Sabtu, 21 November 2020

Egois

Aku dan air matamu

yang rela menghilang saat bahagiamu namun hadir disaat sedihmu

Terkadang aku ingin melihatmu jatuh terluka

hanya agar aku bisa hadir di sisimu

Berulang kali jatuh

Terluka

Selamanya(?)

Sehingga aku tak perlu pergi

Hanya perlu di sisimu

Selamanya(?)

Ingin

Senyum yang sudah sangat kuhapal garisnya

Juga bola mata yang seringkali kutatap malu-malu

Aku ingin singgah di sana untuk waktu yang lama

Aku ingin

Sampai kulupa garis senyummu

Sampai aku tak kuasa lagi menatapmu

Aku ingin mendambamu

Sampai jengah dan berdarah

Aku ingin

Kamis, 09 Januari 2020

365

...
bagaimana harimu?
apa kau masih gemar mengenakan baju hangatmu meskipun matahari begitu terik?
kertas lusuh yang pernah kucoretkan namamu di atasnya, masihkah kau menyimpannya?

sini, kuberitahu sesuatu..
sedikit banyak pilu yang tersisa
setelah
hari-hari yang kulalui tanpamu,
juga
duka berkepanjangan tentangmu
bahkan aku tak mampu menangis
lantaran kaulah airmataku

365 hari berlalu, aku masih mampu
namun, bisakah aku terbiasa?
mungkinkah batinku nantinya tak mengapa?

Jumat, 27 Desember 2019

I'M BACK!

Halo,
Perlu lima tahun untuk mengingat sandi dari blog ini. Padahal umur admin nggak tua-tua banget tapi ya mungkin efek cobaan hidup yang mendera admin silih berganti makannya jadi agak pelupa hiks.
Admin hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian semua yang pernah mampir di blog ini (padahal blog ini cuma untuk ngedrop tugas kuliah yang sayang aja kalo didiemin menurut admin). Senang rasanya bisa menyediakan sesuatu yang bisa dijadikan inspirasi, bahan makalah, sumber tugas, sumber copas mungkiiiiinnn (hehe whtev yang penting berguna yaa). Mohon maaf jika ada kesalahan pada postingan yang sudah terpublish dan mohon maaf juga jika blog ini kelewat jadul tampilannya karena memang admin kurang paham main blog, yang penting publish ehehe.

Last but not least, kalau ada pertanyaan atau saran seputar blog ini (seputar adminnya juga gapapaaa hehe) sila didrop yaa di kolom komentar postingan ini. Semoga hari-hari kalian semua menyenangkan ya :)

Selasa, 05 Agustus 2014

Ketika Luka Menyambangi Dua Insan



1
Kemarilah, ajak lukamu
Kita hanya perlu berpeluk, berbagi air mata
Beradu lara di kolong semesta
Kita; terluka

2
Awalnya satu, dan satunya lagi
Memesrakan waktu semesra mungkin
Kerap bersama, berada di takdir yang sama
Dan...
Lain. Yang Maha Dusta Menginginkan jalan lain
Berdiri di atas takdir masing-masing, baiknya
Yang kerap bersama, kini tinggal nama
Dan, kembali seperti awal; tak di-iya-kan semesta

Indri Zikria Oktaviani

Dua Nestapa; Kelahiran dan Kepergian



1
Merengkuh sehelai rindu
Menjalar di sudut malam lalu mengundang hujan datang
Untuk musnahkan imajinasi gila tentang langit gila yang menjingga
Terbelalak sejenak, berharap senja tak pernah berdusta
Entah siapa yang melahirkanmu, duhai rindu.

