Selasa, 05 Agustus 2014

Ketika Luka Menyambangi Dua Insan



1
Kemarilah, ajak lukamu
Kita hanya perlu berpeluk, berbagi air mata
Beradu lara di kolong semesta
Kita; terluka

2
Awalnya satu, dan satunya lagi
Memesrakan waktu semesra mungkin
Kerap bersama, berada di takdir yang sama
Dan...
Lain. Yang Maha Dusta Menginginkan jalan lain
Berdiri di atas takdir masing-masing, baiknya
Yang kerap bersama, kini tinggal nama
Dan, kembali seperti awal; tak di-iya-kan semesta

Indri Zikria Oktaviani

Dua Nestapa; Kelahiran dan Kepergian



1
Merengkuh sehelai rindu
Menjalar di sudut malam lalu mengundang hujan datang
Untuk musnahkan imajinasi gila tentang langit gila yang menjingga
Terbelalak sejenak, berharap senja tak pernah berdusta
Entah siapa yang melahirkanmu, duhai rindu.

2
Rasa mahapilu itu bernama Rindu
Ku paksa ia pergi ke Barat, di dampingi senja yang hampir menemui ajalnya
Perlahan ia tak terlihat, tertimbun gumpalan luka langit
Mungkin ia tak akan pernah pulang
Di situlah kiranya rumahnya

Indri Zikria Oktaviani

Telaah Cerpen "Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan" Karya Ahmad Tohari



Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan. Begitulah judul cerpen karangan Ahmad Tohari yang mengisahkan tentang kehidupan seorang Karsim, yang memiliki keluarga kecil yang tinggal dalam gubug di pinggir kali. Kehidupan miskin yang dialaminya tak mematahkan semangatnya untuk terus menafkahi keluarga kecilnya tersebut. Niat tulus Karsim yang ingin menyelamatkan padi-padinya di sepetak lahan dekat sungai untuk anak dan istrinya makan, harus dibayar dengan nyawa. Berawal dari jalan raya yang ingin diseberangi Karsim pada siang itu. Padatnya mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi dan tak mau kalah membuat Karsim mengalah untuk menyeberang, hingga Karsim lelah menunggu dan memutuskan untuk menyebrang. Baru selangkah menyeberang, ia sudah tergilas dan tewas. Begitulah kelakuan para raja jalanan yang meramaikan jalan raya menjelang lebaran.
Tema cerpen ini menurut saya adalah berpijak pada permasalahan situasi lalu lintas yang terjadi pada saat menjelang lebaran. Kemudian muncul permasalahan pada cerpen ini berupa kecelakaan yang menewaskan lelaki 69 tahun yang hendak menyeberang jalan raya, sebagai akibat dari padatnya kendaraan yang lalu-lalang menjelang lebaran. Bukan hanya padat, para pengemudi roda dua maupun roda empat yang seakan-akan berkuasa atas jalan tersebut, tidak mau mengalah, mengemudikan kendaraan mereka dengan seenaknya, maklum orang kota. Tema cerpen ini menurut saya berkisar di sekitar sosial dan tradisi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“...Kesadarannya sebagai orang kampung yang miskin adalah nrimo. Mereka yang sedang menguasai jalan raya tentulah manusia sesungguhnya, sedangkan aku hanyalah Karsim yang hanya punya secuil ladang di pinggir kali, itu pun hanya di musim kemarau. Karsim tahu mereka yang sedang berkuasa atas jalan raya itu sedang bergegas karena mau berlebaran di tempat asal. Sungkem kepada orang tua, ziarah, kangen-kangenan, dan semua itu penting.”
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa cerpen ini ingin menceritakan kehidupan masyarakat kota yang mau menang sendiri. Sukar memberi kesempatan kepada penyeberang jalan seperti Karsim, padahal Karsim harus menyeberang jalan tersebut secepatnya untuk menyelamatkan padi-padinya di ladang guna memberi makan anak istrinya. Namun siapa sangka, niat tulus bagai pahlawan itu harus dibayar dengan nyawa terlebih dahulu agar para pengemudi serakah itu sudi memberinya kesempatan untuk menyeberang. Hal ini diungkapkan Ahmad Tohari dalam kutipan di bawah ini:
“...Baru sekali ini sejak lahir sampai datang ajalnya tadi siang pada usia 69 tahun Karsim merasa diakui keberadaannya. Dan tahulah dia sekarang, agar keberadaannya diakui orang dia harus masuk dulu ke dalam keranda dan diiring-iring ke kuburan.”
Dari penjelasan diatas, saya menyimpulkan bahwa tema cerpen Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan adalah sosal dan tradisi. Permasalahan yang ingin diangkat cerpen ini adalah masalah keegoisan masyarakat kota yang mewabah di jalan raya menjelang lebaran yang pada akhirnya melahirkan tragedi berdarah, merenggut kehidupan kecil orang-orang seperti Karsim.
Apabila dilihat dari kriteria waktu, alur yang digunakan dalam cerpen ini termasuk ke dalam alur sorot-balik (mundur). Terbukti pada paragraf 1 sampai 3, dijelaskan bahwa tokoh Karsim telah tewas. Namun Tohari baru mengungkap penyebab kematian tokoh Karsim pada paragraf ke-4 dengan kata kunci kemarin. Itu berarti, cerpen ini menggunakan alur mundur (tejaadi flashback). Alur cerpen ini jika dilihat dari kriteria tempat berada di sebuah perkampungan dekat jalan raya. Perkampungan yang penduduknya tidak memiliki banyak harta seperti Karsim, dan orang-orang yang berebut uang yang ditebarkan oleh ibu-ibu pengendara mobil. Tidak banyak tempat yang dihadirkan dalam cerpen ini; rumah karsim dan jalan raya. Sementara itu alur cerpen ini jika dilihat dari kriteria waktu mendapat penekanan waktu pada siang hari. Hal tersebut dapat dilihat pada paragraf 8 dan paragraf 14 di bawah ini:
“Dibawah matahari yang mulai terik Karsim setia menunggu. Untung ada caping bambu yang menahan sengatan sinar sehingga kepalanya tidak terpanggang.”
“Dan corong mesjid menyiarkan berita kematia itu. Telah meninggal dunia dengan tenang saudara kita Karsim tadi jam sebelas empat lima, dan akan dikubur jam empat sore hari ini.”
Tokoh dalam cerpen ini tidak terlalu banyak, hanya terdapat beberapa tokoh saja yang masuk ke dalam tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama dalam cerpen ini yaitu Karsim. Dalam cerpen ini, Karsim terlihat sebagai sosok ayah sekaligus kepala keluarga yang sangat bertanggung jawab dan menyayangi keluarganya meski hidupnya tidak mulus. Karsim juga sosok orang pinggiran yang sadar akan siapa dirinya. Terlihat dalam kutipan di bawah ini:
“...Terbayang anak-istrinya yang akan tetap makan singkong karena panen padi yang sangat dinantikan ternyata gagal karena habis dimakan burung. Ada perintah menyeberang menghujam langsung ke dasar hati Karsim. Perintah itu datang dari sepiring nasi yang harus diselamatkan dari serbuan burung-burung.”
“...Kesadarannya sebagai orang kampung yang miskin adalah nrimo. Mereka yang sedang menguasai jalan raya tentulah manusia sesungguhnya, sedangkan aku hanyalah Karsim yang hanya punya secuil ladang di pinggir kali, itu pun hanya di musim kemarau.”
Tokoh selanjutnya yaitu para pengemudi kendaraan di jalan raya. Pencerita menggambarkan para pengemudi di jalan sebagai para raja jalanan. Para raja yang degil, mau menang sendiri, manja luar biasa, hidup untuk pamer segalanya. Terbukti dalam kutipan di bawah ini:
“...Wajah-wajah pengendara adalah wajah para raja jalanan. Wajah-wajah yang mengusung semua lambang kekotaan, keakuan yang kental, manja dan kemaruk luar biasa. Pamer.”
Selanjutnya ada tokoh istri Karsim yang tidak banyak diceritakan dalam cerpen ini, namun terlihat istrinya sangat menyayangi Karsim dalam kutipan cerpen tersebut. Tokoh Nenek Painah, yang tidak jelas siapa sebenarnya sosok pemilik ayam ini, apakah nenek dari Karsim atau nenek yang tinggal di sekitar rumah Karsim. Namun sepertinya Karsim sangat dekat dengan Nenek Painah karena Karsim tahu betul kebiasaan Nenek Painah.
Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini yakni sudut pandang orang ketiga; “dia” mahatahu, yakni pencerita yang berada di luar ceritera yang melaporkan peristiwa-peristiwa yang dialami para tokoh dari sudut pandang “ia” atau “dia”. Pencerita mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.[1] Dalam cerpen ini jelas terlihat bahwa Tohari menggunakan sudut pandang. Di dini ia menggunakan sudut pandang pribadi pencerita “diaan” maha tahu karena si pencerita maha mengetahui, maha mendengar, serba melihat hingga mampu menembus rahasia batin yang paling dalam dari tokoh yang disoroti.
Lalu apakah yang membuat cerpen ni menarik? Mengapa?
Pertama, keunikan yang terkandung dalam cerpen ini berada pada tokoh utama (Karsim). Di dalam cerita disebutkan bahwa ia tewas tergilas mobil. Rohnya keluar dari jasadnya lalu menyaksikan segala sesuatunya hingga jasadnya digiring menyeberangi jalan. Jarang sekali pengarang menghilangkan tokoh utamanya. Namun cerpen ini? Tidak seperti kebanyakan cerpen lainnya, Tohari mengahdirkan sesuatu yang berbeda; roh dari tokoh utama yang bermain cukup banyak dalam cerpen ini.
Kedua, cerpen ini unik karena mengangkat permasalahan sepele; kecelakaan saat musim mudik. Dengan permasalahan yang sepele itu, Tohari mampu menghadirkan tokoh Karsim beserta nasibnya sebagai masyarakat kelas bawah beserta para pengemudi kendaraan yang dalam cerpen ini digambarkan seakan-akan mereka adalah orang-orang kaya. Tohari sangat piawai mencampuradukkan konflik batin, sosial, tradisi dan segalanya sehingga jadilah cerpen yang luar biasa maknanya dan manfaatnya untuk diketahui banyak pembaca; khususnya para raja jalanan.
Di bagian akhir cerita, agak menarik untuk di pahami. Dalam paragraf 24 si bayi dan kakaknya terlindung lingkaran biru, keduanya tampak illahi. Pemandangan yang tak dapat dilihat oleh manusia bernyawa, seperti pada bagian awal cerita, pemandangan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang rohnya masih berterbangan di dunia. Dalam paragraf terakhir pun tak kalah menarik. Masih seputar pemandangan tak kasat mata, namun kali ini lain. Pengemudi mobil seekor kera perempuan, lelaki gendut dengan topeng kepala tikus, babi hutan, celeng, srigala, beruk, munyuk. Dapat menimbulkan berbagai tafsiran, sebenarnya siapa sesungguhnya orang-orang berwajah hina tersebut. Apakah orang-orang yang gemar melakukan korupsi demi pamer. Aapakah orang-orang yang gemar memelihara sifat serakah; yang mau menang sendiri dan tidak memberikan kesempatan kepada orang lain, kepentingan mereka harus didahulukan, atau orang yang menggunakan ilmu ghaib dan cara kotor untuk mendapatkan kekayaan. Entahlah, yang jelas pemandangan seperti itu hanya bisa dilihat oleh beberapa penglihatan.
Hal menarik lainnya yaitu timbulnya beberapa pertanyaan setelah membaca keseluruhan cerpen ini. Tohari sering memunculkan dan mengulang-ulang kata pamer, kurang lebih tiga kali. Pamer yang seperti apa yang ingin disampaikan Tohari kepada pembaca? Entah. Yang pasti pamer itu ditujukan untuk para pengemudi kendaraan di jalan. Tidak hanya itu, Tohari juga sering memunculkan Nenek Painah yang biasa tidak menghabiskan sarapannya demi seekor ayam jantan kesayangannya. Sebenarnya hal tersebut tidak penting keberadaannya untuk membangun cerita. Namun entah mengapa Tohari mengulang-ulang kata ini kurang lebih sebanyak tiga kali.
Hal lain yang menimbulkan pertanyaan adalah apa tujuan seorang ibu yang menebar uang-uangnya? Dalam cerpen disebutkan bahwa saat mayat Karsim digotong oleh orang-orang menyeberangi jalan raya, seorang ibu tergopoh merogoh tas dan menebarkan uang puluhan ribu. Apa yang ingin disampaikan Tohari sulit diterima dengan baik, apakah niat ibu tersebut menebar uang kepada pengiring mayat Karsim bertujuan untuk meringankan keluarga kecil Karsim? Jika memang bermaksud baik, mengapa uang tersebut harus ditebar yang justru memberi makna tidak baik. Mengapa tidak diberikan saja?
Dan hal terakhir yang menimbulkan pertanyaan, mengapa roh Karsim selalu tertawa? Apa-apa yang sedang terjadi disekelilingnya selalu membuat dia tertawa, misalnya saat ada orang yang berkata mati terlindas mobil hingga ususnya keluar, mengapa dikatakan meninggal dengan tenang? Karsim tertawa keras. Kemudian Karsim tertawa lagi dan merasa konyol saat melihat keadaan yang berbanding terbalik dengan tadi siang; keegoisan raja jalanan yang tidak memberinya kesempatan untuk menyeberang, justru kali ini mereka membiarkan mayat Karsim menyeberang.
