pinggiran yang sadar akan siapa
dirinya. Terlihat dalam kutipan di bawah ini:
“...Terbayang
anak-istrinya yang akan tetap makan singkong karena panen padi yang sangat
dinantikan ternyata gagal karena habis dimakan burung. Ada perintah menyeberang
menghujam langsung ke dasar hati Karsim. Perintah itu datang dari sepiring nasi
yang harus diselamatkan dari serbuan burung-burung.”
“...Kesadarannya
sebagai orang kampung yang miskin adalah nrimo.
Mereka yang sedang menguasai jalan raya
tentulah manusia sesungguhnya, sedangkan aku hanyalah Karsim yang hanya punya
secuil ladang di pinggir kali, itu pun hanya di musim kemarau.”
Tokoh
selanjutnya yaitu para pengemudi kendaraan di jalan raya. Pencerita
menggambarkan para pengemudi di jalan sebagai para raja jalanan. Para raja yang
degil, mau menang sendiri, manja luar biasa, hidup untuk pamer segalanya.
Terbukti dalam kutipan di bawah ini:
“...Wajah-wajah
pengendara adalah wajah para raja jalanan. Wajah-wajah yang mengusung semua
lambang kekotaan, keakuan yang kental, manja dan kemaruk luar biasa. Pamer.”
Selanjutnya
ada tokoh istri Karsim yang tidak banyak diceritakan dalam cerpen ini, namun
terlihat istrinya sangat menyayangi Karsim dalam kutipan cerpen tersebut. Tokoh
Nenek Painah, yang tidak jelas siapa sebenarnya sosok pemilik ayam ini, apakah
nenek dari Karsim atau nenek yang tinggal di sekitar rumah Karsim. Namun
sepertinya Karsim sangat dekat dengan Nenek Painah karena Karsim tahu betul
kebiasaan Nenek Painah.
Sudut
pandang yang digunakan dalam cerpen ini yakni sudut pandang orang ketiga; “dia”
mahatahu, yakni pencerita yang berada di luar ceritera yang melaporkan
peristiwa-peristiwa yang dialami para tokoh dari sudut pandang “ia” atau “dia”.
Pencerita mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan
termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.[1] Dalam
cerpen ini jelas terlihat bahwa Tohari menggunakan sudut pandang. Di dini ia
menggunakan sudut pandang pribadi pencerita “diaan” maha tahu karena si
pencerita maha mengetahui, maha mendengar, serba melihat hingga mampu menembus
rahasia batin yang paling dalam dari tokoh yang disoroti.
Lalu
apakah yang membuat cerpen ni menarik? Mengapa?
Pertama,
keunikan yang terkandung dalam cerpen ini berada pada tokoh utama (Karsim). Di
dalam cerita disebutkan bahwa ia tewas tergilas mobil. Rohnya keluar dari
jasadnya lalu menyaksikan segala sesuatunya hingga jasadnya digiring menyeberangi
jalan. Jarang sekali pengarang menghilangkan tokoh utamanya. Namun cerpen ini?
Tidak seperti kebanyakan cerpen lainnya, Tohari mengahdirkan sesuatu yang
berbeda; roh dari tokoh utama yang bermain cukup banyak dalam cerpen ini.
Kedua,
cerpen ini unik karena mengangkat permasalahan sepele; kecelakaan saat musim
mudik. Dengan permasalahan yang sepele itu, Tohari mampu menghadirkan tokoh
Karsim beserta nasibnya sebagai masyarakat kelas bawah beserta para pengemudi
kendaraan yang dalam cerpen ini digambarkan seakan-akan mereka adalah
orang-orang kaya. Tohari sangat piawai mencampuradukkan konflik batin, sosial,
tradisi dan segalanya sehingga jadilah cerpen yang luar biasa maknanya dan
manfaatnya untuk diketahui banyak pembaca; khususnya para raja jalanan.
Di
bagian akhir cerita, agak menarik untuk di pahami. Dalam paragraf 24 si bayi
dan kakaknya terlindung lingkaran biru, keduanya tampak illahi. Pemandangan
yang tak dapat dilihat oleh manusia bernyawa, seperti pada bagian awal cerita,
pemandangan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang rohnya masih
berterbangan di dunia. Dalam paragraf terakhir pun tak kalah menarik. Masih
seputar pemandangan tak kasat mata, namun kali ini lain. Pengemudi mobil seekor
kera perempuan, lelaki gendut dengan topeng kepala tikus, babi hutan, celeng,
srigala, beruk, munyuk. Dapat menimbulkan berbagai tafsiran, sebenarnya siapa
sesungguhnya orang-orang berwajah hina tersebut. Apakah orang-orang yang gemar
melakukan korupsi demi pamer. Aapakah
orang-orang yang gemar memelihara sifat serakah; yang mau menang sendiri dan
tidak memberikan kesempatan kepada orang lain, kepentingan mereka harus
didahulukan, atau orang yang menggunakan ilmu ghaib dan cara kotor untuk
mendapatkan kekayaan. Entahlah, yang jelas pemandangan seperti itu hanya bisa
dilihat oleh beberapa penglihatan.
Hal
menarik lainnya yaitu timbulnya beberapa pertanyaan setelah membaca keseluruhan
cerpen ini. Tohari sering memunculkan dan mengulang-ulang kata pamer, kurang lebih tiga kali. Pamer
yang seperti apa yang ingin disampaikan Tohari kepada pembaca? Entah. Yang
pasti pamer itu ditujukan untuk para pengemudi kendaraan di jalan. Tidak hanya
itu, Tohari juga sering memunculkan Nenek
Painah yang biasa tidak menghabiskan sarapannya demi seekor ayam jantan
kesayangannya. Sebenarnya hal tersebut tidak penting keberadaannya untuk
membangun cerita. Namun entah mengapa Tohari mengulang-ulang kata ini kurang
lebih sebanyak tiga kali.