2
Rasa mahapilu itu bernama Rindu
Ku paksa ia pergi ke Barat, di dampingi senja yang hampir menemui ajalnya
Perlahan ia tak terlihat, tertimbun gumpalan luka langit
Mungkin ia tak akan pernah pulang
Di situlah kiranya rumahnya

Indri Zikria Oktaviani

Telaah Cerpen "Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan" Karya Ahmad Tohari



Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan. Begitulah judul cerpen karangan Ahmad Tohari yang mengisahkan tentang kehidupan seorang Karsim, yang memiliki keluarga kecil yang tinggal dalam gubug di pinggir kali. Kehidupan miskin yang dialaminya tak mematahkan semangatnya untuk terus menafkahi keluarga kecilnya tersebut. Niat tulus Karsim yang ingin menyelamatkan padi-padinya di sepetak lahan dekat sungai untuk anak dan istrinya makan, harus dibayar dengan nyawa. Berawal dari jalan raya yang ingin diseberangi Karsim pada siang itu. Padatnya mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi dan tak mau kalah membuat Karsim mengalah untuk menyeberang, hingga Karsim lelah menunggu dan memutuskan untuk menyebrang. Baru selangkah menyeberang, ia sudah tergilas dan tewas. Begitulah kelakuan para raja jalanan yang meramaikan jalan raya menjelang lebaran.
Tema cerpen ini menurut saya adalah berpijak pada permasalahan situasi lalu lintas yang terjadi pada saat menjelang lebaran. Kemudian muncul permasalahan pada cerpen ini berupa kecelakaan yang menewaskan lelaki 69 tahun yang hendak menyeberang jalan raya, sebagai akibat dari padatnya kendaraan yang lalu-lalang menjelang lebaran. Bukan hanya padat, para pengemudi roda dua maupun roda empat yang seakan-akan berkuasa atas jalan tersebut, tidak mau mengalah, mengemudikan kendaraan mereka dengan seenaknya, maklum orang kota. Tema cerpen ini menurut saya berkisar di sekitar sosial dan tradisi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“...Kesadarannya sebagai orang kampung yang miskin adalah nrimo. Mereka yang sedang menguasai jalan raya tentulah manusia sesungguhnya, sedangkan aku hanyalah Karsim yang hanya punya secuil ladang di pinggir kali, itu pun hanya di musim kemarau. Karsim tahu mereka yang sedang berkuasa atas jalan raya itu sedang bergegas karena mau berlebaran di tempat asal. Sungkem kepada orang tua, ziarah, kangen-kangenan, dan semua itu penting.”
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa cerpen ini ingin menceritakan kehidupan masyarakat kota yang mau menang sendiri. Sukar memberi kesempatan kepada penyeberang jalan seperti Karsim, padahal Karsim harus menyeberang jalan tersebut secepatnya untuk menyelamatkan padi-padinya di ladang guna memberi makan anak istrinya. Namun siapa sangka, niat tulus bagai pahlawan itu harus dibayar dengan nyawa terlebih dahulu agar para pengemudi serakah itu sudi memberinya kesempatan untuk menyeberang. Hal ini diungkapkan Ahmad Tohari dalam kutipan di bawah ini:
“...Baru sekali ini sejak lahir sampai datang ajalnya tadi siang pada usia 69 tahun Karsim merasa diakui keberadaannya. Dan tahulah dia sekarang, agar keberadaannya diakui orang dia harus masuk dulu ke dalam keranda dan diiring-iring ke kuburan.”
Dari penjelasan diatas, saya menyimpulkan bahwa tema cerpen Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan adalah sosal dan tradisi. Permasalahan yang ingin diangkat cerpen ini adalah masalah keegoisan masyarakat kota yang mewabah di jalan raya menjelang lebaran yang pada akhirnya melahirkan tragedi berdarah, merenggut kehidupan kecil orang-orang seperti Karsim.
Apabila dilihat dari kriteria waktu, alur yang digunakan dalam cerpen ini termasuk ke dalam alur sorot-balik (mundur). Terbukti pada paragraf 1 sampai 3, dijelaskan bahwa tokoh Karsim telah tewas. Namun Tohari baru mengungkap penyebab kematian tokoh Karsim pada paragraf ke-4 dengan kata kunci kemarin. Itu berarti, cerpen ini menggunakan alur mundur (tejaadi flashback). Alur cerpen ini jika dilihat dari kriteria tempat berada di sebuah perkampungan dekat jalan raya. Perkampungan yang penduduknya tidak memiliki banyak harta seperti Karsim, dan orang-orang yang berebut uang yang ditebarkan oleh ibu-ibu pengendara mobil. Tidak banyak tempat yang dihadirkan dalam cerpen ini; rumah karsim dan jalan raya. Sementara itu alur cerpen ini jika dilihat dari kriteria waktu mendapat penekanan waktu pada siang hari. Hal tersebut dapat dilihat pada paragraf 8 dan paragraf 14 di bawah ini:
“Dibawah matahari yang mulai terik Karsim setia menunggu. Untung ada caping bambu yang menahan sengatan sinar sehingga kepalanya tidak terpanggang.”
“Dan corong mesjid menyiarkan berita kematia itu. Telah meninggal dunia dengan tenang saudara kita Karsim tadi jam sebelas empat lima, dan akan dikubur jam empat sore hari ini.”
Tokoh dalam cerpen ini tidak terlalu banyak, hanya terdapat beberapa tokoh saja yang masuk ke dalam tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama dalam cerpen ini yaitu Karsim. Dalam cerpen ini, Karsim terlihat sebagai sosok ayah sekaligus kepala keluarga yang sangat bertanggung jawab dan menyayangi keluarganya meski hidupnya tidak mulus. Karsim juga sosok orang pinggiran yang sadar akan siapa dirinya. Terlihat dalam kutipan di bawah ini:
“...Terbayang anak-istrinya yang akan tetap makan singkong karena panen padi yang sangat dinantikan ternyata gagal karena habis dimakan burung. Ada perintah menyeberang menghujam langsung ke dasar hati Karsim. Perintah itu datang dari sepiring nasi yang harus diselamatkan dari serbuan burung-burung.”
“...Kesadarannya sebagai orang kampung yang miskin adalah nrimo. Mereka yang sedang menguasai jalan raya tentulah manusia sesungguhnya, sedangkan aku hanyalah Karsim yang hanya punya secuil ladang di pinggir kali, itu pun hanya di musim kemarau.”
Tokoh selanjutnya yaitu para pengemudi kendaraan di jalan raya. Pencerita menggambarkan para pengemudi di jalan sebagai para raja jalanan. Para raja yang degil, mau menang sendiri, manja luar biasa, hidup untuk pamer segalanya. Terbukti dalam kutipan di bawah ini:
“...Wajah-wajah pengendara adalah wajah para raja jalanan. Wajah-wajah yang mengusung semua lambang kekotaan, keakuan yang kental, manja dan kemaruk luar biasa. Pamer.”
Selanjutnya ada tokoh istri Karsim yang tidak banyak diceritakan dalam cerpen ini, namun terlihat istrinya sangat menyayangi Karsim dalam kutipan cerpen tersebut. Tokoh Nenek Painah, yang tidak jelas siapa sebenarnya sosok pemilik ayam ini, apakah nenek dari Karsim atau nenek yang tinggal di sekitar rumah Karsim. Namun sepertinya Karsim sangat dekat dengan Nenek Painah karena Karsim tahu betul kebiasaan Nenek Painah.
Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini yakni sudut pandang orang ketiga; “dia” mahatahu, yakni pencerita yang berada di luar ceritera yang melaporkan peristiwa-peristiwa yang dialami para tokoh dari sudut pandang “ia” atau “dia”. Pencerita mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.[1] Dalam cerpen ini jelas terlihat bahwa Tohari menggunakan sudut pandang. Di dini ia menggunakan sudut pandang pribadi pencerita “diaan” maha tahu karena si pencerita maha mengetahui, maha mendengar, serba melihat hingga mampu menembus rahasia batin yang paling dalam dari tokoh yang disoroti.
Lalu apakah yang membuat cerpen ni menarik? Mengapa?
Pertama, keunikan yang terkandung dalam cerpen ini berada pada tokoh utama (Karsim). Di dalam cerita disebutkan bahwa ia tewas tergilas mobil. Rohnya keluar dari jasadnya lalu menyaksikan segala sesuatunya hingga jasadnya digiring menyeberangi jalan. Jarang sekali pengarang menghilangkan tokoh utamanya. Namun cerpen ini? Tidak seperti kebanyakan cerpen lainnya, Tohari mengahdirkan sesuatu yang berbeda; roh dari tokoh utama yang bermain cukup banyak dalam cerpen ini.
Kedua, cerpen ini unik karena mengangkat permasalahan sepele; kecelakaan saat musim mudik. Dengan permasalahan yang sepele itu, Tohari mampu menghadirkan tokoh Karsim beserta nasibnya sebagai masyarakat kelas bawah beserta para pengemudi kendaraan yang dalam cerpen ini digambarkan seakan-akan mereka adalah orang-orang kaya. Tohari sangat piawai mencampuradukkan konflik batin, sosial, tradisi dan segalanya sehingga jadilah cerpen yang luar biasa maknanya dan manfaatnya untuk diketahui banyak pembaca; khususnya para raja jalanan.
Di bagian akhir cerita, agak menarik untuk di pahami. Dalam paragraf 24 si bayi dan kakaknya terlindung lingkaran biru, keduanya tampak illahi. Pemandangan yang tak dapat dilihat oleh manusia bernyawa, seperti pada bagian awal cerita, pemandangan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang rohnya masih berterbangan di dunia. Dalam paragraf terakhir pun tak kalah menarik. Masih seputar pemandangan tak kasat mata, namun kali ini lain. Pengemudi mobil seekor kera perempuan, lelaki gendut dengan topeng kepala tikus, babi hutan, celeng, srigala, beruk, munyuk. Dapat menimbulkan berbagai tafsiran, sebenarnya siapa sesungguhnya orang-orang berwajah hina tersebut. Apakah orang-orang yang gemar melakukan korupsi demi pamer. Aapakah orang-orang yang gemar memelihara sifat serakah; yang mau menang sendiri dan tidak memberikan kesempatan kepada orang lain, kepentingan mereka harus didahulukan, atau orang yang menggunakan ilmu ghaib dan cara kotor untuk mendapatkan kekayaan. Entahlah, yang jelas pemandangan seperti itu hanya bisa dilihat oleh beberapa penglihatan.
Hal menarik lainnya yaitu timbulnya beberapa pertanyaan setelah membaca keseluruhan cerpen ini. Tohari sering memunculkan dan mengulang-ulang kata pamer, kurang lebih tiga kali. Pamer yang seperti apa yang ingin disampaikan Tohari kepada pembaca? Entah. Yang pasti pamer itu ditujukan untuk para pengemudi kendaraan di jalan. Tidak hanya itu, Tohari juga sering memunculkan Nenek Painah yang biasa tidak menghabiskan sarapannya demi seekor ayam jantan kesayangannya. Sebenarnya hal tersebut tidak penting keberadaannya untuk membangun cerita. Namun entah mengapa Tohari mengulang-ulang kata ini kurang lebih sebanyak tiga kali.
Hal lain yang menimbulkan pertanyaan adalah apa tujuan seorang ibu yang menebar uang-uangnya? Dalam cerpen disebutkan bahwa saat mayat Karsim digotong oleh orang-orang menyeberangi jalan raya, seorang ibu tergopoh merogoh tas dan menebarkan uang puluhan ribu. Apa yang ingin disampaikan Tohari sulit diterima dengan baik, apakah niat ibu tersebut menebar uang kepada pengiring mayat Karsim bertujuan untuk meringankan keluarga kecil Karsim? Jika memang bermaksud baik, mengapa uang tersebut harus ditebar yang justru memberi makna tidak baik. Mengapa tidak diberikan saja?
Dan hal terakhir yang menimbulkan pertanyaan, mengapa roh Karsim selalu tertawa? Apa-apa yang sedang terjadi disekelilingnya selalu membuat dia tertawa, misalnya saat ada orang yang berkata mati terlindas mobil hingga ususnya keluar, mengapa dikatakan meninggal dengan tenang? Karsim tertawa keras. Kemudian Karsim tertawa lagi dan merasa konyol saat melihat keadaan yang berbanding terbalik dengan tadi siang; keegoisan raja jalanan yang tidak memberinya kesempatan untuk menyeberang, justru kali ini mereka membiarkan mayat Karsim menyeberang.
Apakah cerpen tersebut mengandung kritik sosial?
Sangat jelas, cerpen ini mengandung kritik sosial, khususnya untuk para raja jalanan. Dari awal hingga akhir, Tohari selalu mengeluarkan kata pamer. Tidak hanya itu, Tohari lewat cerpen ini seakan ia merupakan bagian dari Karsim, ingin mengungkapkan kepada pembaca bahwa begitulah kiranya sifat masyarakat berwajah kekotaan yang maunya menang sendiri. Lambang kekotaan yang justru mengundang maut. Para raja jalanan yang memiliki rasa egois luar biasa, tidak memberikan kesempatan sebentar saja pada orang lain untuk menyeberang, terlihat Tohari sebenarnya resah akan hal itu. Namun ia mencoba mengerti kondisi yang menjadi penyebab mereka bersikap demikian.
“...Pamer. ah, tetapi Kasim tahu, pamer diri itu penting.”
“...semua itu merupakan kebutuhan juga. Juga pamer tidak kalah penting.”
“Karsim mengerti, mudik itu penting. Pamer juga penting.”
Terlihat dalam paragraf 6, Tohari mengungkapkan bahwa orang kampung yang tidak punya apa-apa selalu mengalah pada orang kaya. Hal tersebut sanagat menggambarkan keadaan sosial masyarakat miskin yang dianggap lemah, tidak penting, orang kaya didahulukan. Dalam paragraf 23, ada bagian yang cukup membuat sedih para pembaca. Dikatakan bahwa:
“...Karsim tersenyum. Baru sekali ini sejak lahir sampai ajalnya tadi siang pada usia 69 tahun Karsim merasa diakui keberadaannya. Dan tahulah dia sekarang, agar keberadaannya diakui orang dia harus masuk dulu ke dalam keranda dan diiring-iring ke kuburan.”
Baru kali itu selama hidupnya tokoh Karsim diakui keberadaannya. Dalam artian, ia harus mat terlebih dahulu baru bisa diakui keberadaannya; baru diberi kesempatan untuk menyeberang. Sungguh memilukan.
Gaya Tohari dalam menciptakan cerpen ini bernadakan protes dan reaksinya terhadap keegoisa, keakuan orang kota yang amat kental, pamer mobil dan motor, juga pamer harta, keegoisan yang menelan korban jiwa, para raja jalanan yang sombong dengan segala yang mereka kendarai. Adanya pemisah antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin, yaitu jalan raya, di mana orang miskin selalu mengalah untuk mereka yang tak tahu rasa mengalah.
Menurut Kementerian Perhubungan, ada empat faktor penyebab kemacetan menjelang lebaran. Masalah pertama gangguan lalu lintas adalah penggunaan jalan nasional yang tidak benar. Masalah kedua, peningkatan penggunaan kendaraan darat saat mudik, da hal tersebut menimbulkan kecelakaan jika para pemudik tidak hati-hati. Masalah ketiga mengenai pengaturan dan pengawasan kegiatan mudik. Dan yang terakhir adalah ketertiban dan kelancaran pelayanan keluar masuk penumpang di terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandar udara.[2]
Begitulah situasi Indonesia menjelang lebaran. Orang-orang berbondong-bondong memadati jalan raya untuk mudik ke kampung halamannya. Tradisi tersebut memang kerap kali terjadi menjelang lebaran, puncaknya H-3. Saling beradu kecepatan untuk sampai di kampung halaman masing-masing tanpa melihat dan menengok sedikit hak orang lain. Bukan hanya Karsim, ribuan orang di Indonesia juga telah menjadi korban kecelakaan karena berbagai faktor. Padat, kencang, menyulitkan para penyeberang jalan untuk menyeberang. Dan akhirnya terjaadilah kecelakaan. Sungguh memprihatinkan.



[1][1] Albertino Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) hlm. 97.
[2] Adiatmaputra Fajar Pratama (2013), Empat Masalah Arus Lalu Lintas Menjelang Lebaran (online), Tersedia : www.tribunnews.com. Diunduh pada tanggal 18 Desember pukul 08: 03 WIB.