Apakah cerpen tersebut mengandung kritik sosial?
Sangat jelas, cerpen ini mengandung kritik sosial, khususnya untuk para raja jalanan. Dari awal hingga akhir, Tohari selalu mengeluarkan kata pamer. Tidak hanya itu, Tohari lewat cerpen ini seakan ia merupakan bagian dari Karsim, ingin mengungkapkan kepada pembaca bahwa begitulah kiranya sifat masyarakat berwajah kekotaan yang maunya menang sendiri. Lambang kekotaan yang justru mengundang maut. Para raja jalanan yang memiliki rasa egois luar biasa, tidak memberikan kesempatan sebentar saja pada orang lain untuk menyeberang, terlihat Tohari sebenarnya resah akan hal itu. Namun ia mencoba mengerti kondisi yang menjadi penyebab mereka bersikap demikian.
“...Pamer. ah, tetapi Kasim tahu, pamer diri itu penting.”
“...semua itu merupakan kebutuhan juga. Juga pamer tidak kalah penting.”
“Karsim mengerti, mudik itu penting. Pamer juga penting.”
Terlihat dalam paragraf 6, Tohari mengungkapkan bahwa orang kampung yang tidak punya apa-apa selalu mengalah pada orang kaya. Hal tersebut sanagat menggambarkan keadaan sosial masyarakat miskin yang dianggap lemah, tidak penting, orang kaya didahulukan. Dalam paragraf 23, ada bagian yang cukup membuat sedih para pembaca. Dikatakan bahwa:
“...Karsim tersenyum. Baru sekali ini sejak lahir sampai ajalnya tadi siang pada usia 69 tahun Karsim merasa diakui keberadaannya. Dan tahulah dia sekarang, agar keberadaannya diakui orang dia harus masuk dulu ke dalam keranda dan diiring-iring ke kuburan.”
Baru kali itu selama hidupnya tokoh Karsim diakui keberadaannya. Dalam artian, ia harus mat terlebih dahulu baru bisa diakui keberadaannya; baru diberi kesempatan untuk menyeberang. Sungguh memilukan.
Gaya Tohari dalam menciptakan cerpen ini bernadakan protes dan reaksinya terhadap keegoisa, keakuan orang kota yang amat kental, pamer mobil dan motor, juga pamer harta, keegoisan yang menelan korban jiwa, para raja jalanan yang sombong dengan segala yang mereka kendarai. Adanya pemisah antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin, yaitu jalan raya, di mana orang miskin selalu mengalah untuk mereka yang tak tahu rasa mengalah.
Menurut Kementerian Perhubungan, ada empat faktor penyebab kemacetan menjelang lebaran. Masalah pertama gangguan lalu lintas adalah penggunaan jalan nasional yang tidak benar. Masalah kedua, peningkatan penggunaan kendaraan darat saat mudik, da hal tersebut menimbulkan kecelakaan jika para pemudik tidak hati-hati. Masalah ketiga mengenai pengaturan dan pengawasan kegiatan mudik. Dan yang terakhir adalah ketertiban dan kelancaran pelayanan keluar masuk penumpang di terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandar udara.[2]
Begitulah situasi Indonesia menjelang lebaran. Orang-orang berbondong-bondong memadati jalan raya untuk mudik ke kampung halamannya. Tradisi tersebut memang kerap kali terjadi menjelang lebaran, puncaknya H-3. Saling beradu kecepatan untuk sampai di kampung halaman masing-masing tanpa melihat dan menengok sedikit hak orang lain. Bukan hanya Karsim, ribuan orang di Indonesia juga telah menjadi korban kecelakaan karena berbagai faktor. Padat, kencang, menyulitkan para penyeberang jalan untuk menyeberang. Dan akhirnya terjaadilah kecelakaan. Sungguh memprihatinkan.



[1][1] Albertino Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) hlm. 97.
[2] Adiatmaputra Fajar Pratama (2013), Empat Masalah Arus Lalu Lintas Menjelang Lebaran (online), Tersedia : www.tribunnews.com. Diunduh pada tanggal 18 Desember pukul 08: 03 WIB.

TELAAH JURNAL KALAM



TELAAH INTAN PRAMADHITA TENTANG PERMAINAN GENDER DALAM DUA KARYA “ASIA”
Oleh : Indri Zikria Oktaviani (1112013000060)

Timur dan Barat merupakan dua dunia yang saling berseberangan menurut kebanyakan orang. Mengutip dari Edward Said, Intan menyimpulkan bahwa Timur kerap dipandang penuh dengan stereotipe negatif ; pasif, irasional, terbelakang. Sedangkan Barat memandang dirinya sendiri  berseberangan dengan Timur ; aktif, rasional, progresif. Akan tetapi seiring dengan peradaban yang semakin modern, kemajuan teknologi telah mengaburkan batas-batas dua dunia tersebut. Dalam Shanghai Baby, Shanghai digambarkan sebagai kota kosmopolitan dimana di dalamnya nilai-nilai Barat dan Timur bercampur aduk. Sementara dalam Andrew ad Joey, Bali digambarkan sebagai kota yang yang sangat eksotis, longgar akan nilai-nilai dan fenomena akan homoseksualitas. Intan Paramadhita menganalisis kedua novel tersebut menggunakan pendekatan mimetik, dimana modernisasi mewarnai kehidupan Barat dan Timur pada abad ke-21. Dengan latar belakang itulah Intan mencoba melihat keterhubungan Barat dan Timur yang diangkat dalam kedua novel tersebut, serta mengupas bagaimana gender digunakan oleh kolonialisme untuk kekuasaan.
Andrew and Joey : perkenalan
            Di awal jurnalnya, Intan menganalisis Andrew and Joey karya Jamie Jams menggunakan pendekatan ekspresif, dimana dijelaskan bahwa Jams terinspirasi oleh novel Pamela karya Samuel Richardson, yang memprakarsai teknik penceritaan lewat surat. Itulah sebabnya Jams memanfaatkan e-mail sebagai teknik penceritaan dalam novelnya. Hal tersebut menunjukkan betapa modernnya novel ini karena pada saat itu e-mail sedang populer dikalangan masyarakat. Selanjutnya Intan mulai menceritakan sinopsis Andrew and Joey, yakni mengisahkan cinta segitiga pasangan homoseks antara Andrew, Joey dan Wayan dalam bentuk kumpulan e-mail. Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, dimana para tokohnya bercerita tentang keindahan Bali melalui e-mail yang dikirim untuk temannya dengan menggunakan kata ganti I.
         Dalam Andrew and Joey, Bali digambarkan sebagai “the most gorgeous, romantic place on earth”, penuh dengan kebebasan. Andrew terkejut karena banyak lelaki kulit putih yang menggandeng lelaki Indonesia. Eksotisme Bali diangkat secara berlebihan. Homoseksual pun dibabat habis oleh Jams, sehingga menjadi tema dalam novel ini. Ini merupakan bukti lain bahwa novel ini kental dengan modernitas.


Shanghai dalam era modernisasi
           Sekarang mari kita lihat bagaimana terjadinya persimpangan Timur dan Barat. Intan menggunakan pendekatan mimetik di awal pembahasannya mengenai Shanghai Baby. Ia menjelaskan tentang kontroversi Shanghai Baby pada saat pemunculannya, yakni adanya tarik menarik antara tradisi dan modernitas. Shanghai Baby menyodorkan pornografi dan degradasi moral serta melenceng dari latar belakang sejarah budaya Cina. Inilah yang menjadi penyebab mengapa pada tahun 1999 Pemerintah Cina membakar Shanghai Baby. Namun pembakaran ini justru menjadikan Wei Hui fenomenal, Shanghai Baby international bestseller. Ini membuktikan bahwa arus modernitas tidak bisa dicegah bagaimaapun bentuk kekangannya.
         Shanghai Baby, mengisahkan cinta segitiga antara Coco, Tian-Tian, dan Mark. Dalam novel ini, dijelaskan bahwa terjadi perpaduan budaya Cina dan Barat di Shanghai. Novel ini juga menampilkan bagaimana Orientalisme menjadi sesuatu yang eksotis dan bahkan berusaha dibangkitkan lagi di tengah Shanghai yang modern, yang sedang memasuki westernisasi gelombang kedua. Tokoh-tokoh yang hidup di Shanghai digambarkan oleh Wei Hui sudah sangat Barat dengan pola pikir yang materialistis dan gemar berganti-ganti pasangan. Padahal Shanghai yang sebenarnya ialah yang berisi orang-orang yang sudah kuno, tidak memiliki banyak uang. Dapat kita lihat bagaimana Intan menggunakan latar diskotek untuk mengupas masalah kekuasaan, dimana dikatakan dalam novel tersebut bahwa perempuan Cina memiliki “nilai jual” dan target mereka adalah laki-laki kulit putih. Jelas terlihat bahwa Barat memiliki kuasa dan daya beli, bisa memilih apapun yang diinginkan. Sedangkan Timur hanya sebagai penyedia produk. Bali dan gender
        Pendeskripsian gender juga dibahas Intan melalui penokohan, dimana ia berpendapat bahwa Joe berada di wilayah maskulin dikarenakan dalam novel tersebut Joey sangat ambisius dan “penuh vitalitas”. Sedangkan Andrew berada di wilayah feminin, melihat dari kepribadian Andrew yang senang mendekorasi rumah dan membuat kue. Terlihat pula bagaimana Bali dipersonifikasikan oleh Wayan, yang sama-sama elok dan eksotis, sama-sama berada di wilayah feminin. Hubungan Wayan dengan Joey yang didasari gender itu dapat dianalogikan hubungan Barat dan Timur. Meskipun posisi Wayan sangat penting dalam kisah percintaan segitiga homoseks tersebut, Wayan tidak memiliki kuasa dalam jalinan e-mail yang membangun novel. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Bali terlepas dari dunia yang sesungguhnya, yakni dunia modern yang disimbolkan oleh e-mail. Bali juga  menjadi The Other di luar sistem konvensional yang modern dan realistis.
Intan mengupas lebih dalam tentang gender, dimana maskulin memiliki wilayah aturan simbolis yang sulit untuk dimasuki. Selanjutnya, ia terus menunjukkan bagaimana sosok Wayan dihubung-hubungkan dengan feminin dalam Andrew and Joe. Berangkat dari e-mail yang dikirim Pamela dan Erica (teman Andrew dan Joe) yang mengatakan bahwa Wayan telah mengguna-guna Joe, menunjukkan adanya mistisme dan irasionalitas yang bertabrakan dengan modernisasi. Hal ini semakin menguatkan Intan untuk menyimpulkan bahwa Wayan atau Bali merupakan Timur yang memiliki sifat feminin.
Maskulinitas dan feminitas : materialisme dan spiritualisme
Karakter Coco dalam Shanghai Baby dianggap mewakili Shanghai modern; kritis, pemberani, memiliki daya tarik seksual yang tinggi. Sangat bertolak belakang dengan karakter Tian-Tian; sensitif, spiritual, tidak menonjol. Mark memiliki karakter yang bertolak belakang dengan Tian-Tian; sangat maskulin dengan kemampuan seks, kesuksesan dalam karir, serta sifatnya yang selalu ingin mendapatkan segala sesuatu yang ia inginkan. Feminitas Tian-Tian dan maskulinitas Mark saling tarik-menarik dalam diri Coco karena disebutkan Coco sulit melepaskan keduanya. Intan beranggapan bahwa hubungan Coco dengan kedua lelaki tersebut menjadi metafora bagi posisi Shanghai (Asia) yang berada di tengah-tengah, tarik-menarik antara Timur dan Barat. Maskulinitas melekat pada diri Mark yang selalu bisa memuaskan Coco. Berbeda dengan Tian-Tian yang mengalami impotensi sehingga Coco tidak merasakan kepuasan seks dengannya. Akan tetapi Coco sangat mencintainya karena Tian-Tian begitu tenang, penyejuk jiwa Coco, bukan tubuh. Ini membuktikan bahwa Barat identik dengan materialisme sementara Timur identik dengan spiritualisme. Ini didasarkan pada Mark yang mewakili hal-hal fisik, Tian-Tian mewakili hal-hal non fisik. Disimpulkan bahwa Mark dan Tian-Tian merupakan simbol Barat dan Timur yang juga menunjukkan kutub antara maskulin dan feminin. Diakhir, Coco tidak bisa memilih apakah Mark atau Tian-Tian. Realitanya, Wei Hui selalu menuliskan Shanghai modern sebagai “zaman materi” dimana yang mampu bertahan adalah segala sesuatu yang modern, ambisus, keras, maskulin. Sementara Shanghai oriental yang bersifat eksotis, dan feminin akan segera punah.
Simpulan
Gender memang memaknai hubungan Timur dan Barat yang bersfat hierarkis. Dalam Andrew and Joey, di akhir cerita dikatakan Joey kembali ke Bali dan bersenang-senang dengan beberapa lelaki yang berbeda. Menurut Intan, novel ini ingin menunjukkan bahwa sampai akhir cerita, Joey tidak mau sadar dari mimpinya; bahwa Bali adalah sebuah fantasi yang akan terkatung-katung bila harus berjalan searah mengikuti arus modernitas.
Sementara itu, Intan menyimpulkan bahwa Shanghai Baby menyiratkan kegamangan Shanghai (Coco) yang terus berada di tengah-tengah, tidak condong kemana-mana. Ia bukan Barat (Mark) dan tidak sepenuhnya menunjukkan konsep bahwa dirinya Timur (Tian-Tian). Di akhir cerita Coco tidak mendapatkan siapa-siapa. Tian-Tian meninggal karena obat-obatan terlarang, sedangkan Mark harus kembali ke Jerman. Cerita ditutup dengan kalimat pertanyaan Coco terhadap dirinya sendiri “Who am I?”. Intan beranggapan bahwa pertanyaan itu merupakan introspektif Shanghai untuk menegaskan diri sendiri di tengah punahnya budaya Timur dan invansi Barat.
Terakhir, Intan menggunakan pendekatan ekspresif, dimana dijelaskan bahwa kedua pengarang menciptakan novel-novel tersebut berangkat dari dua ideologi yang berbeda. Jamie Jams menempatkan Andrew and Joey pada posisi dimana Barat memandang Timur secara eksotis dan tradisional. Sementara Wei Hui dalam Shanghai Baby menghadapkan pembaca dalam pencarian identitas Timur di era modern, saat pertemuan budaya Timur dan Barat mengaburkan identitas tersebut.