Hal
lain yang menimbulkan pertanyaan adalah apa tujuan seorang ibu yang menebar
uang-uangnya? Dalam cerpen disebutkan bahwa saat mayat Karsim digotong oleh
orang-orang menyeberangi jalan raya, seorang ibu tergopoh merogoh tas dan
menebarkan uang puluhan ribu. Apa yang ingin disampaikan Tohari sulit diterima
dengan baik, apakah niat ibu tersebut menebar uang kepada pengiring mayat
Karsim bertujuan untuk meringankan keluarga kecil Karsim? Jika memang bermaksud
baik, mengapa uang tersebut harus ditebar yang justru memberi makna tidak baik.
Mengapa tidak diberikan saja?
Dan
hal terakhir yang menimbulkan pertanyaan, mengapa roh Karsim selalu tertawa?
Apa-apa yang sedang terjadi disekelilingnya selalu membuat dia tertawa,
misalnya saat ada orang yang berkata mati
terlindas mobil hingga ususnya keluar, mengapa dikatakan meninggal dengan
tenang? Karsim tertawa keras. Kemudian Karsim tertawa lagi dan merasa
konyol saat melihat keadaan yang berbanding terbalik dengan tadi siang;
keegoisan raja jalanan yang tidak memberinya kesempatan untuk menyeberang,
justru kali ini mereka membiarkan mayat Karsim menyeberang.
Apakah
cerpen tersebut mengandung kritik sosial?
Sangat
jelas, cerpen ini mengandung kritik sosial, khususnya untuk para raja jalanan.
Dari awal hingga akhir, Tohari selalu mengeluarkan kata pamer. Tidak hanya itu, Tohari lewat cerpen ini seakan ia merupakan
bagian dari Karsim, ingin mengungkapkan kepada pembaca bahwa begitulah kiranya
sifat masyarakat berwajah kekotaan yang maunya menang sendiri. Lambang kekotaan
yang justru mengundang maut. Para raja jalanan yang memiliki rasa egois luar
biasa, tidak memberikan kesempatan sebentar saja pada orang lain untuk
menyeberang, terlihat Tohari sebenarnya resah akan hal itu. Namun ia mencoba
mengerti kondisi yang menjadi penyebab mereka bersikap demikian.
“...Pamer.
ah, tetapi Kasim tahu, pamer diri itu penting.”
“...semua
itu merupakan kebutuhan juga. Juga pamer tidak kalah penting.”
“Karsim
mengerti, mudik itu penting. Pamer juga penting.”
Terlihat
dalam paragraf 6, Tohari mengungkapkan bahwa orang kampung yang tidak punya
apa-apa selalu mengalah pada orang kaya. Hal tersebut sanagat menggambarkan
keadaan sosial masyarakat miskin yang dianggap lemah, tidak penting, orang kaya
didahulukan. Dalam paragraf 23, ada bagian yang cukup membuat sedih para
pembaca. Dikatakan bahwa:
“...Karsim
tersenyum. Baru sekali ini sejak lahir sampai ajalnya tadi siang pada usia 69
tahun Karsim merasa diakui keberadaannya. Dan tahulah dia sekarang, agar
keberadaannya diakui orang dia harus masuk dulu ke dalam keranda dan
diiring-iring ke kuburan.”
Baru
kali itu selama hidupnya tokoh Karsim diakui keberadaannya. Dalam artian, ia
harus mat terlebih dahulu baru bisa diakui keberadaannya; baru diberi
kesempatan untuk menyeberang. Sungguh memilukan.
Gaya
Tohari dalam menciptakan cerpen ini bernadakan protes dan reaksinya terhadap
keegoisa, keakuan orang kota yang amat kental, pamer mobil dan motor, juga
pamer harta, keegoisan yang menelan korban jiwa, para raja jalanan yang sombong
dengan segala yang mereka kendarai. Adanya pemisah antara orang-orang kaya
dengan orang-orang miskin, yaitu jalan raya, di mana orang miskin selalu
mengalah untuk mereka yang tak tahu rasa mengalah.
Menurut
Kementerian Perhubungan, ada empat faktor penyebab kemacetan menjelang lebaran.
Masalah pertama gangguan lalu lintas adalah penggunaan jalan nasional yang tidak
benar. Masalah kedua, peningkatan penggunaan kendaraan darat saat mudik, da hal
tersebut menimbulkan kecelakaan jika para pemudik tidak hati-hati. Masalah
ketiga mengenai pengaturan dan pengawasan kegiatan mudik. Dan yang terakhir
adalah ketertiban dan kelancaran pelayanan keluar masuk penumpang di terminal,
stasiun, pelabuhan, dan bandar udara.[2]
Begitulah
situasi Indonesia menjelang lebaran. Orang-orang berbondong-bondong memadati
jalan raya untuk mudik ke kampung halamannya. Tradisi tersebut memang kerap
kali terjadi menjelang lebaran, puncaknya H-3. Saling beradu kecepatan untuk
sampai di kampung halaman masing-masing tanpa melihat dan menengok sedikit hak
orang lain. Bukan hanya Karsim, ribuan orang di Indonesia juga telah menjadi
korban kecelakaan karena berbagai faktor. Padat, kencang, menyulitkan para
penyeberang jalan untuk menyeberang. Dan akhirnya terjaadilah kecelakaan.
Sungguh memprihatinkan.
[1][1] Albertino Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005) hlm. 97.
[2] Adiatmaputra Fajar Pratama
(2013), Empat Masalah Arus Lalu Lintas
Menjelang Lebaran (online), Tersedia : www.tribunnews.com.
Diunduh pada tanggal 18 Desember pukul 08: 03 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar